Sunday, February 21, 2016

Kolam Tua

Oleh: Iwan Hermawan

Balong PE demikian orang2 menyebutnya. Berlokasi di komplek brigif 15 Kujang di daerah Baros Cimahi. Entah penulisannya PE atau VE entahlah, saya lihat di suatu majalah lawas, Netherlands Indische Leven terbitan 1930 kolam ini sudah ada dengan sebutan Visvijver yang artinya kolam ikan.
Di foto lama itu terlihat latar belakang kolam yaitu gunung Padakasih dan gunung Aseupan yang keduanya sekarang mulai berubah bentuk.


Kembali ke kolam, daerah itu dahulu merupakan padang rumput luas. Rumput tersebut diperuntukan untuk kuda penarik meriam. Penamaan PE masih misteri, mungkinkah penamaan itu ada hubungannya dengan komplek Pusdikarmed yang dahulu mempunyai meriam artileri medan yang jika di bahasa Belanda-kan Veldartillerie karena lidah warga pribumi menjadi PE? Atau dari arti makanan kuda (rumput) yang disebut Paarden atau dari istilah istilah lain. Entahlah.


Kolam Tua (foto: Iwan Hermawan)

Film Darna dan Bioskop Rio

Oleh: Machmud Mubarok

MASIH ada yang ingat dengan film Darna Ajaib? Tokoh superhero perempuan yang benar-benar sakti mandraguna. Bisa terbang secepat kilat dan kebal segala senjata. Persis Superman. Yang saya ingat, pemeran Darna dewasa adalah aktris cantik Lidya Kandou. Itu film keluar tahun 1980.
Tokoh Darna ini bukanlah tokoh superhero ciptaan orang Indonesia. Dia adalah superhero komik ciptaan orang Filipina, Mars Ravelo dan Nestor Redondo pada tahun 1950. Dari komik, superhero Darna ini kemudian difilmkan setahun kemudian. Nah, Bioskop Rio sebagainya bioskop paling ternama di Cimahi tak ingin ketinggalan memutar film edisi Filipina ini. Tahun 1952, tepatnya Bulan April, Bioskop Rio pun memutar film Darna. Iklan pemutaran filmnya dipasang di koran De Preangerbode, Senin 28 Januari 1952.

Iklan pemutaran film Darna di bioskop Rio


FF Buse. Raja Pengelola Bioskop di Bandung termasuk juga Bioskop Rio Tjimahi

Raden Achmad Witoelar Kartaadipoetra

Oleh: Yarman Mourly

Cimahi memang parah dalam hal pengarsipan. Yang diketahui Orang Cimahi tentang Cimahi umumnya hanya sebagai berikut: Tahun 1935 Cimahi menjadi kecamatan (lampiran staad blad tahun 1935). Tahun 1962 dibentuk setingkat kewedanaan, meliputi 4 kecamatan: Cimahi, Padalarang, Batujajar dan Cipatat. Tahun 1975 ditingkatkan menjadi Kota Administratip. Selesai.

Pertanyaannya adalah siapakah yang pernah menjabat jadi wedana Cimahi tersebut? Nah lho, bingung kan? Yang pernah menjadi pejabat wedana Cimahi adalah Raden Achmad Witoelar Kartaadipoetra (1910-1987). Beliau tak lain adalah bapak kandung dari Wimar Witoelar yang pernah menjadi juru bicara presiden Gus Dur. Raden Achmad Witoelar Kartaadipoetra menikah dengan Nyi Raden Toti Soetiamah Tanoekoesoemah (1914-1977) dan dikaruniai 5 orang anak yaitu Luki Djanatum Muhamad Hamim (1932), Kiki Wastika (1935), Toerki Joenoes Moehamad Saleh (1938), Rachmat Nadi (1941) dan Wimar Jartika (1945). Yang bungsu inilah yang kita kenal dengan nama Wimar Witoelar.

Rumah Kolonial Bergaya Jawa

Oleh: Yayu Arundina
 
Sejak kecil dulu, hampir setiap saat saya selalu akrab melewati rumah ini. Sebuah rumah yang terletak di pinggir jalan besar. Banyak cerita yang melingkupi rumah ini. Angker. Rumah berhantu. Juga sering digunakan untuk syuting sinetron. Kabarnya sinetron yang angker juga.
Dari pinggir jalan besar, rumah ini hanya terlihat bagian atapnya saja. Mengapa? Di sekelilingnya terdapat banyak pohon-pohon besar. Dalam pikiran anak kecil, saya menyebutnya sebagai sebuah hutan. Hutan di tengah kota. Rindang dengan pepohonan dan gelap. Benar-benar menakutkan.
Lama tak mendengar kabar tentang rumah ini. Tiba-tiba, seorang kawan saya mengajak untuk menjelajahi rumah tua tersebut bersama dengan komunitas Tjimahi Herritage. Rumah ini terletak di pinggir jalan raya Cimahi-Bandung, khususnya daerah Kebon Kopi Cibeureum Cimahi. Minggu, 31 Januari 2016 kemarin, akhirnya saya dan teman-teman berhasil menjelajahi rumah bersejarah ini. Kondisinya sangat jauh berbeda dari bayangan masa kecil dulu. 

Bagian luarnya sudah sangat lapang. Pohon-pohon rindang yang dulu menutupinya sudah hilang, berganti taksi-taksi biru. Tinggal sisi bagian kanan yang masih menyisakan sejarah. Kabar terakhir, rumah ini sudah dijual pada sebuah perusahaan taksi terkenal di Bandung, Bluebird. Perusahaan tersebut berkomitmen untuk tetap melestarikan bangunan tersebut, walau harus merehabnya. Ya, rumah tua itu sudah banyak termakan usia. Rumah kuno itu saya namakan dengan RUMAH KOLONIAL BERGAYA JAWA. Bagian luarnya memang mirip dengan rumah gaya Eropa dengan tiang-tiang kokoh seperti bangunan Yunani. Kalau tidak salah berjumlah enam buah. Hanya di bagian atas ada nuansa lokal, yaitu ukiran bunga (melati).
Sebelum memasuki bagian dalam, kami mendapat penjelasan tentang sejarah kopi dan  rumah ini dari Kang Machmud Mubarok dan Kang Mochamad Sopian Ansori. Ternyata rumah ini terkait erat dengan sejarah perkebunan kopi. Boleh dibilang menakjubkan, karena melanggar kebiasaan syarat menanam kopi. Tanaman kopi biasanya membutuhkan ketinggian minimal 700 mdpl, sedangkan di sini hanya sekitar 650 mdpl. Jadi, pohon rindang yang dulu menyelimuti rumah ini ternyata oh ternyata adalah tanaman kopi yang tinggi-tinggi. Alasan inilah yang melatarbelakangi daerah ini bernama Kebon Kopi.
 
SEJARAH KOPI DI INDONESIA
 
Wow, ternyata kotaku ini bagian dari sejarah masa lalu yang kini sedang dibangkitkan lagi. Kopi nasional, produk Priangan, Produk Indonesia. Ah, rasanya bangga juga tinggal di kota yang termasuk bagian sejarah itu. Sekaligus juga miris mendengar kisahnya. Javana oh Javana! Kopi di tanah Priangan berasal dari wilayah Malabar India. Seorang kapten VOC, Adrian van Ommen membawa kopi Arabica pada tahun 1696. Pada awalnya, penanaman kopi di Indonesia ini mengalami kegagalan akibat banjir Batavia. Namun, akhirnya mambawa hasil setelah kopi tersebut ditanam di daerah Bidara Cina, Kampung Melayu, Sukabumi, dan Sudimara. Kopi-kopi inilah yang pada akhirnya membawa kejayaan pada VOC. Kopi-kopi tersebut berhasil menguasai pasaran dunia. Akibatnya, muncullah perjanjian VOC dengan para bupati Priangan untuk memperluas penanaman kopi di Priangan. Salah satunya adalah Bupati Cianjur, Aria Wiratanudatar. 
 
Pada tahun 1786, setengah kopi yang dihasilkan berasal dari lereng-lereng Gunung Gede di Cianjur dan sebagian lagi dari sekitar Bandung. Kejayaan kopi di pasar dunia membawa kemakmuran bagi VOCselama hampir dua abad, juga para bupati Priangan. Namun, kemudian akibat korupsi, VOC mengalami kebangkrutan hingga terjadi beberapa kali pergantian kekuasaan. Setelah menyengsarakan rakyat tahun 1876 Hindia Belanda ditimpa petaka dengan hancurnya tanaman kopi akibat penyakit karat daun. Penyakit itu meluas sehingga melumpuhkan perdagangan kopi dunia. Dalam situasi gawat tersebut, Brazil dan Kolombia akhirnya mengambil alih kekuasaan perdagangan kopi dunia sampai sekarang.
Setelah mendengar penjelasan sejarah perkebunan kopi, akhirnya kami dibagi menjadi dua rombongan. Secara bergantian, kedua rombongan itu menjelajahi bagian dalam rumah. Lalu, menjelajahi halaman belakangnya. 
   
MISTERI RUMAH TUA
 
Ketika memasuki bagian dalam, kawanku berkata, “ Aku kok seperti mengenal betul rumah ini. “
“Ya, jelaslah, wong kamu sering pulang ke Jawa. Pemilik rumah ini kan orang Jawa. Trenggalek !” jawabku sambil tersenyum.
 
Inilah kejutan pertama. Rumah bergaya kolonial ini bukan milik para bangsawan Eropa (Belanda) tapi milik pribumi. Seorang tuan tanah asal Trenggalek, Jawa Timur. Diperkirakan rumah ini milik Wangsadiredja. Kejayaan kopi membawa kemakmuran. Rumah inilah buktinya. Kemewahan arsitektur Eropa dipadukan dengan nuansa Jawa di bagian dalamnya. Salah satunya melalui pintu-pintu kayu yang kokoh dan tinggi, lengkap dengan kunci khas dari masa lalu. Besi-besi panjang yang terkait di bagian atas dan palang kayu. Itulah kejutan keduanya. Rumah ini bukan istana raja Eropa.
 
Rumah yang sangat luas ini memiliki enam buah kamar dengan ukuran yang cukup luas. Yang menarik, di tengah-tengah bagian rumah masih ada sumur yang masih terlihat bagus. Walaupun dikelilingi ilalang yang sangat tinggi. Miris hati ini ketika memasuki bagian dalam. Seperti VOC, rumah ini benar-benar diambang kehancuran. Beberapa bagian rumah tampak tak terawat. Atap-atap banyak yang tinggal menunggu waktu jatuh. 

Kejutan ketiga, ada di halaman belakang. Halaman yang masih memiliki nuansa hutan itu ternyata merupakan pemakaman keluarga. Kurang lebih ada lima baris makam dengan berbagai model makam. Cina dan Muslim. Sangat terawat. Bersih. Rapi. Tulisan di nisan sebagian besar menggunakan bahasa Sunda. Sayang, sebagian nama-namanya kurang jelas terbaca.
  Sebelum sampai kompleks pemakaman tersebut, kami harus menjelajahi hutan kecil dan juga jalan setapak yang dipenuhi dengan guguran daun-daun. Cukup tebal dan empuk ketika diinjak.
Saat pulang, setelah mendapat restu dari penjaga,  seorang kawanku yang lain mengambil beberapa buah Ganitri untuk dijadikan gelang yang unik. Buahnya berwarna biru terang. Bagian dalamnya berwarna coklat muda. Bergerigi.
Dengan terkumpulnya buah Ganitri di wadah, berakhir pula petualangan kami hari itu. Menjelajahi RUMAH KOLONIAL BERGAYA JAWA. Setelah itu, kami kembali berkumpul di teras depan untuk berkenalan dan membacakan novel Max Havelaar secara bergantian. Konon kabarnya, rumah tua ini pernah digunakan untuk syuting film salah satu tokoh penting dalam sejarah Indonesia tersebut.
Menjelang dzuhur, kamipun membubarkan diri dengan membawa kenangan masa lalu, pengetahuan baru, dan kawan baru. Sampai jumpa di petualangan berikutnya, ya. Salam Sejarah! Salam Sastra!
Dari sejarah, kita bercermin untuk kebaikan di masa yang akan datang. Memaknai sejarah sami sareng memaknai hidup!
 
Machmud Mubarok (foto: Yayu)

Mochmad Sopian Ansori (foto: Yayu)

peserta jelajah

hiasan ornamen (foto: Yayu)

suasana di dalam rumah (foto: Yayu)

diskusi novel (foto: Yayu)