Ketika Jan berjalan tiba-tiba seorang serdadu Jepang
menghentikan langkahnya. Sambil mengarahkan senapan ke tubuh Jan, sang
serdadu menghampirinya. Jan berharap ini bukanlah akhir dari misinya.
Namun si Jepang berusaha menjelaskan dalam bahasa campur aduk bahwa
setiap orang harus membungkuk di depan serdadu Jepang. Tak ingin
mendapat masalah, Jan langsung membungkuk sambil mengumpat dalam hati.
Pagi berikutnya usai sarapan, dia bertemu lagi dengan Kelter. Darinya
dia mengetahui tempat senjata disembunyikan, yaitu dalam gedung
sekretaris jenderal di tengah kota yang kini ditempati Kempei, polisi
rahasia Jepang. Mereka berjalan melewati gedung itu dan melihat para
penjaga berdiri di depannya dengan senjata mesin. Tapi keduanya tak
menemukan seorang serdadu pun di belakang gedung yang berbatasan dengan
rel kereta. Sejajar dengan lintasan kereta ada sebuah jalan kecil yang
kedua sisinya dinaungi pepohonan.
Sesampainya di rumah Kelter menggambar sebuah peta untuk Jan. Mereka
berencana masuk ke dalam gedung dan tampaknya ada kesempatan untuk
melakukan itu. Sementara itu di Batavia Si Jerawat memulai petualangannya. Kadang
naik kereta, kadang dia berjalan kaki menyusuri kota . Dia sedang dalam
perjalanan menuju alamat yang diberikan padanya. Di sebuah tempat yang
asing, dia melintas di depan rumah-rumah orang Eropa. Jika informasinya
benar, dia pasti menemukan alamat yang dicari.
Di balik sebuah pagar, seorang pribumi sedang duduk di bawah kerai
bambu. Si Jerawat bertanya apakah kenal dengan “Mr. Tresser”. Orang itu
menggeleng, tapi Si Jerawat bilang kalau alamat yang dia cari benar di
sini. Orang itu lalu menunjuk sebuah pondok dan Si Jerawat bergegas
menaiki tangga. Dia mendengar suara si pribumi mengikutinya dari
belakang. Dengan cepat, Si Jerawat membuka pintu pondok itu. Di dalam pondok dia menemukan seorang lelaki kulit putih yang tampak
sangat terkejut. “Mr. Tresser” yang dia lihat seperti bukan “Mr.
Tresser”, tapi kawan lamanya dulu. Pertemuan tersebut benar-benar di
luar dugaan dan mereka merayakannya dengan makanan lokal yang sengaja
disimpan “Mr. Tresser”.
Dari sahabatnya itu, Si Jerawat memperoleh banyak informasi tentang
tentara Sekutu yang bersembunyi di selatan pegunungan dan akan berjuang
hingga tetes darah penghabisan. Semangat kelompok ini mengagumkan, tapi
mereka kekurangan makanan dan obat-obatan. Banyak dari mereka sedang
terserang malaria dan disentri. Senjata mereka melimpah, tapi mereka
hidup dari apapun yang bisa mereka tangkap untuk dimakan. Setelah semua informasi diperoleh, dia berpamitan dengan temannya.
Satu hal lagi yang ingin dia lakukan: menjabat tangan lelaki tua yang
telah melindungi mereka beberapa hari lalu. Tapi saat dia sampai di
rumah teman Jan, seorang serdadu Jepang sedang berdiri di depannya. Si
Jerawat melangkah pelan-pelan, tapi si serdadu mengatainya ‘anjing’. Dia
melihat sekeliling dan tak menemukan orang lain selain serdadu yang
melihatnya dengan pongah. Si Jerawat berbalik dan dengan satu langkah
dia berdiri di depan si serdadu.
“Apa kau bilang tadi?” tanya Si Jerawat. Si Serdadu menunjuk wajahnya
dan berkata: “Anjing, kamu bukan siapa-siapa tapi seekor anjing”.
Tiba-tiba Si Jerawat meninju dengan keras dan si serdadu tersungkur ke
jalan sambil berteriak-teriak. Suara berisik muncul dari dalam rumah dan
seorang Jepang lain keluar sambil menenteng senjata. Si Jerawat
menyambutnya dengan pukulan di wajah dan serdadu itu pun ikut terkapar
di jalan. Serdadu pertama bangun lagi dan berusaha meraih senapannya
yang tadi ikut terjatuh. Tapi Si Jerawat mencekik lehernya dan menendang
senapan itu jauh-jauh. Kini serdadu kedua bangkit, mengambil bayonet
dari pinggangnya lalu berlari ke arah Si Jerawat. Tapi karena posturnya
lebih tinggi, dia memegang tangan si serdadu. Bayonet itu berbalik dan
mengenai si empunya. Si Jerawat lalu memegang kepala serdadu lainnya dan
membenturkan keduanya.
Suara kesakitan memecah kesunyian. Kini jalan itu dipenuhi
orang-orang yang ikut berteriak sambil bertepuk tangan. Seorang Jepang
lain tiba-tiba datang dan menyergap Si Jerawat dari belakang. Dia
berbalik dan berhadap-hadapan dengan si penyergap. Tak disangka dia
ingat wajah itu, wajah berkulit kuning dan bermata sipit yang pernah
menolongnya dari kerumunan dan berbisik: “Cepat, Jerawat. Patroli Jepang
sedang menuju ke sini! Ayo cepat!"
Lima menit kemudian mereka duduk berhadapan di sebuah tempat yang
aman. Si Jerawat mengenakan gaun karena pakaiannya dipenuhi darah. Dia
mendengarkan dengan penuh perhatian apa yang dikatakan temannya: “Waktu
kalian meninggalkan rumah itu, tak lama Kempei datang karena dilapori
seseorang. Si lelaki tua tak mau ikut mereka. Dia mengambil pistol dan
menembak dua serdadu Jepang sambil berteriak “Hidup Ratu!”. Lalu dia
ditembak di dada dan mati.”
Beberapa waktu kemudian, ketika Si Jerawat duduk dalam sebuah kereta
ke Buitenzorg, dia menyadari betapa bahayanya dia dalam situasi seperti
itu. Berkat teman Jepangnya itu, sekali lagi dia berhasil lolos.
Memandang ke luar jendela, ke deretan sawah dan bukit-bukit terjal yang
indah, matanya mulai basah. Dia teringat sang pahlawan tua yang ingin
sekali bergabung dengan mereka. Dia berbisik lirih: “Aku tak akan
melupakanmu!”
Sumber:
http://tempodoeloe.com/2015/02/10/kisah-tiga-tentara-knil-bagian-5/
No comments:
Post a Comment