Wednesday, October 7, 2015

Daeng Muhammad Ardiwinata: Pejuang Yang Rendah Hati

Oleh: Ririn NF
 
Daeng Muhammad Ardiwinata (foto: Dicky Rachmadi)
Daeng Muhammad Ardiwinata di abadikan sebagai nama jalan di Cihanjuang, akses utama menuju kompleks kantor Pemkot Cimahi dan penghubung ke Kecamatan Parongpong Kabupaten Bandung Barat. Termasuk konsep jalan lingkar utara Cimahi, membuat perekonomian tumbuh di Cihanjuang. Nama Daeng identik dengan Bugis Makassar. Sebetulnya, Daeng lahir dan besar ditanah Sunda. Daeng merupakan anak bungsu dari Daeng Kanduruan Ardiwinata yang sempat bermukim di Malangbong Garut dan menikah dengan orang Sunda. Daeng Kanduruan Ardiwinata seorang Nasionalis, agamis dan sastrawan Sunda pendiri Paguyuban Pasundan, yang pada tahun 1914 mendapat penghargaan “Ridder in de Orde Van Orange Nassau”, yaitu penghargaan tertinggi atas prestasinya dibidang sastra dari Pemerintah Belanda.

Cucu pertama Daeng dari anak pertama Deden Mochmad Sadrach, Dicky Rachmadie mengatakan, kakeknya sangat jarang bertutur soal perjuangannya. “Prinsip Beliau, berjuang demi kemerdekaan sudah menjadi tanggungjawab sebagai warga Negara Indonesia”, katanya. Karena jarang bercerita, kisah perjuangan Daeng Muhammad Ardiwinata ini malah didapat Dicky dari rekan seperjuangan dan para mantan anak buah kakeknya. Termasuk dari buku “Prahara Cimahi, Pelaku dan Peristiwa karya Mayor Purnawirawan S.M Arief (1989) yang dituangkan dalam blog khusus tentang Daeng Muhammad Ardiwinata dan Perjuangannya di laman http://dickyrachmadie.blogspot.com. “setelah dapat cerita, tentu saya konfirmasi. Namun, kakek tidak menerangkannya, hanya tersenyum dan mengangguk,” tuturnya.

Disebutkan, setelah Batalyon IV PETA di Cimahi dibubarkan karena Jepang menyerah, mantan Shodancho Daeng lantas mengumpulkan bekas anak buahnya dan bergabung kedalam BKR. Sesuai dengan perkembangannya BKR Cimahi berubah menjadi Tentra Keamanan Rakyat (TKR). TKR Kompi Daeng semula masuk jajaran Batalyon IV Momon Resimen 9 Gandawijaya. Selanjutnya, Batalyon IV Momon menjadi Detasemen 9 Momon. Kompi I/ daeng berkedudukan di Cibabat-Cibeureum samapai dengan Fokkersweg (sekarang Jalan Garuda) Bandung. Kompi Daeng diikuti banyak “anak kolong” sebutan anak-anak serdadu Belanda KNIL sebelum Perang Dunia II meletus. Julukan anak kolong kemudian menjadi populer untuk sebutan pasukan pejuang dari Cimahi.

Kompi Daeng aktif dalam pertempuran, pencegatan tentara sekutu, bersama Hizbullah menyerang pabrik senjata ACW cabang pabrik PINDAD di Cibabat Cimahi yang dikuasai Jepang, sampai pertempuran di alun-alun Cimahi merebut truk yang diisi tentara sekutu. Dalam satu pertempuran, Daeng kehilangan seorang dokter Resimen, Dokter Dustira. Dari Kompi, pasukan Daeng dibentuk menjadi Batalyon 25, tetapi lebih dikenal dengan “Batalyon Daeng”. Saat suasana makin genting Batalyon Daeng ditarik ke Resimen 8 dan ditempatkan di Panjalu dan Pangalengan. Saat Clash I pada 1947 Daeng ditempatkan di Bungbulang Garut dan Bandung Selatan. Pada pertempuran di Nangkaruka, daerah Bungbulang, ia dapat menumpas tentara Belanda yang memiki peralatan modern.

Saat gencatan senjata dengan Belanda, pasukan Siliwangi hijrah ke Jawa Tengah. Dalam perjalanan pulang ke Jawa Barat, Daeng bersama Komandan Kodam Siliwangi Letkol Daan Yahya ditawan Belanda. Mereka dibuang ke pulau Nusakambangan bersama Komandan CPM Cimahi FE Thanos. Setelah mendapat pengakuan kemerdekaan dari Belanda, pada akhir 1949, dibentuk Komando Resimen 063/Sunan Gunungdjati. Daeng yang saat itu berpangkat Letnan Kolonel Infantri dipercaya sebagai komandan pertama dengan wilayah kerja meliputi Garut, Subang, Ciamis dan Kabupaten Bandung. Setelah kemerdekaan dipertahankan, Daeng merasa perjuangan melawan penjajah telah tuntas. Saat itu, Daeng ditawari promosi ke Makassar tetapi dia menolak. Karier militernya pun menggantung dengan pangkat terakhir Kolonel. Pada 1954, Daeng digandeng Kolonel AH Nasution dan Kolonel Gatot Subroto mendirikan Partai Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI). Daeng diangkat sebagai Ketua IPKI Jawa Barat.

Pada Pemilu 1955, Daeng terpilih sebagai anggota DPR-RI. Lima tahun kemudian, dilantik menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA). Pada 1967-1970, Daeng kemudian menjadi Direktur PPN Dwikora IV Perkebunan Teh di Subang, sekaligus memantau pergerakan PKI yang menjadikan Subang sebagai basis pergerakannya. Selepas jabatan itu, Daeng mundur dari pemerintahan dan militer. Daeng menikah dengan Siti Rukayah dan dikaruniai 5 anak dan 11 cucu. Tentara dan berdarah Makassar membentuk karakter daeng menjadi pribadi yang tegas. “Disiplin, tak mentelorir kelalaian, serta tak banyak cerita. Namun, dia sangat dekat dengan orang kurang mampu karena rendah hati dan memiki jiwa sosial yang yang tinggi,”tuturnya.

Karier militer yang dijalani dinilainya sebagai pengabdian. Daeng pun tak mengambil gaji dan pensiun dari militer. Dia hanya mengambil gaji saat menjadi anggota DPR. Pada 1996, Daeng mendapat piagam dan mendali penghargaan Angkatan 45 saat peringatan Hari Kemerdekaan ke-50 dari Gubernur Jabar HR Nuriana. Daeng mengabadikan sisa hidupnya bersama Yayasan Sekolah Tinggi Hukum Bandung yang didirikannya. Daeng meninggal pada 15 April 2000 ketika berusia 77 tahun. Daeng menolak dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Cikutra, namun memilih untuk dikebumikan berdampingan dengan istrinya di pemakaman keluarga di Kampung Juntigirang, Desa Banyusari, Kecamatan Katapang, Kabupaten Bandung.
Makam Daeng dipilih menjadi titik pemancangan bambu runcing “Pejuang 45” saat peringatan Hari Pahlawan tahun 2000. Dengan diabadikan sebagai nama jalan, kata Dicky, merupakan pengakuan kepahlawanan Daeng. “Juga menjadi penghargaan atas jasa-jasanya berjuang di Cimahi, “tuturnya.

*) Sumber:
Pikiran Rakyat. Senin, 24 Maret 2014
blog: http://dickyrachmadie.blogspot.co.id/2014/03/pejuang-yang-rendah-hati.html


No comments:

Post a Comment