Mereka punya waktu setengah jam menuju stasiun kecil di Parang Koeda
dengan berjalan kaki. Beberapa hari lalu, jalur kereta api ke Batavia
selesai diperbaiki. Jalur sebaliknya yang ke arah Bandung masih rusak
parah karena banyak jembatan hancur dalam pertempuran.
Sebelum perang, Parang Koeda adalah tempat yang sepi. Kawasan itu
kemudian menjadi ramai oleh serdadu-serdadu Jepang yang hilir mudik dan
membongkar-muat perlengkapan perang dari kereta-kereta barang. Keempat
orang Belanda itu berusaha membaur dengan keramaian. Seorang penjaga
yang curiga mendekati mereka, berusaha memotong pembicaraan. Tiba-tiba
orang Jepang itu bertanya pada Si Jerawat dengan bahasa Inggris campur
Melayu.
“Are you ‘orang oranda’?” katanya. “Yes,” jawab Si Jerawat. Si
penjaga bertanya kemana mereka akan pergi. Si Jerawat menjawab bahwa
perkebunan tempat mereka bekerja ditutup dan mereka akan pergi ke kantor
pusat di Batavia. Di sana mereka juga akan melapor kepada pihak Jepang
tentang penutupan itu.
Jan bergabung dalam perbincangan yang mulai menyinggung soal
politik. Perbincangan itu menurutnya jadi aneh karena terjadi di tengah
kesibukan militer Jepang di sebuah stasiun kereta. Kecurigaan sang
penjaga perlahan luntur. Setelah satu jam menunggu akhirnya terdengar
suara mesin uap dari kereta api yang datang.
Mereka segera mencari tempat yang sepi dalam gerbong. Dalam kebisuan
dan pikiran masing-masing mereka memandang ke luar jendela.
Dari
sekian banyak negeri yang mereka lewati dalam perjalanan dari Belanda,
negeri inilah yang paling indah di mata mereka. Jutaan zamrud bak
terhampar di tanah yang begitu subur dan hijau ini.
Di stasiun Depok sejumlah penumpang naik. Mereka adalah tentara
Jepang yang baru tiba dari negerinya dalam perjalanan berminggu-minggu
di atas kapal perang kecil bagaikan ikan sarden dalam kaleng. Mereka
tampak lusuh, lelah dan kurang semangat. Tanpa insiden keempatnya tiba di Batavia. Kuiper mengucapkan selamat
tinggal kepada yang lain karena ingin mengunjungi tunangannya. Mereka
berjabat tangan, singkat namun penuh perasaan. Tak lama kemudian Kuiper
pun hilang dari pandangan. Ketiga lelaki itu tetap memandang ke arah
Kuiper seakan bertanya dalam hati apakah mereka masih bisa bertemu
dengannya di kemudian hari.
Mereka lalu menuju pasar untuk membeli beberapa barang yang mereka
perlukan. Usai berganti baju dan memangkas rambut, mereka kembali
tampak seperti orang-orang yang terhormat. Tugas selanjutnya adalah mencari Kapten yang masih bebas bersama 25
rekan mereka. Kuiper telah memberi sebuah alamat dan ke sanalah mereka
akan mencarinya. Ketiganya berjalan ke arah bekas gedung Hotel Des Indies, dimana
bawahan Kapten tinggal sambil menunggu jemputan ke kamp tawanan perang
yang sedang dibangun. Dengan ramah ketiganya disambut dalam hotel yang
bising oleh suara tentara-tentara mabuk yang berkencan dengan perempuan
setempat. Mereka bertanya pada beberapa orang di sana: “Apa kalian siap
bertempur dengan tentara pendudukan?”
Yang mereka dengar kemudian hanyalah tawa. Kerapuhan mental telah
menghilangkan rasa peduli dalam hati para prajurit itu. Dengan penuh
kekecewaan mereka kembali ke jalan untuk mencari sang kapten dan tempat
untuk bermalam. Akhirnya mereka menemukan alamat yang diberikan Kuiper. Di sana
mereka bertemu dengan seorang lelaki tua yang berhasil lari dari kejaran
bandit-bandit haus darah yang makin merajalela di Palembang sejak
kedatangan Jepang. Dia kabur dengan menumpang sebuah perahu yang
menyeberangi Selat Soenda. Dalam perjalanan itu, malaria telah
menghancurkan daya tahan tubuhnya. Insting untuk bertahan hiduplah yang
membuatnya berhasil pulang. Lelaki tua itu kini sudah sehat. Dengan
berapi-api dia sampaikan tekadnya untuk melawan tentara pendudukan
Jepang.
Cerita lelaki tua itu membuat semangat mereka bangkit lagi. Saat
lelaki tua itu mendengar rencana mereka, dia menawarkan diri untuk
ikut. Jan meyakinkan Pak Tua bahwa yang terpenting saat ini adalah
kesehatannya. Dia merasa tenang setelah Jan berjanji akan memberikan
info dimana mereka bisa bertemu nanti jika kesehatannya pulih. Si Jangkung secara mengejutkan membuka tas kecilnya, mengambil sebuah
pistol dan memberikannya kepada Pak Tua. “Ini untuk berjaga-jaga, jika
waktunya sudah tiba,” kata Si Jangkung. Setelah dijamu makan ketiga pria itu minta ijin untuk beristirahat.
Mereka tak tahu kalau saat mereka tertidur pulas, Pak Tua duduk di depan
kamar menjaga mereka sambil memegang pistol.
Pagi-pagi sekali Pak Tua membangunkan mereka, tapi sedikit pun tak
tampak di wajah orang tua itu tanda-tanda kurang tidur. Di balik
keceriaannya, dia menyembunyikan kesedihan karena tak bisa menyertai
mereka pergi. Perpisahan di antara mereka begitu emosional dan tak
seorang pun tahu bahwa “selamat tinggal” ini akan terjadi selamanya. Ketiga lelaki itu kembali ke stasiun dan kali ini mereka menuju
Buitenzorg. Mereka mendapat informasi samar-samar bahwa di sana lah
mereka bisa melakukan kontak dengan para pemberontak. Ketika tiba,
mereka berpencar untuk mencari keterangan yang lebih jelas.
Hari berikutnya mereka bertemu di suatu tempat. Jan berhasil
melakukan kontak dengan seseorang berkat informasi yang didapat dari ibu
kawannya. Orang itu bernama Kelter, bekas komandan garda kota yang
kini menjadi pemimpin pemberontak. Mereka spesialis dalam penyelundupan
senjata dan kegiatan mata-mata. Jan punya firasat bagus kalau si
Kelter ini akan menjadi kontak terbaik mereka di kemudian hari. Si Jangkung juga punya informasi penting soal senjata dan
dimana tempat penyembunyiannya. Si Jerawat mendapatkan sebuah alamat
di Batavia dimana mereka bisa bertanya soal kemungkinan mendapatkan
kontak dengan pemberontak di gunung-gunung. Mereka diskusikan semua
informasi itu lalu membagi tugas.
Si Jangkung diminta mencari senjata yang disembunyikan beserta
amunisinya.
Si Jerawat disuruh pergi ke Batavia untuk mendatangi alamat
itu. Sementara Jan akan tinggal di Buitenzorg untuk memperkuat kontak
dengan Kelter. Tiga hari kemudian mereka berjanji untuk bertemu lagi;
jika salah satu di antara mereka tidak muncul, kemungkinan besar dia
sudah ditangkap oleh Jepang. Yang lain tidak akan mencari kawannya yang
hilang untuk menghindari bahaya yang lebih besar. “Sepakat?” “Oke!”.
Mereka pun berjabat tangan lalu berpisah. Jan menemui ibunda Kelter keesokan harinya. Dari beliau, Jan
mendapatkan beberapa nama kenalannya yang harus dia temui.
Sebuah
kacamata hitam dia pakai untuk menyamarkan diri. Pertama-tama dia harus
menemui sejumlah wanita yang suaminya menjadi teman sependeritaan di
kamp Jepang. Dia ingin menyampaikan kabar tentang mereka kepada
wanita-wanita itu. Kepada salah seorang di antaranya Jan mengabarkan
bahwa suaminya terbunuh di Kalidjati dan menghembuskan nafas terakhirnya
di pangkuan Jan. Kata-kata terakhir yang sempat dibisikkannya pada Jan
saat itu adalah nama istrinya. Hanya genggaman tangan yang Jan bisa
berikan kepada wanita itu sebagai tanda simpati. Dia harus melanjutkan
perjalanan, tugasnya belum selesai…
Bersambung...
Sumber:
http://tempodoeloe.com/2014/11/12/kisah-tiga-tentara-knil-bagian-4/
No comments:
Post a Comment