Tuesday, October 6, 2015

Euis Manis van Tjibolang di Jalan Kareli (Cimahi di Masa Lalu #1)

Oleh: Mas Wid

Jalan Gatot Subroto dulu bernama 'Kareli' karena di sana pernah tinggal seorang Belanda totok bernama Karel van Ingledorf. Sekarang nama Kareli sudah jarang disebut orang, kecuali satu dua orang yang sudah sepuh. Kareli adalah pusat perdagangan Cimahi. Disana ada sebuah toko bernama Toko Soerabaia. Toko itu merupakan toko serba ada yang paling besar dan lengkap pada masanya. Macam-macam barang kelontong dan pakaian dijual disana. Pemiliknya bernama tuan Kimkim adalah salah satu orang paling kaya di Cimahi saat itu.

Samar-samar teringat dalam kenanganku sekitar tahun 60’an. Ketika stasiun TVRI baru saja diresmikan pemerintah, tuan Kimkim adalah orang Cimahi pertama yang memiliki televisi. Pesawat televisi hitam-putih itu sengaja ia ditaruh di atas loteng menghadap ke jalan raya. Sontak saja penduduk kota Cimahi saat itu berduyun-duyun keluar dari gang-gang tempat tinggalnya untuk menonton televisi. Penduduk menyemut sepanjang jalan menyaksikan Bung Karno berpidato di Pekan Olahraga Ganefo. Semua orang tampak melongo menyaksikan kotak 'gambar idoep' itu untuk pertama kali.

Diseberang Toko Soerabaia ada tukang pangkas rambut “Noto”. Tukang pangkas rambut Noto adalah tukang pangkas rambut yang paling top dan bergengsi di Cimahi yang  sudah ada sejak jaman penjajahan Belanda. Tentara-tentara Belanda dan sinyo-sinyo biasa bercukur disana. Hanya sedikit saja warga pribumi yang sanggup bercukur disana karena ongkosnya terbilang mahal. Menurut cerita dari Oma Lien, sinyo-sinyo biasanya bercukur pada sore hari dengan naik dokar atau menunggang kuda, kemudian malamnya dilanjutkan dengan dansa-dansi di beberapa rumah sepanjang jalan Kareli (sekarang depan Kodim). Ketika itu kendaraan pribadi milik orang kaya adalah dokar. Sedangkan vracht-auto atau mobil cuma bisa dimiliki orang-orang super kaya di Batavia, Soerabaia atau Bandoeng.

Pangkas rambut “Noto” sekarang ini masih tetap buka meski sudah pudar cahaya kejayaannya. Pelanggan setianya masih ada tapi kebanyakan orang yang lanjut usia. Terakhir aku berkunjung kesana, warna furniture-nya meski sudah kusam-kusam disaput debu tapi masih tetap bertahan menembus jaman. Pak Noto sudah lama meninggal, begitu juga anaknya. Sekarang yang memegang usaha pangkas rambut "Noto" adalah keturunan generasi ketiga dari pak Noto.

Tidak jauh dari pangkas rambut Noto, ada jalan memotong ke arah barat. Namanya Jalan Lurah. Kenapa dinamakan Jalan Lurah? Konon, dulu daerah sekitar itu bernama Tjibolang. Di pertengahan jalan itu ada kantor kelurahan yang merupakan pusat pemerintahan desa Cimahi yang amat luas membentang dari Jambudipa, Cisarua sampai ke Leuwigajah yang dipimpin oleh lurah bernama pak Aman. Lurah Aman ini dikenal sebagai pemimpin yang bijaksana dan dicintai rakyat. Puluhan tahun lurah Aman memimpin Cimahi. Waktu jaman PKI beliau membuat kekhilafan kecil, yaitu memberikan KTP kepada seorang warga yang terindikasi PKI. Pak Aman pun ditangkap dan ditahan di Ubug sampai meninggal. Kecintaan masyarakat pada beliau tidak pernah surut sehingga nama jalan Cibolang pun diganti namanya menjadi Jalan. Lurah Aman. Namun pada jaman Orde Baru, nama Aman pelan-pelan menghilang, sehingga sekarang tinggallah nama Jalan Lurah.

Daerah Cibolang pada jaman dulu terkenal sebagai tempat pelesiran para lelaki hidung belang. Ada tiga pelacur bersaudara yang paling top di Cibolang,  yaitu Roekiah, Roeslinah dan Roesminah yang dijuluki Euis Manis Van Tjibolang. Wajahnya yang setengah indo dan senyumannya legit itu sanggup merontokkan hati setiap lelaki. Mereka bertiga diasuh oleh seorang germo yang tak lain adalah ibunya sendiri! Konon, para  pelanggannya adalah jenderal-jenderal dari Jakarta, sementara para hidung belang lokal yang berduit tipis hanya bisa menelan ludah saja membayangkan wajah si 'Euis Manis' ini.

Sumber:  https://nokiding.wordpress.com/

No comments:

Post a Comment