Sunday, January 25, 2015

Haryoto Kunto: Mewariskan Bandoeng Tempo Doeloe dengan Buku



Setiap kota selalu menyimpan sekelumit kenangan dan senarai cerita yang panjang berliku. Dan setiap kota mesti memiliki seorang Kuncen atau juru kunci yang mengetahui hal ihwal sejarah kota. Untuk kota Bandung, beruntunglah kota ini pernah memiliki seorang juru kunci kota yang mewartakan kenangan dan sejarah Bandung Tempo Doeloe lewat buku dan dokumentasi foto ketika kota Bandung masih zaman cacing dua saduit

Ia adalah Ir. Haryoto Kunto sang juru kunci Bandung yang telah berjasa memagari ingatan warga kota Bandung dengan buku-buku karangannya yang  pamornya tidak pernah sirna. Beberapa buku langka yang pernah ditulis Haryoto Kunto antara lain: Wajah Bandoeng Tempo Doeloe (1984), Semerbak Bunga di Bandung Raya (1986), Savoy Homann Persinggahan Orang Penting (1989), Balai Agung di Kota Bandung (1996), Ramadhan di Priangan (1996), Tempo Doeloe Cepat Berlalu (1996) dan Bandung Penuh Sanjung yang masih berupa naskah itu adalah bukti rekaman-rekaman reflektif tentang sejarah dan suasana kota Bandung baheula, semacam kitab-kitab suci bagi peminat sejarah Bandung Tempo Doeloe.

Melalui buku-buku itulah Haryoto Kunto senantiasa berusaha mengawetkan ingatan warga kota Bandung dengan sepenuh denyut dan pesona. Lewat bahasa tulisannya yang tanpa harus mendapuk diri sebagai sarjana Planologi jebolan ITB dengan gaya tulisan yang kering layaknya narasi teks sejarah, Haryoto Kunto justru menyajikan gaya bahasa yang sederhana, ringan bahkan diselingi humor spontan. Tanpa harus kehilangan alamat dan tersesat mengenai narasi-narasi sejarah yang terkandung di dalamnya. 
Dua buku legendaris karya Haryoto Kunto, Wajah Bandoeng Tempo Doeloe dan Semerbak Bunga di Bandung Raya, telah terlanjur menjadi semacam narasi teks nostalgia. Hati siapapun akan diterbangkan ke masa-masa yang sudah lewat, khususnya bagi generasi sepuh di suatu lini masa yang sudah lalu. Bagi generasi sepantaran saya tentulah buku-buku Haryoto Kunto tersebut semacam Lonely Planet, sebuah buku peta petunjuk untuk menjelajahi zaman Bandung yang masih asri, Bandung yang belum heurin ku tangtung atau zaman tikotok di lebuan.  

Haryoto Kunto dan buku antiquariat

Minat Haryoto Kunto terhadap buku-buku sejarah, terutama sejarah perkotaan telah Kunto suntuki sejak ia berusia 7 tahun. Minat Haryoto Kunto itu tidak lepas dari peran kedua orangtuanya. Sang ibu yang bekerja sebagai karyawati Kantor Pos di Tegal dan sang ayah yang menjabat sebagai Ambtenaar Staat-Spoorwagen di stasiun Gombong tempo doeloe. Sebagai anak yang mempunyai ayah yang berdinas pada Lijn Afdeling (Dinas Lalu Lintas), keluarga Kunto sering mengembara dari satu kota ke kota yang lain, bermukim dan berpindah tempat tinggal di satu kota ke kota yang lain yang tersebar di seputaran Tatar Sunda. Tercatat keluarga Kunto pernah tinggal di Serang (1914), Rangkasbitung (1916), Bandung (1919), Kiaracondong (1925), Cianjur (1934), Cimahi (1935), Purwakarta (1936), Cibatu (1937-1942) dan Tasikmalaya (1947).  Dan di kota Bandung inilah kota yang paling akrab dan menyimpan sejuta kesan bagi Haryoto Kunto hingga ia wafat pada 4 September 1999 di usianya yang menjelang ke-59.

Dengan semangat nomaden itulah Kunto kecil menaruh minat pada sejarah perkotaan. Rumahnya di Kebon Kawung dijadikan gudang sekaligus perpustakaan pribadi yang dikelola bersama sang istri, Dra. Etty R. Winarya Kunto, telah menyimpan 30 ribu judul buku, 50 set Ensiklopedia dan ratusan makalah yang setia dikumpulkan Kunto sepanjang hayat. Koleksi ribuan buku Kunto itu terdiri dari buku berbahasa Inggris, bahasa Indonesia dan bahasa Belanda. Dan umumnya koleksi buku-buku Kunto tergolong masuk ke dalam antikuariat karena usianya yang sudah sangat uzur dan lebih dari satu abad. Hal itu bisa ditelisik dibalik daftar pustaka yang tercetak di halaman belakang buku Wajah Bandoeng Tempo Doeloe. Disana tercetak buku-buku berbahasa Belanda yang terbit di penghujung abad 19.

Perpustakaan Kunto didirikan atas dasar keprihatinan dan didorong oleh semacam energi negatif. Hal ini di picu karena perpustakaan Gedung Sate Bandung yang diklaim sebagai perpustakaan paling lengkap se-Asia Tenggara nyata-nyatanya tidak seperti yang dibayangkan dan di gembar-gemborkan. Karena dikelola oleh pegawai yang tidak bisa mengurusi buku, akhirnya perpustakaan ‘terlengkap’ itu tinggal puing-puing kenangan. Buku-buku antikuariat disana lenyap. Hilang tanpa bekas, entah tercecer dimana. Dari energi hitam itulah lantas semangat Kunto membangun perpustakaan sejarah berkobar-kobar. 

Dengan dana yang diperoleh Kunto dari hasil tulis-menulis di koran, Kunto mulai memburu kembali remah-remah buku yang tercecer. Dikumpulkannya kembali buku-buku antikuariat yang sudah lama hilang. Bahkan buku-buku yang tergolong antikuariat itu ada yang datang dengan sendirinya karena yakin jika perpustakaan Haryoto Kunto adalah tempat yang layak dipercaya untuk menyimpan, mengelola, mengurus dan mengawetkan pustaka pusaka. Dirumahnya kini pagar ingatan itu telah berdiri. Perpustakaan Kunto sudah dibangun justru ketika sang Juru Kunci Bandung, Ir. Haryoto Kunto itu sudah rebah di haribaan sunyi.
Semoga ke depan muncul Kunto-Kunto baru yang merawat dan melestarikan kota Bandung dari serangan lupa.

Friday, January 9, 2015

Di Cimahi Tak Ada Buku

Milan Kundera, novelis asal Cekoslovakia itu bisa jadi benar. Katanya, apabila ingin menghancurkan sebuah bangsa dan peradabannya, hancurkan saja perpustakaannya. Bumi hanguskan saja buku-bukunya. Dan proses penglupaan atas segala ingatan peradaban beserta sejarah sebuah bangsa-kota yang dikandung didalamnya akan menjadi sebuah proyek historis yang mengenaskan.

Menurut sesobek catatan Pramoedya Ananta Toer di buku Jalan Raya Pos Jalan Daendels, sebelum tahun 1913 kota Cimahi itu bernama Cilokotot. Perubahan nama itu terjadi setelah semasa pemerintahan Gubernur Jendral van Heutsz, Bandung ditunjuk sebagai tempat pemusatan tentara Hindia Belanda. Dan di Cilokotot inilah –sekarang Cimahi- dibuatkan tangsi-tangsi besar serdadu KNIL lengkap dengan dibangunnya sebuah rumah sakit militer besar (sekarang nama rumah sakit itu bernama RS. Dustira). Sejak saat itulah Cimahi identik menjadi kota serdadu.

Sebagai sebuah kota kecil yang punya julukan’Kota Militer’, sudah sepantasnya Cimahi bangga menepuk dada. Karena julukan kota tersebut kental bermuatan sejarah. Hal itu dibuktikan jika berjalan-jalan dari Alun-alun menuju arah selatan, tempat itu ditaburi cagar-cagar bangunan tempo doeloe. Lengkap dengan sebuah stasiun spoorwagen sisa jaman Belanda yang kini masih beroperasi. Sebagai sebuah kota yang difasilitasi rumah sakit militer besar (RS. Dustira), sebuah Masjid Agung, dua buah pasar (Pasar Atas dan Pasar Antri), mall-mall dan pusat belanja, sebuah universitas (Universitas Jendral Ahmad Yani) dan beberapa pusat-pusat pendidikan beserta sekolah-sekolah yang bertebaran di seantero kota, serta sebuah bioskop bersejarah (Bioskop RIO) yang sekarang berubah fungsi menjadi tempat penjualan barang elektronik, sudah cukuplah kiranya kota Cimahi sebagai penanda sebuah kota yang modern.

Perpustakaan dan toko buku
Bukti-bukti otentik dari sejarah berdirinya sebuah kota  akan terus senantiasa menjadi saksi abadi atas sebuah peristiwa yang pernah dan akan berlangsung. Turun temurun dari generasi ke generasi berikutnya. Dan kisah-kisah heroik yang pernah berlangsung di kota tersebut hanya akan berhenti sebagai proses pengkisahan yang dituturkan dari lisan ke lisan. Dan dipastikan dongengan-donengan itu akan mudah dilupakan seiring waktu jika saja tak ada lagi generasi yang melanjutkan proses lisan itu. Untuk itulah dibutuhkan sebuah pilar pengikat dari tradisi sejarah lisan menuju sejarah tulisan. Dan pilar itu bernama perpustakaan yang menyimpan rekam jejak literasi sumber pengetahuan lewat buku-buku bacaan. 
Sebagai sebuah kota otonom, seharusnya Cimahi memiliki perpustakaan kota dengan koleksi buku-buku lengkap yang bisa dinikmati oleh semua lapisan warganya, baik perpustakaan yang dikelola oleh Pemda maupun secara swakelola masyarakat yang sudah melek wacana dan berkesadaran akan pentingnya pengetahuan. Beberapa tahun yang lalu, pernah ada sebuah perpustakaan yang berlokasi di tengah-tengah hiruk pikuk kampus dan sekolah, tapi sekarang perpustakaan itu kini entah pindah kemana. Katanya dipindah ke komplek perkantoran walikota. Sudah bisa dibayangkan, suasana kantor pemerintah yang tidak sembarangan membuka pintunya lebar-lebar bagi siapa saja yang tidak memiliki kepentingan khusus bisa masuk kesana, meskipun tujuannya sangat mulia, yaitu ingin membaca buku di dalam perpustakaan. 

Selain tidak ditemukannya perpustakaan umum, kota Cimahi juga miskin toko buku. Tidak ada toko buku sekelas Gramedia, Gunung Agung atau Toga Mas. Kalaupun ada toko buku di dalam mall, itupun kelengkapannya sangat memprihatinkan dan kurang variatif dari segi tema. Tepat di pusat kota, disamping gedung Ramayana pernah ada sebuah toko buku cabang BBC Palasari. Tapi entah karena alasan apa toko buku itu akhirnya memilih tutup. Bisa dibayangkana, betapa susahnya para pelajar – mahasiswa dan sebagian masyarakat yang ingin memenuhi kebutuhan akan gizi pengetahuan jika sumber-sumber untuk mendapatkan buku-buku bacaan itu tidak ada.

Sebagai sebuah kota administrasi yang terus bebenah membangun kotanya secantik mungkin, dalam satu lini masa kota Cimahi telah kehilangan akar tunggang atas akses mendapatkan sumber mata air pengetahuan. Cimahi telah menjadi kota yang penghuninya tidak terbiasa dengan hiruk pikuk pertukaran gagasan. Dan jika pembiaran ini terus berlangsung, maka benarlah apa yang pernah ditamsilkan tuan Kundera bahwa penghancuran sebuah bangsa haruslah dimulai dengan menghancurkan perpustakaan dan buku-bukunya. Hancur secara fisik layaknya sebuah kota yang rombeng seperti habis dihujani bom atom sih tidak, tapi secara intelektual dan haus buku tampaknya sih begitu.