Si Jerawat membanting setir. Dia mendengar kaca pecah dan
senapan mesin sudah siap pada posisinya. Yang bisa dia lakukan sekarang
adalah memperhatikan jalan dan menjaga kecepatan. Tiap kali mereka
melewati tikungan, dia mendengar sumpah serapah Si Jangkung. “Sialan,
mereka mengejar kita!” Lalu Jan berteriak: “Berhenti!” Si Jerawat
menginjak penuh pedal remnya.
Mobil lalu diparkir di sisi tebing. Mereka baru saja melewati salah
satu tikungan dan bersembunyi dari pandangan mobil pengejar. “Kita jebak
mereka,” kata Jan. Dengan cepat dia berkata kepada teman-temannya apa
yang harus dilakukan. Dalam situasi berbahaya itu, mereka berusaha
memahami satu sama lain dengan anggukan dan tatapan mata. Si Jangkung
berlari membawa senapan mesin ke belakang batu besar dan yang lain
bersembunyi di balik semak. Sekilas Jan Luxinger melihat kembang sepatu
berwarna merah cerah dan mencium bau belerang. Ketegangan dan adrenalin
segera memuncak.
Dengan kecepatan penuh, mobil yang mengejar mereka melintasi
tikungan. Suara tembakan terdengar menggema dari tebing. Mobil itu
terus berjalan dan mereka kini mendengar rentetan tembakan dari senapan
si Jangkung. Mobil itu akhirnya berhenti. Tak tampak ada gerakan dalam
mobil itu. Hanya suara kepakan beberapa kalong yang kini terdengar. Dari tempatnya bersembunyi Jan mengamati situasi di sekitar mobil.
Sejenak keadaan menjadi hening. Sesosok bayangan muncul pelan-pelan
dari belakang mobil; tangannya bergerak melepas dua tembakan. Namun Jan
membalas tembakan itu dengan beberapa peluru…dan sosok berwajah kuning
itu melarikan diri.
Jan berteriak kepada tentara-tentara Jepang itu agar menyerah.
Tiba-tiba sepasang tangan melambai dari jendela mobil yang terbuka.
Keempat lelaki Belanda itu berlari ke arah mobil. Dua tentara Jepang
mati, lainnya sekarat. Mereka memungut tiga senapan mesin lalu
mendorong mobil itu ke arah jurang yang dalam. Si Jerawat lalu
menyalakan mesinnya dan mobil De Soto itu meluncur ke bawah. Mereka meneruskan perjalanan dan memasuki alam yang berbeda. Di
kanan-kiri jalan tampak sawah. Mereka melewati sejumlah kampung dengan
kecepatan tinggi. Suara mobil yang bising membuat penduduk kampung
takut. Mereka makin mendekati Cianjur.
Sesaat sebelum sampai di Cianjur, sebuah bendera merah tampak
berkibar-kibar. Si Jerawat melambatkan mobil dan menunggu perintah.
Dari kaca jendela Jan melihat sebuah laras hitam di antara
kantong-kantong pasir mengarah pada mereka. “Kita berhenti,” bisiknya
pelan. Dua tentara Jepang mendekat. Si Jangkung keluar dari mobil dan
mengajak mereka bercakap-cakap Dia menegakkan bahunya dan berkata
“Komandan” sambil membuka pintu buat Jan Luxinger. Jan menghampiri kedua
tentara Jepang itu dan menatap mereka. “Panggil Kapten kalian,” katanya
sambil menunjuk barak kecil.
Seorang sersan sudah lebih dulu
menghampirinya. Jan memperlihatkan selembar surat ijin. Si sersan yang
tak bisa berbahasa Inggris berlagak mengerti maksud Jan; para petinggi
Belanda ini mendapat perintah dari Cimahi untuk pergi ke markas AD di
Buitenzorg (Bogor). Tentu saja mereka diperbolehkan lewat, bahkan para
tentara Jepang itu memberi hormat. “Aku tak percaya,” kata Jan,
“mungkin kita bersandiwara seperti ini lagi”. Dalam perjalanan ke
Sukabumi mereka tertawa-tawa. Dengan kecepatan tinggi, mereka melaju di atas Jalan Pos. Jalan ini
dibangun semasa pemerintahan Daendels. Di kedua sisinya berdiri
pohon-pohon besar. Alam yang indah dengan nyiur di sana-sini menaungi
kampung-kampung kecil yang disinari cahaya merah senjakala.
Beberapa ekor kerbau tampak menarik bajak kayu di atas sawah. Lelaki
Jawa yang berada di belakangnya menyanyikan sebuah lagu yang terdengar
monoton. Di ujung jalan sekumpulan bocah telanjang sedang bermain;
seseorang yang membawa pikulan di pundaknya hampir melompat saat
mendengar raungan mesin mobil yang mereka kendarai. Kebun-kebun bunga, sawah yang menghijau dan pohon kelapa yang
melambai-lambai tampak begitu indah, namun tidak dirasakan oleh keempat
lelaki Belanda itu. Mereka adalah pelarian dari tentara pendudukan
Jepang yang brutal. Tanah yang indah ini segera akan menjadi neraka dan
kemolekannya akan sirna. Keempat buronan Jepang itu kini diam, seakan
dihanyutkan oleh pemandangan sekitar. Sampai kapan tempat ini
memberikan ketenangan sampai berubah menjadi medan pertempuran?
Permukaan tanah yang mereka lalui lalu berubah. Kini mereka masuk ke
daerah pegunungan. Jalannya meliuk-liuk seperti ular, dinaungi
bukit-bukit hijau. Sebenar lagi, rumah-rumah penduduk Sukabumi akan
muncul dari balik kabut yang basah karena hujan. Si Jerawat menyumpah, kipas jendela mobilnya macet sehingga dia
kesulitan melihat jalan. Tiba-tiba saja sebuah barikade karung pasir
dan beberapa senapan mesin muncul di depannya. Awalnya mereka tak
melihat tanda-tanda kehidupan di situ. Kemudian muncul seorang penjaga
dari salah satu rumah yang membuat keadaan menjadi tegang. Namun ketika
si penjaga usai melihat surat yang mereka tunjukkan, dia mengangguk dan
memberi tanda agar mereka lewat. Mereka seakan tak percaya kesaktian
surat yang mereka bawa.
Hampir di setiap sudut mereka melihat karung-karung pasir dengan
senapan mesin di atasnya. Bahkan saat melalui jalan-jalan, mereka
berpapasan dengan sekelompok tahanan yang membungkuk karena membawa
beban. Di antara mereka ada seorang kulit putih yang berhenti untuk
menarik napas. Segera saja sebuah tendangan dari sepatu bot Jepang
mendarat di tubuhnya. Pria itu berdiri dan sepintas melihat mereka dari
balik kaca jendela mobil. Wajah pria itu seperti mengharapkan sebuah
keajaiban yang bisa menolongnya.
Mobil yang mereka tumpangi tampak seperti menghilang di tengah hujan
deras. Jan, si pemimpin, ingin meninggalkan daerah ini secepat
mungkin. Sebentar lagi mereka akan berada di sebuah jalan menuju
Buitenzorg. Tiba-tiba Jan berteriak pada Si Jerawat, “belok ke ke
situ!”.
Rentetan tembakan dari arah depan mengenai kap mobil. Si
Jerawat menginjak pedal gas kuat-kuat dan membawa mobil menuruni jalan
kecil untuk menghindari tembakan. Wajah mereka pucat, tak satu pun kata
diucapkan. Kabut sudah menyelimuti mereka. Beberapa kilometer kemudian
mereka melihat lagi bendera merah dan setumpuk karung pasir. Jan
Luxinger memberi perintah: “Jangan berhenti, terlalu berbahaya. Ambil
senapan kalian!”
Bersambung...
Sumber:
http://tempodoeloe.com/2014/03/09/kisah-tiga-tentara-knil-bagian-2/
No comments:
Post a Comment