Milan
Kundera, novelis asal Cekoslovakia itu bisa jadi benar. Katanya,
apabila ingin menghancurkan sebuah bangsa dan peradabannya, hancurkan
saja perpustakaannya. Bumi hanguskan saja buku-bukunya. Dan proses
penglupaan atas segala ingatan peradaban beserta sejarah sebuah
bangsa-kota yang dikandung didalamnya akan menjadi sebuah proyek
historis yang mengenaskan.
Menurut sesobek catatan Pramoedya Ananta Toer di buku Jalan Raya Pos Jalan Daendels,
sebelum tahun 1913 kota Cimahi itu bernama Cilokotot. Perubahan nama
itu terjadi setelah semasa pemerintahan Gubernur Jendral van Heutsz,
Bandung ditunjuk sebagai tempat pemusatan tentara Hindia Belanda. Dan di
Cilokotot inilah –sekarang Cimahi- dibuatkan tangsi-tangsi besar
serdadu KNIL lengkap dengan dibangunnya sebuah rumah sakit militer besar
(sekarang nama rumah sakit itu bernama RS. Dustira). Sejak saat itulah
Cimahi identik menjadi kota serdadu.
Sebagai
sebuah kota kecil yang punya julukan’Kota Militer’, sudah sepantasnya
Cimahi bangga menepuk dada. Karena julukan kota tersebut kental
bermuatan sejarah. Hal itu dibuktikan jika berjalan-jalan dari Alun-alun
menuju arah selatan, tempat itu ditaburi cagar-cagar bangunan tempo doeloe. Lengkap dengan sebuah stasiun spoorwagen
sisa jaman Belanda yang kini masih beroperasi. Sebagai sebuah kota yang
difasilitasi rumah sakit militer besar (RS. Dustira), sebuah Masjid
Agung, dua buah pasar (Pasar Atas dan Pasar Antri), mall-mall dan pusat
belanja, sebuah universitas (Universitas Jendral Ahmad Yani) dan
beberapa pusat-pusat pendidikan beserta sekolah-sekolah yang bertebaran
di seantero kota, serta sebuah bioskop bersejarah (Bioskop RIO) yang
sekarang berubah fungsi menjadi tempat penjualan barang elektronik,
sudah cukuplah kiranya kota Cimahi sebagai penanda sebuah kota yang
modern.
Perpustakaan dan toko buku
Bukti-bukti
otentik dari sejarah berdirinya sebuah kota akan terus senantiasa
menjadi saksi abadi atas sebuah peristiwa yang pernah dan akan
berlangsung. Turun temurun dari generasi ke generasi berikutnya. Dan
kisah-kisah heroik yang pernah berlangsung di kota tersebut hanya akan
berhenti sebagai proses pengkisahan yang dituturkan dari lisan ke lisan.
Dan dipastikan dongengan-donengan itu akan mudah dilupakan seiring
waktu jika saja tak ada lagi generasi yang melanjutkan proses lisan itu.
Untuk itulah dibutuhkan sebuah pilar pengikat dari tradisi sejarah
lisan menuju sejarah tulisan. Dan pilar itu bernama perpustakaan yang
menyimpan rekam jejak literasi sumber pengetahuan lewat buku-buku
bacaan.
Sebagai
sebuah kota otonom, seharusnya Cimahi memiliki perpustakaan kota dengan
koleksi buku-buku lengkap yang bisa dinikmati oleh semua lapisan
warganya, baik perpustakaan yang dikelola oleh Pemda maupun secara
swakelola masyarakat yang sudah melek wacana dan berkesadaran akan
pentingnya pengetahuan. Beberapa tahun yang lalu, pernah ada sebuah
perpustakaan yang berlokasi di tengah-tengah hiruk pikuk kampus dan
sekolah, tapi sekarang perpustakaan itu kini entah pindah kemana.
Katanya dipindah ke komplek perkantoran walikota. Sudah bisa
dibayangkan, suasana kantor pemerintah yang tidak sembarangan membuka
pintunya lebar-lebar bagi siapa saja yang tidak memiliki kepentingan
khusus bisa masuk kesana, meskipun tujuannya sangat mulia, yaitu ingin
membaca buku di dalam perpustakaan.
Selain
tidak ditemukannya perpustakaan umum, kota Cimahi juga miskin toko
buku. Tidak ada toko buku sekelas Gramedia, Gunung Agung atau Toga Mas.
Kalaupun ada toko buku di dalam mall, itupun kelengkapannya sangat
memprihatinkan dan kurang variatif dari segi tema. Tepat di pusat kota,
disamping gedung Ramayana pernah ada sebuah toko buku cabang BBC
Palasari. Tapi entah karena alasan apa toko buku itu akhirnya memilih
tutup. Bisa dibayangkana, betapa susahnya para pelajar – mahasiswa dan
sebagian masyarakat yang ingin memenuhi kebutuhan akan gizi pengetahuan
jika sumber-sumber untuk mendapatkan buku-buku bacaan itu tidak ada.
Sebagai
sebuah kota administrasi yang terus bebenah membangun kotanya secantik
mungkin, dalam satu lini masa kota Cimahi telah kehilangan akar tunggang
atas akses mendapatkan sumber mata air pengetahuan. Cimahi telah
menjadi kota yang penghuninya tidak terbiasa dengan hiruk pikuk
pertukaran gagasan. Dan jika pembiaran ini terus berlangsung, maka
benarlah apa yang pernah ditamsilkan tuan Kundera bahwa penghancuran
sebuah bangsa haruslah dimulai dengan menghancurkan perpustakaan dan
buku-bukunya. Hancur secara fisik layaknya sebuah kota yang rombeng
seperti habis dihujani bom atom sih tidak, tapi secara intelektual dan haus buku tampaknya sih begitu.
Setelah membaca artikel ini sejenak lamunan saya menerawang jauh ke belakang terimakasih sudah memposting artikel yg sangat berharga ini kang, saya kira di cimahi tidak ada org yg peduli akan sejarah cimahi soalnya jarang sekali foto2 cimahi tempo doeloe salam kenal saya kiki warga cimahi asli hehe.
ReplyDeleteHalo, teh Kiki. Iya, sebagai sebuah kota tua bersejarah sudah sepatutnya masyarakat Cimahi tahu dan hapal betul sejarah kotanya. Dan akses pengetahuan itu salah satunya didapat dari buku. Sayang sekali kota Cimahi langka toko buku, ruang diskusi buku atau perpustakaan alternatif. Salam...
ReplyDelete