Dalam suasana berkabut dan hujan, bendera-bendera merah
tampak berkibar liar ditingkahi suara jeritan. Tapi Si Jerawat bukanlah
tipe orang yang peragu. Dia larikan mobil ke arah bendera-bendera itu
dan menghantam karung-karung pasir. Kemudian tiba-tiba di belakang
mereka seseorang berteriak: “Hentikan! Hentikan!” Dengan jeritan suara rem akibat tanah yang licin, mobil itu memutar
balik. Dengan wajah pucat dan tegang mereka memandang sekelilling
Ternyata yang berteriak tadi adalah Kuiper. Apakah dia sudah gila?
Tetapi bocah berwajah penuh bekas luka itu malah menunjuk sesuatu di
belakang mereka.
”Jembatan itu!” teriaknya. Serempak mereka melihat sebuah lubang
gelap di atas sungai dimana jembatan tersebut berdiri sebelumnya.
Jembatan yang hancur dibom pasukan Belanda itu belum diperbaiki oleh
Jepang. Mobil yang mereka kendarai ternyata berhenti persis di depan
tebing yang menganga. Di belakang mereka, serdadu-serdadu Jepang
berdiri dengan senjata di tangan mereka.
Tapi Jan Luxinger pantang menyerah. Dia meneriaki tentara-tentara
itu, memberi isyarat ingin bicara dengan “Kapten” mereka segera.
Seorang perwira memandang Jan dengan curiga. Orang Belanda itu diminta
mengikutinya ke ruang penjaga. Dengan tenang Jan berjalan di samping
perwira itu, diikuti mobil yang melaju dengan gigi satu. Namun persis
di depan ruang penjaga, tiba-tiba pintu mobil terbuka dan Jan melompat
ke dalamnya. Mobil itu lalu melesat dengan kecepatan tinggi di tengah
derasnya hujan. Kuiper dan Si Jangkung melepaskan tembakan dari jendela
belakang. Si perwira dan tiga tentara Jepang terkapar di atas tanah.
Tentara lainnya mencari perlindungan dan membalas tembakan mereka.
Peluru-peluru berdesing menghantam casis, atap dan badan mobil. Sebuah
di antaranya menembus tangki bensin. Kuiper menutup pundaknya dengan
satu tangan, tubuhnya penuh darah. Tapi mereka berhasil menjauh dari
tempat itu.
“Kita takkan mungkin sampai Buitenzorg* sebelum malam,” kata Jan.
“Aku kenal seseorang di sini, dia bos perusahaan Sinagar, ke sana saja
kita. Siapa tahu dia bisa memberi kita makan. Selepas Parang Koeda**
kita bisa bermalam di rumah kawanku Japie”. Satu hambatan lagi muncul di jalan menuju Sinagar. Sebuah mobil
diparkir di sisi jalan. Dua lelaki kulit putih sedang mengganti ban.
Mereka adalah anggota NSB Jerman yang bekerja untuk tentara Jepang.
Keduanya terkejut dan mengangkat tangan. Orang-orang Belanda itu lalu
mengambil dokumen dan uang milik mereka. Dengan tangan terikat keduanya
didorong ke dalam jurang. Langit semakin gelap.
Tiba di Sinagar mereka disambut dan diberi makan. Luka Kuiper
dibersihkan dan dibalut oleh istri administratur Sinagar. Usai makan,
Jan menerima amplop berisi uang. “Itu untuk tanah air kita,” kata si
tuan rumah. Japie, teman Jan di Parang Koeda yang juga bekerja di perusahaan itu,
terkejut ketika melihat sahabatnya datang. Tapi dia sangat khawatir
karena para pekerja perkebunan pasti melihat kedatangan empat tentara
Belanda itu. Di dekat rumah Japie terdapat sebuah sanatorium. Ke sana lah mereka
dibawa tuan rumah untuk mandi dan menyembunyikan senjata.
Di kegelapan
malam, mobil De Soto yang mereka kendarai didorong ke sebuah jurang yang
dalam. Suara benturan lalu terdengar keras. Mobil itu telah membawa
mereka berjam-jam melintasi sisi-sisi jurang yang curam dan
menyelamatkan mereka dari kejadian-kejadian yang mengerikan. Usai beristirahat semalaman, Japie membawa mereka keluar dengan
mobilnya sebelum para pekerja terbangun. Mereka berhenti di sebuah
tempat yang dinaungi pohon-pohon tinggi. Di sana lah mereka berpisah
dengan Japie, lalu berjalan tanpa senjata.
Bersambung...
Sumber:
http://tempodoeloe.com/2014/11/06/kisah-tiga-tentara-knil-bagian-3/
No comments:
Post a Comment