Oleh: Mas Wid
Jalan Gatot Subroto dulu bernama 'Kareli' karena di sana pernah tinggal
seorang Belanda totok bernama Karel van Ingledorf. Sekarang nama Kareli sudah
jarang disebut orang, kecuali satu dua orang yang sudah sepuh. Kareli
adalah pusat perdagangan Cimahi. Disana ada sebuah toko bernama Toko Soerabaia. Toko itu merupakan toko serba ada yang paling besar dan lengkap pada masanya.
Macam-macam barang kelontong dan pakaian dijual disana. Pemiliknya bernama tuan
Kimkim adalah salah satu orang paling kaya di Cimahi saat itu.
Samar-samar teringat dalam kenanganku sekitar tahun 60’an. Ketika stasiun TVRI baru saja diresmikan pemerintah, tuan Kimkim adalah orang Cimahi
pertama yang memiliki televisi. Pesawat televisi hitam-putih itu sengaja
ia ditaruh di atas loteng menghadap ke jalan raya. Sontak saja penduduk kota Cimahi saat itu berduyun-duyun keluar dari gang-gang tempat tinggalnya untuk menonton
televisi. Penduduk menyemut sepanjang jalan menyaksikan Bung Karno
berpidato di Pekan Olahraga Ganefo. Semua orang tampak melongo menyaksikan
kotak 'gambar idoep' itu untuk pertama kali.
Diseberang Toko Soerabaia ada tukang pangkas rambut “Noto”. Tukang pangkas rambut Noto adalah tukang pangkas rambut yang paling top dan bergengsi di Cimahi yang sudah ada sejak jaman
penjajahan Belanda. Tentara-tentara Belanda dan sinyo-sinyo biasa
bercukur disana. Hanya sedikit saja warga pribumi yang sanggup bercukur disana karena ongkosnya terbilang mahal. Menurut cerita dari Oma Lien, sinyo-sinyo biasanya
bercukur pada sore hari dengan naik dokar atau menunggang kuda, kemudian malamnya
dilanjutkan dengan dansa-dansi di beberapa rumah sepanjang jalan Kareli (sekarang depan
Kodim). Ketika itu kendaraan pribadi
milik orang kaya adalah dokar. Sedangkan vracht-auto atau mobil cuma bisa
dimiliki orang-orang super kaya di Batavia, Soerabaia atau Bandoeng.
Pangkas rambut “Noto” sekarang ini masih tetap buka meski sudah pudar
cahaya kejayaannya. Pelanggan setianya masih ada tapi kebanyakan orang yang
lanjut usia. Terakhir aku berkunjung kesana, warna furniture-nya meski sudah
kusam-kusam disaput debu tapi masih tetap bertahan menembus jaman. Pak
Noto sudah lama meninggal, begitu juga anaknya. Sekarang yang memegang
usaha pangkas rambut "Noto" adalah keturunan generasi ketiga dari pak Noto.
Tidak jauh dari pangkas rambut Noto, ada jalan memotong ke arah barat.
Namanya Jalan Lurah. Kenapa dinamakan Jalan Lurah? Konon, dulu daerah
sekitar itu bernama Tjibolang. Di pertengahan jalan itu ada kantor
kelurahan yang merupakan pusat pemerintahan desa Cimahi yang amat luas
membentang dari Jambudipa, Cisarua sampai ke Leuwigajah yang dipimpin oleh
lurah bernama pak Aman. Lurah Aman ini dikenal sebagai pemimpin yang bijaksana dan
dicintai rakyat. Puluhan tahun lurah Aman memimpin Cimahi. Waktu
jaman PKI beliau membuat kekhilafan kecil, yaitu memberikan KTP kepada
seorang warga yang terindikasi PKI. Pak Aman pun ditangkap dan ditahan di Ubug
sampai meninggal. Kecintaan masyarakat pada beliau tidak pernah surut
sehingga nama jalan Cibolang pun diganti namanya menjadi Jalan. Lurah Aman. Namun pada
jaman Orde Baru, nama Aman pelan-pelan menghilang, sehingga sekarang tinggallah
nama Jalan Lurah.
Daerah Cibolang pada jaman dulu terkenal sebagai tempat pelesiran para lelaki
hidung belang. Ada tiga pelacur bersaudara yang paling top di Cibolang, yaitu
Roekiah, Roeslinah dan Roesminah yang dijuluki Euis Manis Van Tjibolang.
Wajahnya yang setengah indo dan senyumannya legit itu sanggup merontokkan hati
setiap lelaki. Mereka bertiga diasuh oleh seorang germo yang tak lain adalah ibunya sendiri! Konon, para pelanggannya adalah jenderal-jenderal dari Jakarta, sementara
para hidung belang lokal yang berduit tipis hanya bisa menelan ludah
saja membayangkan wajah si 'Euis Manis' ini.
Sumber: https://nokiding.wordpress.com/
No comments:
Post a Comment