Friday, January 9, 2015

Di Cimahi Tak Ada Buku

Milan Kundera, novelis asal Cekoslovakia itu bisa jadi benar. Katanya, apabila ingin menghancurkan sebuah bangsa dan peradabannya, hancurkan saja perpustakaannya. Bumi hanguskan saja buku-bukunya. Dan proses penglupaan atas segala ingatan peradaban beserta sejarah sebuah bangsa-kota yang dikandung didalamnya akan menjadi sebuah proyek historis yang mengenaskan.

Menurut sesobek catatan Pramoedya Ananta Toer di buku Jalan Raya Pos Jalan Daendels, sebelum tahun 1913 kota Cimahi itu bernama Cilokotot. Perubahan nama itu terjadi setelah semasa pemerintahan Gubernur Jendral van Heutsz, Bandung ditunjuk sebagai tempat pemusatan tentara Hindia Belanda. Dan di Cilokotot inilah –sekarang Cimahi- dibuatkan tangsi-tangsi besar serdadu KNIL lengkap dengan dibangunnya sebuah rumah sakit militer besar (sekarang nama rumah sakit itu bernama RS. Dustira). Sejak saat itulah Cimahi identik menjadi kota serdadu.

Sebagai sebuah kota kecil yang punya julukan’Kota Militer’, sudah sepantasnya Cimahi bangga menepuk dada. Karena julukan kota tersebut kental bermuatan sejarah. Hal itu dibuktikan jika berjalan-jalan dari Alun-alun menuju arah selatan, tempat itu ditaburi cagar-cagar bangunan tempo doeloe. Lengkap dengan sebuah stasiun spoorwagen sisa jaman Belanda yang kini masih beroperasi. Sebagai sebuah kota yang difasilitasi rumah sakit militer besar (RS. Dustira), sebuah Masjid Agung, dua buah pasar (Pasar Atas dan Pasar Antri), mall-mall dan pusat belanja, sebuah universitas (Universitas Jendral Ahmad Yani) dan beberapa pusat-pusat pendidikan beserta sekolah-sekolah yang bertebaran di seantero kota, serta sebuah bioskop bersejarah (Bioskop RIO) yang sekarang berubah fungsi menjadi tempat penjualan barang elektronik, sudah cukuplah kiranya kota Cimahi sebagai penanda sebuah kota yang modern.

Perpustakaan dan toko buku
Bukti-bukti otentik dari sejarah berdirinya sebuah kota  akan terus senantiasa menjadi saksi abadi atas sebuah peristiwa yang pernah dan akan berlangsung. Turun temurun dari generasi ke generasi berikutnya. Dan kisah-kisah heroik yang pernah berlangsung di kota tersebut hanya akan berhenti sebagai proses pengkisahan yang dituturkan dari lisan ke lisan. Dan dipastikan dongengan-donengan itu akan mudah dilupakan seiring waktu jika saja tak ada lagi generasi yang melanjutkan proses lisan itu. Untuk itulah dibutuhkan sebuah pilar pengikat dari tradisi sejarah lisan menuju sejarah tulisan. Dan pilar itu bernama perpustakaan yang menyimpan rekam jejak literasi sumber pengetahuan lewat buku-buku bacaan. 
Sebagai sebuah kota otonom, seharusnya Cimahi memiliki perpustakaan kota dengan koleksi buku-buku lengkap yang bisa dinikmati oleh semua lapisan warganya, baik perpustakaan yang dikelola oleh Pemda maupun secara swakelola masyarakat yang sudah melek wacana dan berkesadaran akan pentingnya pengetahuan. Beberapa tahun yang lalu, pernah ada sebuah perpustakaan yang berlokasi di tengah-tengah hiruk pikuk kampus dan sekolah, tapi sekarang perpustakaan itu kini entah pindah kemana. Katanya dipindah ke komplek perkantoran walikota. Sudah bisa dibayangkan, suasana kantor pemerintah yang tidak sembarangan membuka pintunya lebar-lebar bagi siapa saja yang tidak memiliki kepentingan khusus bisa masuk kesana, meskipun tujuannya sangat mulia, yaitu ingin membaca buku di dalam perpustakaan. 

Selain tidak ditemukannya perpustakaan umum, kota Cimahi juga miskin toko buku. Tidak ada toko buku sekelas Gramedia, Gunung Agung atau Toga Mas. Kalaupun ada toko buku di dalam mall, itupun kelengkapannya sangat memprihatinkan dan kurang variatif dari segi tema. Tepat di pusat kota, disamping gedung Ramayana pernah ada sebuah toko buku cabang BBC Palasari. Tapi entah karena alasan apa toko buku itu akhirnya memilih tutup. Bisa dibayangkana, betapa susahnya para pelajar – mahasiswa dan sebagian masyarakat yang ingin memenuhi kebutuhan akan gizi pengetahuan jika sumber-sumber untuk mendapatkan buku-buku bacaan itu tidak ada.

Sebagai sebuah kota administrasi yang terus bebenah membangun kotanya secantik mungkin, dalam satu lini masa kota Cimahi telah kehilangan akar tunggang atas akses mendapatkan sumber mata air pengetahuan. Cimahi telah menjadi kota yang penghuninya tidak terbiasa dengan hiruk pikuk pertukaran gagasan. Dan jika pembiaran ini terus berlangsung, maka benarlah apa yang pernah ditamsilkan tuan Kundera bahwa penghancuran sebuah bangsa haruslah dimulai dengan menghancurkan perpustakaan dan buku-bukunya. Hancur secara fisik layaknya sebuah kota yang rombeng seperti habis dihujani bom atom sih tidak, tapi secara intelektual dan haus buku tampaknya sih begitu.

2 comments:

  1. Setelah membaca artikel ini sejenak lamunan saya menerawang jauh ke belakang terimakasih sudah memposting artikel yg sangat berharga ini kang, saya kira di cimahi tidak ada org yg peduli akan sejarah cimahi soalnya jarang sekali foto2 cimahi tempo doeloe salam kenal saya kiki warga cimahi asli hehe.

    ReplyDelete
  2. Halo, teh Kiki. Iya, sebagai sebuah kota tua bersejarah sudah sepatutnya masyarakat Cimahi tahu dan hapal betul sejarah kotanya. Dan akses pengetahuan itu salah satunya didapat dari buku. Sayang sekali kota Cimahi langka toko buku, ruang diskusi buku atau perpustakaan alternatif. Salam...

    ReplyDelete