Tuesday, October 6, 2015

Kisah Tiga Tentara KNIL ~ Bagian 5

Ketika Jan berjalan tiba-tiba seorang serdadu Jepang menghentikan langkahnya. Sambil mengarahkan senapan ke tubuh Jan, sang serdadu menghampirinya. Jan berharap ini bukanlah akhir dari misinya. Namun si Jepang berusaha menjelaskan dalam bahasa campur aduk bahwa setiap orang harus membungkuk di depan serdadu Jepang. Tak ingin mendapat masalah, Jan langsung membungkuk sambil mengumpat dalam hati.

Pagi berikutnya usai sarapan, dia bertemu lagi dengan Kelter. Darinya dia mengetahui tempat senjata disembunyikan, yaitu dalam gedung sekretaris jenderal di tengah kota yang kini ditempati Kempei, polisi rahasia Jepang. Mereka berjalan melewati gedung itu dan melihat para penjaga berdiri di depannya dengan senjata mesin. Tapi keduanya tak menemukan seorang serdadu pun di belakang gedung yang berbatasan dengan rel kereta. Sejajar dengan lintasan kereta ada sebuah jalan kecil yang kedua sisinya dinaungi pepohonan.

Sesampainya di rumah Kelter menggambar sebuah peta untuk Jan. Mereka berencana masuk ke dalam gedung dan tampaknya ada kesempatan untuk melakukan itu. Sementara itu di Batavia Si Jerawat memulai petualangannya. Kadang naik kereta, kadang dia berjalan kaki menyusuri kota . Dia sedang dalam perjalanan menuju alamat yang diberikan padanya. Di sebuah tempat yang asing, dia melintas di depan rumah-rumah orang Eropa. Jika informasinya benar, dia pasti menemukan alamat yang dicari.

Di balik sebuah pagar, seorang pribumi sedang duduk di bawah kerai bambu. Si Jerawat bertanya apakah kenal dengan “Mr. Tresser”. Orang itu menggeleng, tapi Si Jerawat bilang kalau alamat yang dia cari benar di sini. Orang itu lalu menunjuk sebuah pondok dan Si Jerawat bergegas menaiki tangga. Dia mendengar suara si pribumi mengikutinya dari belakang. Dengan cepat, Si Jerawat membuka pintu pondok itu. Di dalam pondok dia menemukan seorang lelaki kulit putih yang tampak sangat terkejut. “Mr. Tresser” yang dia lihat seperti bukan “Mr. Tresser”, tapi kawan lamanya dulu. Pertemuan tersebut benar-benar di luar dugaan dan mereka merayakannya dengan makanan lokal yang sengaja disimpan “Mr. Tresser”.

Dari sahabatnya itu, Si Jerawat memperoleh banyak informasi tentang tentara Sekutu yang bersembunyi di selatan pegunungan dan akan berjuang hingga tetes darah penghabisan. Semangat kelompok ini mengagumkan, tapi mereka kekurangan makanan dan obat-obatan. Banyak dari mereka sedang terserang malaria dan disentri. Senjata mereka melimpah, tapi mereka hidup dari apapun yang bisa mereka tangkap untuk dimakan. Setelah semua informasi diperoleh, dia berpamitan dengan temannya. Satu hal lagi yang ingin dia lakukan: menjabat tangan lelaki tua yang telah melindungi mereka beberapa hari lalu. Tapi saat dia sampai di rumah teman Jan, seorang serdadu Jepang sedang berdiri di depannya. Si Jerawat melangkah pelan-pelan, tapi si serdadu mengatainya ‘anjing’. Dia melihat sekeliling dan tak menemukan orang lain selain serdadu yang melihatnya dengan pongah. Si Jerawat berbalik dan dengan satu langkah dia berdiri di depan si serdadu.

“Apa kau bilang tadi?” tanya Si Jerawat. Si Serdadu menunjuk wajahnya dan berkata: “Anjing, kamu bukan siapa-siapa tapi seekor anjing”. Tiba-tiba Si Jerawat meninju dengan keras dan si serdadu tersungkur ke jalan sambil berteriak-teriak. Suara berisik muncul dari dalam rumah dan seorang Jepang lain keluar sambil menenteng senjata. Si Jerawat menyambutnya dengan pukulan di wajah dan serdadu itu pun ikut terkapar di jalan. Serdadu pertama bangun lagi dan berusaha meraih senapannya yang tadi ikut terjatuh. Tapi Si Jerawat mencekik lehernya dan menendang senapan itu jauh-jauh. Kini serdadu kedua bangkit, mengambil bayonet dari pinggangnya lalu berlari ke arah Si Jerawat. Tapi karena posturnya lebih tinggi, dia memegang tangan si serdadu. Bayonet itu berbalik dan mengenai si empunya. Si Jerawat lalu memegang kepala serdadu lainnya dan membenturkan keduanya.

Suara kesakitan memecah kesunyian. Kini jalan itu dipenuhi orang-orang yang ikut berteriak sambil bertepuk tangan. Seorang Jepang lain tiba-tiba datang dan menyergap Si Jerawat dari belakang. Dia berbalik dan berhadap-hadapan dengan si penyergap. Tak disangka dia ingat wajah itu, wajah berkulit kuning dan bermata sipit yang pernah menolongnya dari kerumunan dan berbisik: “Cepat, Jerawat. Patroli Jepang sedang menuju ke sini! Ayo cepat!"

Lima menit kemudian mereka duduk berhadapan di sebuah tempat yang aman. Si Jerawat mengenakan gaun karena pakaiannya dipenuhi darah. Dia mendengarkan dengan penuh perhatian apa yang dikatakan temannya: “Waktu kalian meninggalkan rumah itu, tak lama Kempei datang karena dilapori seseorang. Si lelaki tua tak mau ikut mereka. Dia mengambil pistol dan menembak dua serdadu Jepang sambil berteriak “Hidup Ratu!”. Lalu dia ditembak di dada dan mati.”

Beberapa waktu kemudian, ketika Si Jerawat duduk dalam sebuah kereta ke Buitenzorg, dia menyadari betapa bahayanya dia dalam situasi seperti itu. Berkat teman Jepangnya itu, sekali lagi dia berhasil lolos. Memandang ke luar jendela, ke deretan sawah dan bukit-bukit terjal yang indah, matanya mulai basah. Dia teringat sang pahlawan tua yang ingin sekali bergabung dengan mereka. Dia berbisik lirih: “Aku tak akan melupakanmu!”


Sumber:
http://tempodoeloe.com/2015/02/10/kisah-tiga-tentara-knil-bagian-5/

No comments:

Post a Comment