Tuesday, October 6, 2015

Kisah Tiga Tentara KNIL ~ Bagian 4

Mereka punya waktu setengah jam menuju stasiun kecil di Parang Koeda dengan berjalan kaki.  Beberapa hari lalu, jalur kereta api ke Batavia selesai diperbaiki.  Jalur sebaliknya yang ke arah Bandung masih rusak parah karena banyak jembatan hancur dalam pertempuran.

Sebelum perang, Parang Koeda adalah tempat yang sepi.  Kawasan itu kemudian menjadi ramai oleh serdadu-serdadu Jepang yang hilir mudik dan membongkar-muat perlengkapan perang dari kereta-kereta barang.  Keempat orang Belanda itu berusaha membaur dengan keramaian.  Seorang penjaga yang curiga mendekati mereka, berusaha memotong pembicaraan.  Tiba-tiba orang Jepang itu bertanya pada Si Jerawat dengan bahasa Inggris campur Melayu.

“Are you ‘orang oranda’?” katanya. “Yes,” jawab Si Jerawat. Si penjaga bertanya kemana mereka akan pergi. Si Jerawat menjawab bahwa perkebunan tempat mereka bekerja ditutup dan mereka akan pergi ke kantor pusat di Batavia.  Di sana mereka juga akan melapor kepada pihak Jepang tentang penutupan itu.
Jan bergabung dalam perbincangan yang mulai menyinggung soal politik.  Perbincangan itu menurutnya jadi aneh karena terjadi di tengah kesibukan militer Jepang di sebuah stasiun kereta. Kecurigaan sang penjaga perlahan luntur.  Setelah satu jam menunggu akhirnya terdengar suara mesin uap dari kereta api yang datang.
Mereka segera mencari tempat yang sepi dalam gerbong.  Dalam kebisuan dan pikiran masing-masing mereka memandang ke luar  jendela.

Dari sekian banyak negeri yang mereka lewati dalam perjalanan dari Belanda, negeri inilah yang paling indah di mata mereka.  Jutaan zamrud bak terhampar di tanah yang begitu subur dan hijau ini.
Di stasiun Depok sejumlah penumpang naik.  Mereka  adalah tentara Jepang yang baru tiba dari negerinya dalam perjalanan berminggu-minggu di atas kapal perang kecil bagaikan ikan sarden dalam kaleng.  Mereka tampak lusuh, lelah dan kurang semangat. Tanpa insiden keempatnya tiba di Batavia. Kuiper mengucapkan selamat tinggal kepada yang lain karena ingin mengunjungi tunangannya.  Mereka berjabat tangan, singkat namun penuh perasaan.  Tak lama kemudian Kuiper pun hilang dari pandangan.  Ketiga lelaki itu tetap memandang ke arah Kuiper seakan bertanya dalam hati apakah mereka masih bisa bertemu dengannya di kemudian hari.

Mereka lalu menuju pasar untuk membeli beberapa barang yang mereka perlukan.  Usai berganti baju dan memangkas rambut, mereka kembali tampak seperti orang-orang yang terhormat. Tugas selanjutnya adalah mencari Kapten yang masih bebas bersama 25 rekan mereka.  Kuiper telah memberi sebuah alamat dan ke sanalah mereka akan mencarinya. Ketiganya berjalan ke arah bekas gedung Hotel Des Indies, dimana bawahan Kapten tinggal sambil menunggu jemputan ke kamp tawanan perang yang sedang dibangun.  Dengan ramah ketiganya disambut dalam hotel yang bising oleh suara tentara-tentara mabuk yang berkencan dengan perempuan setempat.  Mereka bertanya pada beberapa orang di sana: “Apa kalian siap bertempur dengan tentara pendudukan?”

Yang mereka dengar kemudian hanyalah tawa.  Kerapuhan mental telah menghilangkan rasa peduli dalam hati para prajurit itu.  Dengan penuh kekecewaan mereka kembali ke jalan untuk mencari sang kapten dan tempat untuk bermalam. Akhirnya mereka menemukan alamat yang diberikan Kuiper.  Di sana mereka bertemu dengan seorang lelaki tua yang berhasil lari dari kejaran bandit-bandit haus darah yang makin merajalela di Palembang sejak kedatangan Jepang.  Dia kabur dengan menumpang sebuah perahu yang menyeberangi Selat Soenda.  Dalam perjalanan itu, malaria telah menghancurkan daya tahan tubuhnya.  Insting untuk bertahan hiduplah yang membuatnya berhasil pulang.  Lelaki tua itu kini sudah sehat.  Dengan berapi-api dia sampaikan tekadnya untuk melawan tentara pendudukan Jepang.

Cerita lelaki tua itu membuat semangat mereka bangkit lagi.  Saat lelaki tua itu mendengar rencana mereka, dia menawarkan diri untuk ikut.  Jan meyakinkan Pak Tua bahwa yang terpenting saat ini adalah kesehatannya.  Dia merasa tenang setelah Jan berjanji akan memberikan info dimana mereka bisa bertemu nanti jika kesehatannya pulih. Si Jangkung secara mengejutkan membuka tas kecilnya, mengambil sebuah pistol dan memberikannya kepada Pak Tua.  “Ini untuk berjaga-jaga, jika waktunya sudah tiba,” kata Si Jangkung. Setelah dijamu makan ketiga pria itu minta ijin untuk beristirahat.  Mereka tak tahu kalau saat mereka tertidur pulas, Pak Tua duduk di depan kamar menjaga mereka sambil memegang pistol.

Pagi-pagi sekali Pak Tua membangunkan mereka, tapi sedikit pun tak tampak di wajah orang tua itu tanda-tanda kurang tidur.  Di balik keceriaannya, dia menyembunyikan kesedihan karena tak bisa menyertai mereka pergi.  Perpisahan di antara mereka begitu emosional dan tak seorang pun tahu bahwa “selamat tinggal” ini akan terjadi selamanya. Ketiga lelaki itu kembali ke stasiun dan kali ini mereka menuju Buitenzorg.  Mereka mendapat informasi samar-samar bahwa di sana lah mereka bisa melakukan kontak dengan para pemberontak.  Ketika tiba, mereka berpencar untuk mencari keterangan yang lebih jelas.

Hari berikutnya mereka bertemu di suatu tempat.  Jan berhasil melakukan kontak dengan seseorang berkat informasi yang didapat dari ibu kawannya.  Orang itu bernama Kelter, bekas komandan garda kota yang kini menjadi pemimpin pemberontak.  Mereka spesialis dalam penyelundupan senjata dan kegiatan mata-mata.   Jan punya firasat bagus kalau si Kelter ini akan menjadi kontak terbaik mereka di kemudian hari. Si Jangkung juga punya informasi penting soal senjata dan dimana tempat penyembunyiannya.  Si Jerawat mendapatkan sebuah alamat di Batavia dimana mereka bisa bertanya soal kemungkinan mendapatkan kontak dengan pemberontak di gunung-gunung.  Mereka diskusikan semua informasi itu lalu membagi tugas.
Si Jangkung diminta mencari senjata yang disembunyikan beserta amunisinya.

Si Jerawat disuruh pergi ke Batavia untuk mendatangi alamat itu.  Sementara Jan akan tinggal di Buitenzorg untuk memperkuat kontak dengan Kelter.  Tiga hari  kemudian mereka berjanji untuk bertemu lagi; jika salah satu di antara mereka tidak muncul, kemungkinan besar dia sudah ditangkap oleh Jepang.  Yang lain tidak akan mencari kawannya yang hilang untuk menghindari bahaya yang lebih besar.  “Sepakat?” “Oke!”. Mereka pun berjabat tangan lalu berpisah. Jan menemui ibunda Kelter keesokan harinya.  Dari beliau, Jan mendapatkan beberapa nama kenalannya yang harus dia temui.

Sebuah kacamata hitam dia pakai untuk menyamarkan diri.  Pertama-tama dia harus menemui sejumlah wanita yang suaminya menjadi teman sependeritaan di kamp Jepang.  Dia ingin menyampaikan kabar tentang mereka kepada wanita-wanita itu.  Kepada salah seorang di antaranya Jan mengabarkan bahwa suaminya terbunuh di Kalidjati dan menghembuskan nafas terakhirnya di pangkuan Jan.  Kata-kata terakhir yang sempat dibisikkannya pada Jan saat itu adalah nama istrinya. Hanya genggaman tangan yang Jan bisa berikan kepada wanita itu sebagai tanda simpati.  Dia harus melanjutkan perjalanan, tugasnya belum selesai…

Bersambung...

Sumber:
http://tempodoeloe.com/2014/11/12/kisah-tiga-tentara-knil-bagian-4/

No comments:

Post a Comment