Daeng Muhammad Ardiwinata (foto: Dicky Rachmadi) |
Cucu pertama Daeng dari anak pertama Deden Mochmad Sadrach,
Dicky Rachmadie mengatakan, kakeknya sangat jarang bertutur soal perjuangannya.
“Prinsip Beliau, berjuang demi kemerdekaan sudah menjadi tanggungjawab sebagai
warga Negara Indonesia”, katanya. Karena jarang bercerita, kisah perjuangan Daeng Muhammad
Ardiwinata ini malah didapat Dicky dari rekan seperjuangan dan para mantan anak
buah kakeknya. Termasuk dari buku “Prahara Cimahi, Pelaku dan Peristiwa karya
Mayor Purnawirawan S.M Arief (1989) yang dituangkan dalam blog khusus tentang
Daeng Muhammad Ardiwinata dan Perjuangannya di laman http://dickyrachmadie.blogspot.com.
“setelah dapat cerita, tentu saya konfirmasi. Namun, kakek tidak
menerangkannya, hanya tersenyum dan mengangguk,” tuturnya.
Disebutkan, setelah Batalyon IV PETA di Cimahi dibubarkan
karena Jepang menyerah, mantan Shodancho Daeng lantas mengumpulkan bekas anak
buahnya dan bergabung kedalam BKR. Sesuai dengan perkembangannya BKR Cimahi
berubah menjadi Tentra Keamanan Rakyat (TKR). TKR Kompi Daeng semula masuk jajaran Batalyon IV Momon
Resimen 9 Gandawijaya. Selanjutnya, Batalyon IV Momon menjadi Detasemen 9
Momon. Kompi I/ daeng berkedudukan di Cibabat-Cibeureum samapai dengan Fokkersweg
(sekarang Jalan Garuda) Bandung. Kompi Daeng diikuti banyak “anak kolong” sebutan anak-anak
serdadu Belanda KNIL sebelum Perang Dunia II meletus. Julukan anak kolong kemudian
menjadi populer untuk sebutan pasukan pejuang dari Cimahi.
Kompi Daeng aktif dalam pertempuran, pencegatan tentara sekutu, bersama Hizbullah menyerang pabrik senjata ACW cabang pabrik PINDAD di Cibabat Cimahi yang dikuasai Jepang, sampai pertempuran di alun-alun Cimahi merebut truk yang diisi tentara sekutu. Dalam satu pertempuran, Daeng kehilangan seorang dokter Resimen, Dokter Dustira. Dari Kompi, pasukan Daeng dibentuk menjadi Batalyon 25, tetapi lebih dikenal dengan “Batalyon Daeng”. Saat suasana makin genting Batalyon Daeng ditarik ke Resimen 8 dan ditempatkan di Panjalu dan Pangalengan. Saat Clash I pada 1947 Daeng ditempatkan di Bungbulang Garut dan Bandung Selatan. Pada pertempuran di Nangkaruka, daerah Bungbulang, ia dapat menumpas tentara Belanda yang memiki peralatan modern.
Kompi Daeng aktif dalam pertempuran, pencegatan tentara sekutu, bersama Hizbullah menyerang pabrik senjata ACW cabang pabrik PINDAD di Cibabat Cimahi yang dikuasai Jepang, sampai pertempuran di alun-alun Cimahi merebut truk yang diisi tentara sekutu. Dalam satu pertempuran, Daeng kehilangan seorang dokter Resimen, Dokter Dustira. Dari Kompi, pasukan Daeng dibentuk menjadi Batalyon 25, tetapi lebih dikenal dengan “Batalyon Daeng”. Saat suasana makin genting Batalyon Daeng ditarik ke Resimen 8 dan ditempatkan di Panjalu dan Pangalengan. Saat Clash I pada 1947 Daeng ditempatkan di Bungbulang Garut dan Bandung Selatan. Pada pertempuran di Nangkaruka, daerah Bungbulang, ia dapat menumpas tentara Belanda yang memiki peralatan modern.
Saat gencatan senjata dengan Belanda, pasukan Siliwangi
hijrah ke Jawa Tengah. Dalam perjalanan pulang ke Jawa Barat, Daeng bersama
Komandan Kodam Siliwangi Letkol Daan Yahya ditawan Belanda. Mereka dibuang ke
pulau Nusakambangan bersama Komandan CPM Cimahi FE Thanos. Setelah mendapat pengakuan kemerdekaan dari Belanda, pada
akhir 1949, dibentuk Komando Resimen 063/Sunan Gunungdjati. Daeng yang saat itu
berpangkat Letnan Kolonel Infantri dipercaya sebagai komandan pertama dengan
wilayah kerja meliputi Garut, Subang, Ciamis dan Kabupaten Bandung. Setelah kemerdekaan dipertahankan, Daeng merasa perjuangan
melawan penjajah telah tuntas. Saat itu, Daeng ditawari promosi ke Makassar
tetapi dia menolak. Karier militernya pun menggantung dengan pangkat terakhir
Kolonel. Pada 1954, Daeng digandeng Kolonel AH Nasution dan Kolonel
Gatot Subroto mendirikan Partai Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI).
Daeng diangkat sebagai Ketua IPKI Jawa Barat.
Pada Pemilu 1955, Daeng terpilih sebagai anggota DPR-RI.
Lima tahun kemudian, dilantik menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA). Pada 1967-1970, Daeng kemudian menjadi Direktur PPN Dwikora
IV Perkebunan Teh di Subang, sekaligus memantau pergerakan PKI yang menjadikan
Subang sebagai basis pergerakannya. Selepas jabatan itu, Daeng mundur dari pemerintahan dan
militer. Daeng menikah dengan Siti Rukayah dan dikaruniai 5 anak dan 11 cucu. Tentara dan berdarah Makassar membentuk karakter daeng
menjadi pribadi yang tegas. “Disiplin, tak mentelorir kelalaian, serta tak
banyak cerita. Namun, dia sangat dekat dengan orang kurang mampu karena rendah
hati dan memiki jiwa sosial yang yang tinggi,”tuturnya.
Karier militer yang dijalani dinilainya sebagai pengabdian.
Daeng pun tak mengambil gaji dan pensiun dari militer. Dia hanya mengambil gaji
saat menjadi anggota DPR. Pada 1996, Daeng mendapat piagam dan mendali
penghargaan Angkatan 45 saat peringatan Hari Kemerdekaan ke-50 dari Gubernur
Jabar HR Nuriana. Daeng mengabadikan sisa hidupnya bersama Yayasan Sekolah
Tinggi Hukum Bandung yang didirikannya. Daeng meninggal pada 15 April 2000
ketika berusia 77 tahun. Daeng menolak dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Cikutra,
namun memilih untuk dikebumikan berdampingan dengan istrinya di pemakaman keluarga di
Kampung Juntigirang, Desa Banyusari, Kecamatan Katapang, Kabupaten Bandung.
Makam Daeng dipilih menjadi titik pemancangan bambu runcing
“Pejuang 45” saat peringatan Hari Pahlawan tahun 2000. Dengan diabadikan
sebagai nama jalan, kata Dicky, merupakan pengakuan kepahlawanan Daeng. “Juga
menjadi penghargaan atas jasa-jasanya berjuang di Cimahi, “tuturnya.
*) Sumber:
Pikiran Rakyat. Senin, 24 Maret 2014
blog: http://dickyrachmadie.blogspot.co.id/2014/03/pejuang-yang-rendah-hati.html