Ini adalah kisah tentang tiga tentara Belanda yang ditawan oleh Jepang di kamp tahanan militer Cimahi, Jawa Barat, pada masa Perang Dunia II (1939-1945). Kisah ini dimuat dalam salah satu edisi majalah “Katholieke Illustratie” terbitan Belanda yang diceritakan kembali oleh Tetske T. van Der Wal di dalam blognya.
Tetske T. van Der Wal lahir di pulau Jawa pada 3 Juni 1941. Thea, panggilan kecilnya, adalah anak dari seorang anggota kavaleri KNIL. Tetske T. van Der Wal sudah menulis sebuah buku memoar "I Thought You Should Know"
***
Mereka kerap berjongkok di atas tanah gersang dalam kamp tawanan perang milik Jepang di Cimahi. Pada tengah hari, matahari membakar kulit mereka tanpa ampun karena hampir tak ada tempat teduh di kamp itu, kecuali di sisi utara barak. Di sana, para tawanan pria mencari perlindungan dari sengatan matahari. Dengan pikiran yang melayang jauh, mereka berdiam diri sambil meratapi kebebasan yang hilang. Mereka tersengat rindu berat kepada keluarga dan mengkhawatirkan masa depan mereka.
Di beberapa tempat, pohon palem kipas memberi sedikit keteduhan. Jan Luxinger duduk di bawah salah satu pohon dekat pintu gerbang. Dia adalah remaja tegap berambut pirang dengan wajah yang tampak cerdas. Punggungnya disandarkan pada batang palem itu. Di belakangnya duduk pula seorang tawanan. Postur kawannya lebih kecil dan berambut gelap. Wajahnya penuh bintik sehingga dia dijuluki “Si Jerawat”.
Kedua tawanan itu sama-sama pelaut. Si Jerawat dulunya awak kapal barang di Groninger dan Jan punya segudang pengalaman mengarungi lautan di seluruh dunia. Mereka berbicara pelan tentang kisah masa lalu. Menjadi tawanan perang adalah derita terberat yang pernah mereka rasakan. Sebagai pelaut, hidup bagi mereka adalah kebebasan dan petualangan di laut lepas.
Seorang tawanan lain datang menghampiri mereka. Dia biasa dipanggil “Si Jangkung” karena tubuhnya yang tinggi dan ceking. Dia merasa cocok berteman dengan mereka karena dirinya juga seorang pelaut. Setelah menyapa kedua temannya dia pun ikut duduk di situ. Sebuah mobil De Soto hijau mendekati pintu gerbang. Seorang penjaga dengan sigap membuka pintu. Dia berdiri tegak memberi hormat kepada seorang jenderal Jepang yang keluar dari mobil bersama dua perwira. Ketiga tawanan dengan penuh kebencian memandang perwira-perwira Jepang itu. Tapi Jan tak berhenti memperhatikan mobil mereka. Dia tetap memandangnya. Andai kita bisa melarikan diri dengan mobil itu, bisiknya perlahan.
Kedua teman Jan memandangnya. Mereka terdiam sejenak seperti memikirkan sesuatu. “Apapun lebih baik daripada mati kelaparan di sini,” kata Si Jangkung. Si Jerawat berbisik: “Jika gagal kita akan ditembak, tapi aku tak takut, kita harus nekat”. “Tak ada waktu buat berpikir, sekarang atau tidak sama sekali!” kata Jan sambil berdiri.
Inilah kesempatan yang mereka tunggu. Mereka berdiri dan segera pergi dengan rencana di kepala masing-masing. Lima belas menit kemudian mereka berkumpul di bawah pohon palem yang sama. Tiap orang membawa bundelan kecil di tangannya. Tawanan keempat bernama Kuiper ikut bergabung. Dia memiliki wajah bulat dengan bekas luka yang mencolok di pipinya. Saat itu para penjaga gerbang sedang berada dalam barak kecil. Di antara penjaga dan tawanan Belanda terparkir sebuah mobil berwarna hijau. Diam-diam mereka masuk ke dalam mobil. Si Jerawat berhasil menyalakan mobil. Dia memutar mobil itu sejenak dan melarikannya ke arah gerbang. Para penjaga yang melihat mobil itu kaget dan langsung memberi hormat. Mereka pikir sang jenderal bergegas pergi dari kamp itu.
Si Jerawat memindahkan perseneling ke gigi 4. Pelarian mereka cepat atau lambat pasti akan diketahui. Dari arah kamp terdengar suara sirene. Seorang penjaga baru menyadari kesalahannya. Si Jerawat terus menginjak pedal gas dan memusatkan pikiran pada jalan di depannya. Mereka berpapasan dengan penduduk yang berjalan kaki di sana-sini. Si Jerawat tak memperhatikan teman-temannya yang sedang berdiskusi apa yang harus dilakukan selanjutnya. Semua perhatiannya diarahkan ke jalan, jantungnya berdegup kencang. Dia mendengar selintas bahwa mereka akan kabur ke Batavia. Jika beruntung, mereka bisa melakukan kontak dengan anggota-anggota KNIL lainnya di sana.
Cimahi berhasil dilewati dan kini mereka berada di atas jalan utama menuju Batavia. Kecepatan mobil sudah 100 km/jam dan Si Jerawat terus menekan gas hingga 110, berkejaran dengan waktu. Dia melihat pengukur bahan bakar dan menyadari bahwa bensinnya hampir habis. Dengan bensin tersisa tak mungkin mereka bisa sampai ke Cianjur. Tapi Si Jerawat tak mengurangi kecepatannya. Mereka akan memutuskan tindakan berikutnya jika bensin benar-benar habis. Yang penting sekarang berlari sejauh mungkin dari kamp.
Si Jerawat tiba-tiba menginjak rem. “Bantu aku,” katanya sambil membuka pintu dan menunjuk sisi jalan.
Di atas sebuah tanah kosong mereka melihat sejumlah drum berisi bensin. “Awasi penjaganya,” teriak Jan. Kuiper menunjuk kantong celananya dimana dia menyimpan sepucuk pistol. Jan tersenyum. Di balik seragam militer usang yang dia kepit, ada senjata mesin ringan. “Kau ke kiri, aku ke kanan,” katanya. Si Jangkung menemani Si Jerawat. Tak terlihat ada penjaga di situ, tapi sebuah plang dalam bahasa Melayu menjelaskan kalau tempat itu dikuasai oleh Dai Nippon.
Tangki bensin mobil segera diisi penuh dan mereka meneruskan pelarian. Lima belas menit kemudian Si Jerawat melihat sebuah benda gelap di depannya, tapi dia tak yakin itu apa karena hari sudah mulai gelap. Beberapa menit kemudian barulah mereka sadar kalau benda itu adalah truk-truk Jepang yang sedang konvoi. Apa lagi ini? Kata Si Jerawat sambil mengangkat kakinya dari pedal gas untuk mengurangi kecepatan. Dia memandangi teman-temannya. “Jangan dilewati,” kata mereka, “sangat beresiko”. Si Jerawat melihat pengukur laju. Empat puluh, tiga puluh lima. Saat kecepatan berkurang dia merasakan resiko jadi semakin tinggi. Konvoi di depan mereka tiba-tiba mulai menepi. Wajah keempat tawanan semakin pucat. Tiba-tiba Jan mengambil keputusan. “Sekarang, ya sekarang, lewati mereka,” teriaknya pada Si Jerawat. “Kita tak punya pilihan lain. Injak gasnya!”.
Jan juga memerintahkan teman-teman yang lain untuk menyiapkan senjata masing-masing. Dengan klakson yang terus dibunyikan, De Soto hijau itu melewati konvoi. Tentara-tentara Jepang melompat turun dan seorang sersan memberi hormat. Truk paling depan berhasil dilalui. Dari kaca spion tampak wajah Si Jerawat tersenyum riang. Kelok pertama jalan hutan Masigit mulai tampak di depan mata. Hutan ini liar dan tak dihuni manusia. Kelok demi kelok jalan ini meliuk seperti ular. Jalanan semakin menanjak. Di satu sisi jurang dalam membentang, di sisi lainnya tebing menjulang tinggi. Tiba-tiba Kuiper berteriak: “Ada mobil di belakang kita!”
Bersambung...
Sumber:
http://tempodoeloe.com/2014/02/26/kisah-tiga-tentara-knil-bagian-1/
No comments:
Post a Comment