Tuesday, October 6, 2015

Kisah Tiga Tentara KNIL ~ Bagian 2

 Si Jerawat membanting setir. Dia mendengar kaca pecah dan senapan mesin sudah siap pada posisinya. Yang bisa dia lakukan sekarang adalah memperhatikan jalan dan menjaga kecepatan. Tiap kali mereka melewati tikungan, dia mendengar sumpah serapah Si Jangkung. “Sialan, mereka mengejar kita!” Lalu Jan berteriak: “Berhenti!” Si Jerawat menginjak penuh pedal remnya.

Mobil lalu diparkir di sisi tebing. Mereka baru saja melewati salah satu tikungan dan bersembunyi dari pandangan mobil pengejar. “Kita jebak mereka,” kata Jan. Dengan cepat dia berkata kepada teman-temannya apa yang harus dilakukan. Dalam situasi berbahaya itu, mereka berusaha memahami satu sama lain dengan anggukan dan tatapan mata.  Si Jangkung berlari membawa senapan mesin ke belakang batu besar dan yang lain bersembunyi di balik semak. Sekilas Jan Luxinger melihat kembang sepatu berwarna merah cerah dan mencium bau belerang.  Ketegangan dan adrenalin segera memuncak.

Dengan kecepatan penuh, mobil yang mengejar mereka melintasi tikungan. Suara tembakan terdengar menggema dari tebing.  Mobil itu terus berjalan dan mereka kini mendengar rentetan tembakan dari senapan si Jangkung. Mobil itu akhirnya berhenti.  Tak tampak ada gerakan dalam mobil itu.  Hanya suara kepakan beberapa kalong yang kini terdengar. Dari tempatnya bersembunyi Jan mengamati situasi di sekitar mobil.  Sejenak keadaan menjadi hening.  Sesosok bayangan muncul pelan-pelan dari belakang mobil; tangannya bergerak melepas dua tembakan.  Namun Jan membalas tembakan itu dengan beberapa peluru…dan sosok berwajah kuning itu melarikan diri.

Jan berteriak kepada tentara-tentara Jepang itu agar menyerah.  Tiba-tiba sepasang tangan melambai dari jendela mobil yang terbuka.  Keempat lelaki Belanda itu berlari ke arah mobil.  Dua tentara Jepang mati, lainnya sekarat.  Mereka memungut tiga senapan mesin lalu mendorong mobil itu ke arah jurang yang dalam. Si Jerawat lalu menyalakan mesinnya dan mobil De Soto itu meluncur ke bawah. Mereka meneruskan perjalanan dan memasuki alam yang berbeda. Di kanan-kiri jalan tampak sawah.  Mereka melewati sejumlah kampung dengan kecepatan tinggi.  Suara mobil yang bising membuat penduduk kampung takut.  Mereka makin mendekati Cianjur.

Sesaat sebelum sampai di Cianjur,  sebuah bendera merah tampak berkibar-kibar.  Si Jerawat melambatkan mobil dan menunggu perintah.  Dari kaca jendela Jan melihat sebuah laras hitam di antara kantong-kantong pasir mengarah pada mereka. “Kita berhenti,” bisiknya pelan.  Dua tentara Jepang mendekat. Si Jangkung keluar dari mobil dan mengajak mereka bercakap-cakap  Dia menegakkan bahunya dan berkata  “Komandan” sambil membuka pintu buat Jan Luxinger. Jan menghampiri kedua tentara Jepang itu dan menatap mereka. “Panggil Kapten kalian,” katanya sambil menunjuk barak kecil.

Seorang sersan sudah lebih dulu menghampirinya.  Jan memperlihatkan selembar surat ijin.  Si sersan yang tak bisa berbahasa Inggris berlagak mengerti maksud Jan; para petinggi Belanda ini mendapat perintah dari Cimahi untuk pergi ke markas AD di Buitenzorg (Bogor). Tentu saja mereka diperbolehkan lewat, bahkan para tentara Jepang itu memberi hormat.  “Aku tak percaya,” kata Jan, “mungkin kita bersandiwara seperti ini lagi”.  Dalam perjalanan ke Sukabumi mereka tertawa-tawa. Dengan kecepatan tinggi, mereka melaju di atas Jalan Pos.  Jalan ini dibangun semasa pemerintahan Daendels. Di kedua sisinya berdiri pohon-pohon besar.  Alam yang indah dengan nyiur di sana-sini menaungi kampung-kampung kecil yang disinari cahaya merah senjakala.

Beberapa ekor kerbau tampak menarik bajak kayu di atas sawah.  Lelaki Jawa yang berada di belakangnya menyanyikan sebuah lagu yang terdengar monoton.  Di ujung jalan sekumpulan bocah telanjang sedang bermain; seseorang yang membawa pikulan di pundaknya hampir melompat saat mendengar raungan mesin mobil yang mereka kendarai. Kebun-kebun bunga, sawah yang menghijau dan pohon kelapa yang melambai-lambai tampak begitu indah, namun tidak dirasakan oleh keempat lelaki Belanda itu.  Mereka adalah pelarian dari tentara pendudukan Jepang yang brutal.  Tanah yang indah ini segera akan menjadi neraka dan kemolekannya akan sirna. Keempat buronan Jepang itu kini diam, seakan dihanyutkan oleh pemandangan sekitar.  Sampai kapan tempat ini memberikan ketenangan sampai berubah menjadi medan pertempuran?

Permukaan tanah yang mereka lalui lalu berubah. Kini mereka masuk ke daerah pegunungan.  Jalannya meliuk-liuk seperti ular, dinaungi bukit-bukit hijau.  Sebenar lagi, rumah-rumah penduduk Sukabumi akan muncul dari balik kabut yang basah karena hujan. Si Jerawat menyumpah, kipas jendela mobilnya macet sehingga dia kesulitan melihat jalan.  Tiba-tiba saja sebuah barikade karung pasir dan beberapa senapan mesin muncul di depannya.  Awalnya mereka tak melihat tanda-tanda kehidupan di situ.  Kemudian muncul seorang penjaga dari salah satu rumah yang membuat keadaan menjadi tegang.  Namun ketika si penjaga usai melihat surat yang mereka tunjukkan, dia mengangguk dan memberi tanda agar mereka lewat.  Mereka seakan tak percaya kesaktian surat yang mereka bawa.

Hampir di setiap sudut mereka melihat karung-karung pasir dengan senapan mesin di atasnya.  Bahkan saat melalui jalan-jalan, mereka berpapasan dengan sekelompok tahanan yang membungkuk karena membawa beban.  Di antara mereka ada seorang kulit putih yang berhenti untuk menarik napas. Segera saja sebuah tendangan dari sepatu bot Jepang mendarat di tubuhnya.  Pria itu berdiri dan sepintas melihat mereka dari balik kaca jendela mobil.  Wajah pria itu seperti mengharapkan sebuah keajaiban yang bisa menolongnya.
 Mobil yang mereka tumpangi tampak seperti menghilang di tengah hujan deras.  Jan, si pemimpin, ingin meninggalkan daerah ini secepat mungkin.  Sebentar lagi mereka akan berada di sebuah jalan menuju Buitenzorg.  Tiba-tiba Jan berteriak pada Si Jerawat, “belok ke ke situ!”.

Rentetan tembakan dari arah depan mengenai kap mobil.   Si Jerawat menginjak pedal gas kuat-kuat dan membawa mobil menuruni jalan kecil untuk menghindari tembakan. Wajah mereka pucat, tak satu pun kata diucapkan.  Kabut sudah menyelimuti mereka.  Beberapa kilometer kemudian mereka melihat lagi bendera merah dan setumpuk karung pasir.  Jan Luxinger memberi perintah: “Jangan berhenti, terlalu berbahaya. Ambil senapan kalian!”

Bersambung...

Sumber:
http://tempodoeloe.com/2014/03/09/kisah-tiga-tentara-knil-bagian-2/

No comments:

Post a Comment