Sunday, April 23, 2017

Nostalgia Bioskop dan Panggung Hiburan di Cimahi Tempo Doeloe



Pelan tapi pasti, kesenangan menonton film layar lebar di dalam gedung bioskop kian memudar dan menemukan ajalnya. Gedung bioskop rakyat dengan fasilitas hiburan berupa tontonan murah meriah itu kini semakin tergerus kuasa zaman. Tergantikan oleh gedung bioskop dengan fasilitas yang mewah, berpendingin ruangan dan sederet aturan yang tak boleh dilanggar. Atau jika ingin sedikit leluasa, bisa saja menonton di rumah dengan memutar keping cakram padat berisi film-film digital terbaru dengan harga yang terjangkau, maklum DVD bajakan. Tapi kenikmatan dan sensasi suasana menonton dipastikan tidak akan menemukan orgasmenya.
                                            
Pada dua atau tiga dekade silam,  menonton film di bioskop merupakan sebuah prestise, semacam kemewahan sederhana yang tak tergantikan. Meski dengan fasilitas alakadarnya (bangku-bangku tua yang berderit, udara pengap akibat miskin ventilasi, sampah dan debu yang bertebaran dan toilet dengan sanitasinya yang busuk sedemikian rupa), film yang diputar pun kadang-kadang film yang sudah kadaluarsa, murahan dan ketinggalan zaman. Tapi kenikmatan menonton film di dalam gedung bioskop tetap saja menjadi kenangan manis tersendiri.

Thursday, November 17, 2016

Bertandang ke Rumah Tua Cibeureum yang Merana

Setiap kali saya melintas jalan raya Cibeureum dari arah Bandung menuju Cimahi, tepat di seberang SMAN 13 Cimindi, saya selalu menoleh ke arah rumah yang tertimbun rapat pepohonan. Sebuah rumah tua yang wingit dan beraura mistis. Rumah itu cukup besar bernuansa kolonial, khas rumah hunian para tuan tanah tempo dulu. Rumah yang menyimpan pesona sekaligus angker, dengan atap langit-langit yang menjulang tinggi. Enam buah pilar penyangga di depannya berdiri kokoh dan sebuah balkon diatasnya menambah kesan anggun yang seakan-akan hendak menunjukan wibawa pemiliknya. 

Suatu hari saya pernah memberanikan diri untuk masuk ke halaman rumah itu. Saya melangkah perlahan memasuki pelataran rumah. Saya menengok ke kanan kiri, mengendap-endap ragu dan memperhatikan sekeliling seperti maling. Saya berharap ada seseorang di dekat situ, dengan maksud akan mengajaknya ngobrol atau sekedar bertanya-tanya tentang rumah itu. Tetapi tak seorangpun saya temui disana. Sepi. Saya berusaha mendekat hingga hampir memasuki teras. Namun saya urungkan untuk memasukinya lebih jauh. Rumah itu tampak kosong dan tidak terawat. Tembok-tembok yang kusam dan cat-catnya yang mengelupas. Saya mengitari pandangan ke sekililing, sekaligus membayangkan suasana rumah itu disuatu lini masa yang lampau ketika zaman tengah menjadi milik si empunya rumah. Tidak banyak yang saya perbuat kecuali mengambil foto beberapa bagian sudut rumah itu. Meskipun siang hari dan lokasi rumah itu tepat berada dipinggir jalan raya yang riuh oleh bising kendaraan, saya merasa seperti disergap kesunyian yang asing. Semacam ketakutan yang ganjil.

Bagian depan (foto: Iwan Hermawan)

Wednesday, November 16, 2016

Film “Max Havelaar” Berlatar Rumah Tua Cibeureum



Bagi peminat wisata sejarah atau penikmat seni bangunan lawas peninggalan kolonialisme Belanda, kawasan Cimahi dan sekitarnya kiranya menyimpan daya tarik tersebut. Sejak Kolonel Fishcter dan Kapten Struss membangun Cimahi sebagai Garnizun terbesar se-Hindia Belanda pada 1886, banyak bangunan-bangunan dengan berbagai gaya arsitektur Indis didirikan di kota Cimahi, baik difungsikan sebagai bangunan tangsi-tangsi militer maupun hunian-hunian bagi warga Eropa yang menarik perhatian. Salah satu bangunan yang menarik tersebut adalah sebuah rumah tua yang berlokasi di pinggir jalan raya Cibeureum, kota Cimahi. 

Rumah tua yang kini menjadi bagian dari sebuah pangkalan perusahaan taksi itu ternyata tak hanya menyimpan kenangan bagi sebagian anak-anak generasi 90an yang pernah menjadikan rumah tua tersebut sebagai tempat bermain, juga menyimpan banyak sisi cerita yang sangat menarik. Terlebih lagi ketika rumah tua tersebut sempat terbengkalai dan tidak terurus, dengan halaman yang ditumbuhi pepohonan yang rimbun dan rumput liar menyerupai hutan, juga terdapat lahan pekuburan di belakang rumah tua tersebut tentu saja menimbulkan kesan angker, sunyi dan mistis.

Rumah Tua Cibeureum, 2015
 

Wednesday, August 31, 2016

Menjajal Tank GS 105 di Pusdik Armed

Oleh: Andrenaline Katarsis

Tak ada yang bisa membantah jika Cimahi adalah salah satu kota Garnisun atau tempat kedudukan tentara paling besar dan tua di Indonesia. Sejarah kota Cimahi pun terbentuk dari sejarah Garnisun yang didirikan oleh Kolonel Fishter dan Kapten Strus dari pasukan Zenith Belanda pada tahun 1886. Jika berjalan-jalan ke arah selatan Cimahi, siapapun akan terperangkap dalam atmosfer yang serba militer. Penanda-penanda itu bisa dijumpai lewat beberapa rumah-rumah kopel, kios-kios penjual atribut tentara, instalasi-instalasi militer yang serba berwarna hijau atau loreng, dan bangunan-bangunan tua berarsitektur kolonial yang bisa kita lihat mulai dari jalan pintu masuk utama pertigaan Tagog – Jln. Gatot Subroto hingga ke selatan menuju Baros – Leuwigajah.

Beberapa sisa-sisa bangunan peninggalan Belanda seperti water torren dan replika perangkat keras militer seperti pesawat udara dan laras-laras meriam menghiasi halaman-halaman dan gerbang pusdik, seperti di Pusdikbekang dan Pusdik Armed. Di dalam deretan kompleks bangunan-bangunan pusat pendidikan militer yang sepintas tampak sepi, dingin dan “angker” itulah para prajurit-prajurit terpilih sedang ditempa dalam pendidikan militer demi menghasilkan tentara-tentara nasional terbaik.


Peserta Tjimahi Heritage

Friday, July 29, 2016

Ereveld Leuwigajah Menyimpan Petaka Perang


Berlatarbelakang bukit Pasir Gajahlangu dan Pasir Menteng, ada sebuah lahan yang berada di jalan Kerkhof, Leuwigajah, Cimahi Selatan. Meskipun berada dipinggir jalan Cibeber dengan lalulintas yang cukup ramai, lahan itu cukup tersembunyi terhalangi areal pemakaman umum Kristen dan makam Tionghoa. Di jalan Kerkhof itu ternyata masih terdapat sebuah pemakaman yang jauh dari kesan angker dan menyeramkan. Pada masa pendudukan Jepang, wilayah ini merupakan tanah kosong yang digunakan sebagai tempat mengubur tawanan yang meninggal akibat penyakit atau dibunuh Jepang. Pada kelanjutannya dilahan inilah kemudian tumbuh menjadi pemakaman seperti sekarang. Sesuai dengan namanya saja, Kerkhof dalam bahasa Belanda yang berarti ‘Kuburan’.


Areal makam itu batasi oleh pintu gerbang dengan tulisan EREVELD LEUWIGAJAH berwarna emas terpatri dengan kokoh. Gerbang itu selalu terkunci dan tidak membolehkan siapapun masuk ke dalam, kecuali pihak keluarga atau ada izin kunjungan khusus. Bersama komunitas Tjimahi Heritage (Minggu, 15/05/2016), saya berkesempatan mengunjungi lokasi langka ini. Sebelumnya Tjimahi Heritage memang sudah mengantongi izin khusus untuk mengunjungi Ereveld Leuwigajah. Disadari bahwa jelajah kali ini merupakan kunjungan langka, tak heran jika peserta jelajah Ereveld ini cukup banyak. Kedatangan kami pun disambut langsung oleh Bpk. Franky Tuhumury, sebagai kepala pengelola Ereveld Leuwigajah dengan sepenuh hangat dan ramah. Dari beliau inilah saya menimba pengetahuan dan informasi tentang Ereveld Leuwigajah.