Thursday, November 17, 2016

Bertandang ke Rumah Tua Cibeureum yang Merana

Setiap kali saya melintas jalan raya Cibeureum dari arah Bandung menuju Cimahi, tepat di seberang SMAN 13 Cimindi, saya selalu menoleh ke arah rumah yang tertimbun rapat pepohonan. Sebuah rumah tua yang wingit dan beraura mistis. Rumah itu cukup besar bernuansa kolonial, khas rumah hunian para tuan tanah tempo dulu. Rumah yang menyimpan pesona sekaligus angker, dengan atap langit-langit yang menjulang tinggi. Enam buah pilar penyangga di depannya berdiri kokoh dan sebuah balkon diatasnya menambah kesan anggun yang seakan-akan hendak menunjukan wibawa pemiliknya. 

Suatu hari saya pernah memberanikan diri untuk masuk ke halaman rumah itu. Saya melangkah perlahan memasuki pelataran rumah. Saya menengok ke kanan kiri, mengendap-endap ragu dan memperhatikan sekeliling seperti maling. Saya berharap ada seseorang di dekat situ, dengan maksud akan mengajaknya ngobrol atau sekedar bertanya-tanya tentang rumah itu. Tetapi tak seorangpun saya temui disana. Sepi. Saya berusaha mendekat hingga hampir memasuki teras. Namun saya urungkan untuk memasukinya lebih jauh. Rumah itu tampak kosong dan tidak terawat. Tembok-tembok yang kusam dan cat-catnya yang mengelupas. Saya mengitari pandangan ke sekililing, sekaligus membayangkan suasana rumah itu disuatu lini masa yang lampau ketika zaman tengah menjadi milik si empunya rumah. Tidak banyak yang saya perbuat kecuali mengambil foto beberapa bagian sudut rumah itu. Meskipun siang hari dan lokasi rumah itu tepat berada dipinggir jalan raya yang riuh oleh bising kendaraan, saya merasa seperti disergap kesunyian yang asing. Semacam ketakutan yang ganjil.

Bagian depan (foto: Iwan Hermawan)

Wednesday, November 16, 2016

Film “Max Havelaar” Berlatar Rumah Tua Cibeureum



Bagi peminat wisata sejarah atau penikmat seni bangunan lawas peninggalan kolonialisme Belanda, kawasan Cimahi dan sekitarnya kiranya menyimpan daya tarik tersebut. Sejak Kolonel Fishcter dan Kapten Struss membangun Cimahi sebagai Garnizun terbesar se-Hindia Belanda pada 1886, banyak bangunan-bangunan dengan berbagai gaya arsitektur Indis didirikan di kota Cimahi, baik difungsikan sebagai bangunan tangsi-tangsi militer maupun hunian-hunian bagi warga Eropa yang menarik perhatian. Salah satu bangunan yang menarik tersebut adalah sebuah rumah tua yang berlokasi di pinggir jalan raya Cibeureum, kota Cimahi. 

Rumah tua yang kini menjadi bagian dari sebuah pangkalan perusahaan taksi itu ternyata tak hanya menyimpan kenangan bagi sebagian anak-anak generasi 90an yang pernah menjadikan rumah tua tersebut sebagai tempat bermain, juga menyimpan banyak sisi cerita yang sangat menarik. Terlebih lagi ketika rumah tua tersebut sempat terbengkalai dan tidak terurus, dengan halaman yang ditumbuhi pepohonan yang rimbun dan rumput liar menyerupai hutan, juga terdapat lahan pekuburan di belakang rumah tua tersebut tentu saja menimbulkan kesan angker, sunyi dan mistis.

Rumah Tua Cibeureum, 2015
 

Wednesday, August 31, 2016

Menjajal Tank GS 105 di Pusdik Armed

Oleh: Andrenaline Katarsis

Tak ada yang bisa membantah jika Cimahi adalah salah satu kota Garnisun atau tempat kedudukan tentara paling besar dan tua di Indonesia. Sejarah kota Cimahi pun terbentuk dari sejarah Garnisun yang didirikan oleh Kolonel Fishter dan Kapten Strus dari pasukan Zenith Belanda pada tahun 1886. Jika berjalan-jalan ke arah selatan Cimahi, siapapun akan terperangkap dalam atmosfer yang serba militer. Penanda-penanda itu bisa dijumpai lewat beberapa rumah-rumah kopel, kios-kios penjual atribut tentara, instalasi-instalasi militer yang serba berwarna hijau atau loreng, dan bangunan-bangunan tua berarsitektur kolonial yang bisa kita lihat mulai dari jalan pintu masuk utama pertigaan Tagog – Jln. Gatot Subroto hingga ke selatan menuju Baros – Leuwigajah.

Beberapa sisa-sisa bangunan peninggalan Belanda seperti water torren dan replika perangkat keras militer seperti pesawat udara dan laras-laras meriam menghiasi halaman-halaman dan gerbang pusdik, seperti di Pusdikbekang dan Pusdik Armed. Di dalam deretan kompleks bangunan-bangunan pusat pendidikan militer yang sepintas tampak sepi, dingin dan “angker” itulah para prajurit-prajurit terpilih sedang ditempa dalam pendidikan militer demi menghasilkan tentara-tentara nasional terbaik.


Peserta Tjimahi Heritage

Friday, July 29, 2016

Ereveld Leuwigajah Menyimpan Petaka Perang


Berlatarbelakang bukit Pasir Gajahlangu dan Pasir Menteng, ada sebuah lahan yang berada di jalan Kerkhof, Leuwigajah, Cimahi Selatan. Meskipun berada dipinggir jalan Cibeber dengan lalulintas yang cukup ramai, lahan itu cukup tersembunyi terhalangi areal pemakaman umum Kristen dan makam Tionghoa. Di jalan Kerkhof itu ternyata masih terdapat sebuah pemakaman yang jauh dari kesan angker dan menyeramkan. Pada masa pendudukan Jepang, wilayah ini merupakan tanah kosong yang digunakan sebagai tempat mengubur tawanan yang meninggal akibat penyakit atau dibunuh Jepang. Pada kelanjutannya dilahan inilah kemudian tumbuh menjadi pemakaman seperti sekarang. Sesuai dengan namanya saja, Kerkhof dalam bahasa Belanda yang berarti ‘Kuburan’.


Areal makam itu batasi oleh pintu gerbang dengan tulisan EREVELD LEUWIGAJAH berwarna emas terpatri dengan kokoh. Gerbang itu selalu terkunci dan tidak membolehkan siapapun masuk ke dalam, kecuali pihak keluarga atau ada izin kunjungan khusus. Bersama komunitas Tjimahi Heritage (Minggu, 15/05/2016), saya berkesempatan mengunjungi lokasi langka ini. Sebelumnya Tjimahi Heritage memang sudah mengantongi izin khusus untuk mengunjungi Ereveld Leuwigajah. Disadari bahwa jelajah kali ini merupakan kunjungan langka, tak heran jika peserta jelajah Ereveld ini cukup banyak. Kedatangan kami pun disambut langsung oleh Bpk. Franky Tuhumury, sebagai kepala pengelola Ereveld Leuwigajah dengan sepenuh hangat dan ramah. Dari beliau inilah saya menimba pengetahuan dan informasi tentang Ereveld Leuwigajah.

Wednesday, July 27, 2016

Masyarakat dan Revitalisasi Heritage

Oleh: Eddi Koben*
 
Indonesia adalah negara dengan segudang peninggalan bersejarah. Ikon-ikon sejarah yang berupa benda, bangunan, tempat, atau arsip dll. banyak bertebaran di negeri ini. Hal ini tak lepas dari latar belakang berdirinya republik ini dari yang tadinya terpecah-pecah dalam berbagai kerajaan hingga menjadi negara kesatuan yang berdaulat. Kedatangan kaum imperialis seperti Portugis, Belanda, atau Jepang turut memerkaya perjalanan sejarah di Indonesia. Di Jawa Barat banyak bertebaran bangunan peninggalan bersejarah (heritage) yang kaya dengan berbagai petunjuk sejarah. Kota Bandung, Kabupaten Bandung, Kabupaten Bandung Barat, dan Kota Cimahi adalah beberapa wilayah tempat berdirinya bangunan-bangunan bersejarah, baik peninggalan pemerintah kolonial Belanda maupun jejak peninggalan masyarakat Tionghoa di masa lalu.

Masyarakat dan Revitalisasi Heritage

Oleh: Eddi Koben*
 
Indonesia adalah negara dengan segudang peninggalan bersejarah. Ikon-ikon sejarah yang berupa benda, bangunan, tempat, atau arsip dll. banyak bertebaran di negeri ini. Hal ini tak lepas dari latar belakang berdirinya republik ini dari yang tadinya terpecah-pecah dalam berbagai kerajaan hingga menjadi negara kesatuan yang berdaulat. Kedatangan kaum imperialis seperti Portugis, Belanda, atau Jepang turut memerkaya perjalanan sejarah di Indonesia. Di Jawa Barat banyak bertebaran bangunan peninggalan bersejarah (heritage) yang kaya dengan berbagai petunjuk sejarah. Kota Bandung, Kabupaten Bandung, Kabupaten Bandung Barat, dan Kota Cimahi adalah beberapa wilayah tempat berdirinya bangunan-bangunan bersejarah, baik peninggalan pemerintah kolonial Belanda maupun jejak peninggalan masyarakat Tionghoa di masa lalu.

Di Kota Cimahi dan Kota Bandung misalnya, tersebar bangunan-bangunan bersejarah peninggalan Belanda yang sebagian terselamatkan oleh pemerintah karena dijadikan kantor-kantor pemerintahan atau pusat militer dan sebagian lagi terbengkalai, beralih fungsi, bahkan lenyap tinggal menyisakan puing. Persoalannya, sejauh mana masyarakat mengenal akan bangunan-bangunan peninggalan bersejarah itu? Mungkin selama ini publik hanya mengenal Gedung Sate dan kawasan jalan Braga sebagai ikon Kota Bandung. Itu pun hanya terbatas mengenal fisik bangunannya saja. Perihal detil bangunan seperti siapa arsitek yang merancangnya, siapa yang menjadi pemborongnya (kontraktor), siapa pekerja/buruh bangunannya, siapa yang meresmikan bangunan itu, banyak masyarakat yang tidak mengetahuinya. Belum lagi peristiwa-peristiwa bersejarah yang erat kaitannya dengan keberadaan gedung-gedung bersejarah tersebut. Apakah masyarakat juga mengenal bangunan-bangunan peninggalan lainnya yang menyimpan banyak catatan sejarah tetapi luput dari publikasi? Barangkali masyarakat banyak yang tidak mengetahui dan mengenal bangunan rumah peninggalan keluarga Ursone dan Hotel Montagne di Lembang, atau Hotel Berglust di Cimahi, juga sejumlah bangunan bersejarah lainnya yang banyak bertebaran tak hanya di Kota Bandung atau Cimahi.

Kabupaten/Kota lainnya pun pasti memiliki bangunan-bangunan bernilai sejarah yang jika ditelusuri, banyak menyimpan manfaat bagi ilmu pengetahuan. Informasi yang minim mengenai keberadaan bangunan-bangunan bersejarah turut memberi andil ketidaktahuan masyarakat. Buku-buku yang mengulas jejak keberadaan bangunan bersejarah pun masih sangat minim untuk mengatakan tak ada sama sekali. Setakat ini, baru Sudarsono Katam atau Haryoto Kunto yang konsen mengulas keberadaan bangunan-bangunan bersejarah melalui buku-buku hasil karyanya. Tak heran jika masyarakat tak begitu akrab akan keberadaan bangunan-bangunan peninggalan bersejarah. Masyarakat akan jauh lebih buta akan sejarah jika tak ada upaya yang dilakukan oleh berbagai pihak dalam mengenalkan sejarah.

Komunitas Sejarah 

Di tengah isu minimnya pengetahuan masyarakat akan bangunan heritage, dewasa ini banyak bermunculan komunitas-komunitas pencinta sejarah. Komunitas-komunitas itu mulai giat mengkampanyekan penyelamatan bangunan-bangunan heritage. Selain itu, kegiatan berupa edukasi terhadap sesama anggota terkait kesejarahan kerap dilakukan. Sebut saja misalnya komunitas Lembang Heritage, Tjimahi Heritage serta Gamboeng Vooruit & Co yang konsen terhadap kegiatan-kegiatan jelajah bangunan-bangunan heritage di sekitar Bandung, Cimahi, Kabupaten Bandung, dan Kabupaten Bandung Barat. Komunitas-komunitas pecinta sejarah tersebut seringkali mengadakan jelajah (trail) mengunjungi gedung-gedung yang dianggap bernialai sejarah. Dengan berbekal informasi dari buku atau sumber lainnya, mereka menjelajahi tempat-tempat yang banyak ditemui gedung-gedung tua peninggalan masa lalu.

Dalam kegiatannya, mereka saling bertukar informasi dengan sesama anggota. Hasil jelajah tersebut biasanya mereka tulis laporannya di blog masing-masing atau dibagi melalui akun media sosial. Tujuannya adalah agar masyarakat luas dapat mengetahui tempat-tempat yang banyak mengandung peninggalan bersejarah. Ketiga komunitas tersebut selalu secara bersama-sama mengadakan jelajah. Misalnya, Tjimahi Heritage mengadakan jelajah ke sejumlah tempat bersejarah di kawasan Cimahi seperti Gedung The Historic, Stasiun Kereta Api Cimahi, atau Hotel Berglust. Pesertanya tak hanya anggota Tjimahi Heritage, tetapi juga anggota Lembang Heritage dan Gamboeng Vooruit & Co. Begitu pun ketika Lembang Heritage mengadakan jelajah ke makam Junghuhn dan Klinik Malaria di Lembang, anggota Tjimahi Heritage dan Gamboeng Vooruit & Co ikut serta. Selain itu, komunitas lain yang tak ada kaitannya dengan sejarah juga masyarakat umum seringkali ikut serta.

Keberadaan komunitas-komunitas sejarah tersebut sedikit banyak memberikan peran kepada masyarakat dalam upaya memperkenalkan masyarakat pada gedung-gedung peninggalan sejarah. Selain itu, semangat untuk terus memelihara dan melestarikan keberadaan gedung-gedung itu terus tertanam. Namun, seringkali mereka mendapati kekecewaan manakala meliihat bangunan bersejarah yang kondisinya sudah rusak atau tidak terawat. Terlebih lagi ketika melihat gedung bersejarah yang sudah beralih fungsi menjadi pusat niaga.

Revitalisasi Heritage 

Banyaknya gedung-gedung tua peninggalan masa kolonial yang kondisinya tidak terawat atau beralih fungsi mengundang keprihatinan di kalangan anggota komunitas. Mereka berharap ada sebuah upaya atau gerakan dari pihak-pihak terkait untuk menyelamatkan aset sejarah tersebut.

Dalam hal ini perlu adanya sinergi antara pihak pemilik gedung dengan pemerintah daerah setempat untuk mencari solusi penyelamatan gedung-gedung bersejarah itu. Pemerintah daerah perlu membuat semacam aturan berupa perda terkait upaya merevitalisasi bangunan-bangunan yang masuk katagori heritage. Jangan sampai pemilik terakhir sebuah bangunan bersejarah menelantarkan keberadaan bangunan tersebut atau mengubah bentuk dan mengalihfungsikannya untuk kegiatan ekonomi. Kita tengok misalnya gedung bioskop Rio di kawasan alun-alun Cimahi yang kini telah beralih fungsi menjadi pusat perniagaan.

Karena tak ada payung hukum yang tegas terkait pengaturan keberadaan bangunan, maka pemilik bioskop tersebut dengan bebas mengalihfungsikannya menjadi pusat niaga. Kasus semacam ini banyak menimpa gedung-gedung heritage lainnya di wilayah-wilayah lain. Ini tentu saja sangat disayangkan. Jika suatu bangunan heritage tampak terbengkalai karena tidak terawat, sebaiknya pemerintah daerah mengambil alih gedung tersebut untuk dipulihkan kondisinya. Ini penting agar aset-aset bersejarah tersebut dapat dinikmati oleh generasi-generasi selanjutnya secara berkelanjutan. Jangan sampai generasi selanjutnya buta akan sejarah perjalanan negerinya. Ingat perkataan Bung Karno, “Jangan sekali-kali melupakan sejarah!” karena suatu bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai sejarah negerinya sendiri. Selamatkan bangunan bersejarah!

***

 Cimahi, 15 Juni 2016 

*Eddi Koben, pengelola warung nasi dan anggota komunitas Tjimahi Heritage.

"Nyukcruk Galur Sajarah Kaum" bersama Tjimahi Heritage


Terima kasih akang teteh bapak ibu kakak adek yang sudah mengikuti jelajah Tjimahi Heritage "Nyucruk Galur Sajarah Kaum". Pertemuan yang luar biasa, menambah saudara, mempererat tali silatirahim. Ternyata Kaum menyimpan kisah-kisah sejarah yang menarik, unik, merentang waktu lebih dari 2 abad. Kisah-kisah yang tidak semua orang Cimahi mengetahuinya. Sejarah yang tidak tercatat, bahkan dalam buku Sejarah Kota Cimahi sekalipun.

Dari perjalanan kali ini kita jadi mengetahui perjuangan Rd. H. Abu Nasir sebagai pemberi wakaf tanah untuk pendirian Masjid Agung pada tahun 1817. Berarti hampir dua abad Masjid Agung itu didirikan. Tak heran kalau gang Kaum menjadi salah satu permukiman tua di Cimahi. Beberapa bangunan masih asli. Di sini pula tinggal sejumlah orang Belanda, Indo Belanda, dan Jerman, berbaur dengan orang-orang pribumi. Sungguh beruntung, rombongan Tjimahi Heritage bisa bertemu dengan keluarga keturunan-keturunan Belanda dan Jerman: Pak Luwih (saya lupa nanya tulisan namanya), keturunan pwngurus Ereveld Pandu dan Leuwigajah, lalu juga keluarga Herman Hendrick Vogt, administratur perkebunan di Subang yang memilih tinggal di Cimahi hingg akhir hayat. Juga kisah keluarga Willem yang konon menyimpan harta karun dibagian dalam rumahnya saat meninggalkan Indonesia di zaman nasionalisasi. 

Begitu pula kita dibuat takjub dengan cerita kuncen makam Mbah Panjang, Pak Asep, yang mengatakan bahwa inilah makam Sembah Dalem Dipati Ukur. Lalu rumah di ujung gang Kaum yang pada saat Zaman Bersiap menjadi tempat penyiksaan terhadap orang-orang Belanda oleh orang-orang pribumi Cimahi (padahal biasanya orang pribumi yang disiksa). Inilah rute terpendek jelajah Tjimahi Heritage, tapi pengetahuan sejarah yang didapat sangat banyak dan mendalam. Ucapan terima kasih dan apresiasi setinggi-tinggginya saya sampaikan kepada Bu Cintasari Herly yang telah bersedia memandu dan menyampaikan kisah-kisah seputar Kaum, Teh Wiwi Wiana yang sudah direpotkan untuk persiapan acara di Kaum, Pak Yayan Supriatna Ketua RW 06, sesepuh gang Kaum Pak Puspo, Pak Luwih, keluarga keturunan Hendrick Vogt, dan tentu saja untuk Pak Ustaz Mas'udi Adnan yang sudah mendoakan untuk keberkahan kita semua. Hatur nuhun kasadayana. [Machmud Mubarok]






Monday, July 25, 2016

Di balik sejarah Kaum Cimahi ada kisah peramal Jerman

“Kaum Cimahi dulunya permukiman lama atau tua dan tempat tinggal sejumlah orang Belanda, Indo Belanda, Jerman, Indo Jerman," kata Machmud.

Merdeka.com, Bandung - Hampir di setiap daerah di Jawa Barat terdapat tempat-tempat bernama kaum atau dalem kaum. Tempat ini biasa berlokasi di pusat kota, satu komplek dengan Masjid Agung, alun-alun dan pusat pemerintahan atau pendopo. Begitu juga dengan Kota Cimahi yang memiliki Kaum Cimahi. Sebagaimana sejarah kota, Kaum Cimahi memiliki kekhasan tersendiri yang berbeda dengan kaum-kaum lain.

Hasil penelusuran Komunitas Tjimahi Heritage, Kaum Cimahi termasuk salah satu tempat paling tua di Kota Cimahi. Posisinya kurang dari satu kilometer dari Masjid Agung Cimahi.

“Kaum Cimahi dulunya permukiman lama atau tua dan tempat tinggal sejumlah orang Belanda, Indo Belanda, Jerman, Indo Jerman yang berbaur dengan pribumi. Sejak lama mereka hidup rukun berdampingan,” kata Ketua Komunitas Tjimahi Heritage, Machmud Mubaraq, kepada Merdeka Bandung, Senin (25/7).

Machmud mengungkapkan, hingga kini masih terdapat keturunan dan peninggalan orang Belanda dan Jerman di Kaum Cimahi. Keturunan mereka sebagian masih menempati rumah-rumah di sekitar kaum. Salah satunya adalah keluarga Herman Hendrick yang kemudian memilih menjadi Warga Negara Indonesia (WNI). Meski sudah menjadi WNI, keluarga Herman Hendrick masih menjalin komunikasi dengan leluhurnya di Jerman.

“Begitu juga dengan keluarga orang-orang Belanda masih menjalin komunikasi dengan Belanda. Komunikasinya memakai Bahasa Sunda sangat halus, karena dari dulu mereka lahir dan tinggal di Cimahi sebelum beberapa dari mereka ada yang pulang ke Belanda,” tuturnya. Mengenai keturunan Herman Hendrick, Machmud mengatakan mereka sangat terbuka. Dalam acara Jelajah yang menjadi program rutin Tjimahi, keluarga Herman Hendrick terbuka menerima kunjungan peserta.
“Mereka mau memperlihatkan rumah yang suasananya klasik banget, dengan tekel dan lampu hias yang masih aktif,” katanya.

Herman Hendrick hidup di masa 1944-1980. Dia bekerja sebagai pegawai administrasi perkebunan di Subang. Herman Hendrick adalah Indo-Jerman, ibunya berasal dari Solo. Setelah pensiun, mereka menetap di Cimahi. “Di masa lalu yang tinggal kawasan kaum bukan tentara, tetapi sipil,” katanya. Uniknya, sambung Machmud, Herman Hendrick memiliki keahlian meramal. Keahliannya ini cukup dikenal dan menjadi buruan para tamu yang mencari peruntungan.

Para tamu Herman Hendrick kebanyakan dari Batavia, terutama kalangan pejabat. “Sayangnya anak-anaknya tidak ada yang memiliki kemampuan meramal,” kata Machmud seraya tertawa.
Dalam program jelajah bertajuk “Nyucruk Galur Sejarah Kaum Cimahi” itu, Tjimahi Heritage mengundang sejumlah narasumber yang merupakan sesepuh yang tahu seluk-beluk Cimahi, antara lain Cinta Sari yang merupakan perempuan asli kelahiran Kaum Cimahi.

***

sumber: http://bandung.merdeka.com/halo-bandung/di-balik-sejarah-kaum-cimahi-ada-kisah-peramal-jerman-160725g.html
 sumber foto: dokumentasi Tjimahi Heritage @ Arief Robiyansyah dan Bandung Merdeka.com







Thursday, April 14, 2016

Cimahi sebagai Kota Wisata Militer: Sebuah Utopia?

Teks & Foto: Ek Ing

Mewujudkan Cimahi sebagai kota wisata militer pertama di Indonesia apakah sebuah utopia? Sebuah mimpi ideal dari para pegiat wisata, namun sulit untuk diwujudkan pada kenyataannya. Pertanyaan inilah yang terus berkutat dalam benak saya selama mengikuti kegiatan Komunitas Tjimahi Heritage.
Tanpa bermaksud untuk memperkecil usaha dan peran komunitas lainnya yang ada di kota Cimahi sendiri, adalah komunitas Tjimahi Heritage, yang secara aktif mengulik keberadaan berbagai bangunan lama, sejarah dan peristiwa yang terjadi pada masa lalu di setiap sudut kota Cimahi. Membungkusnya dalam bentuk paket jalan-jalan semacam city-walk yang apik. Kemudian merangkainya dalam cerita yang menarik.

Hebatnya, semuanya gratis! Jalan-jalan terus dapat ilmu.
 
Komunitas Tjimahi Heritage
 
Mengangkat konsep wisata heritage kota tua tentu saja bukan hal baru. Tapi wacana membuat kota Cimahi sebagai kota wisata militer dengan memperbolehkan warga sipil mengunjungi sejumlah bangunan militer bersejarah, berkeliling barak TNI serta boleh melihat langsung latihan kemiliteran tentu saja bukanlah tugas yang mudah.
  
Utopia? Hanya waktu yang bisa membuktikan.

Bersama Komunitas Tjimahi Heritage
 
Minggu, 03 April 2016 ada sekitar tiga puluh peserta berkumpul di pelataran parkir stasiun kereta Cimahi untuk menelusuri sejarah stasiun kereta api, dalam hal ini Stasiun Cimahi dan daerah sekitarnya sebagai pusat militer, 'station en omgeving'.
   
Ciri khas arsitektur bangunan Stasiun Cimahi bergaya artdeco terlihat sangat menonjol pada berbagai ornamen yang masih dipertahankan bentuk aslinya. Pintu masuk terbuat dari kayu jati dengan ventilasi berbentuk setengah lingkaran di bagian atas pintu. Ventilasi tersebut dihiasi kaca patri berwarna kemudian ditutupi dengan teralis besi. Disamping kiri kanan pintu terdapat jendela dengan gaya serupa.

Bagian dinding bangunan dipisahkan oleh lis yang berwarna gelap pada bagian bawah sedangkan bagian atas berwarna krem. Ruang tunggu memiliki atap dari konstruksi baja dan plat besi. Diantara ruang loket tket dan ruang tunggu terdapat pintu pembatas yang sudah berusia ratusan tahun.

Dibangun sekitar tahun 1884 untuk kepentingan militer, Stasiun Cimahi pada awalannya memiliki 5 jalur rel namun sampai saat ini tinggal 3 rel yang masih aktif digunakan.
 
Stasiun Cimahi: sebagai daerah garnisun pada jaman Belanda, jalur kereta api digunakan sebagai sarana pengangkutan logistik militer dari Batavia ke Cimahi.

Gedung Kuno di sekitar Stasiun Cimahi
 
The Historich 

Bangunan seluas 870 meter persegi ini tampak kokoh dengan 4 pilar besar tepat di bagian depan bangunan utama dengan sayap barat dan timur di sampingnya. Bangunan The Historich ini dianggap bergaya arsitektur 'Indicy Impire Style' dengan ciri khas berpilar banyak.

Gedung ini sempat berganti nama beberapa kali. Pada jaman awal era kemerdekaan diganti menjadi 'Balai Pradjoerit.'  Kemudian diganti lagi menjadi Gedung Sudirman serta sempat dipakai sebagai  gedung DPRD Cimahi.   Saat ini fungsi gedung ini telah berubah menjadi gedung serba guna dan bisa disewa untuk  berbagai kegiatan. Misalnya, saat bersama peserta Tjimahi Heritage berada di gedung The Historich, saat itu sedang ada acara resepsi pernikahan.
 
Gedung The Historich dibangun pada tahun 1886. Dulu bernama Sociated voor Officieren - Tjimahi, terletak diantara Jl. Gatot Subroto dan Jl. Stasiun. Bangunan ini merupkan tempat hangout-nya para perwira militer KNIL untuk acara pesta dansa, minum dan main billiard jaman dulu.
 
 Jalan Sukimun, pabrik roti dan tempat penjagalan.
 
Masih bersama dengan Tjimahi Heritage, kita menyelusuri kembali jalan-jalan di sekitar stasiun. Adalah jalan Sukimun, dengan pangkalan ojek motor di ujung jalan menjadi destinasi berikutnya. Ada bekas bangunan besar yang terbengkalai di salah satu sudut jalan. Bangunan itu dulu berfungsi sebagai rumah penjagalan hewan ( rph ).

Masih di sekitar jalan Sukimun, ada bekas pabrik roti yang menarik perhatian semua peserta untuk berhenti sejenak dan mengambil photo-photo sepotong dinding bekas pabrik yang meninggalkan sisa arsitekturnya. Sayang kondisi bangunan pabrik sudah tertutup oleh rumah penduduk.
 
 Mengatakan bahwa pihak pemkot Cimahi bersikap apatis tentang wacana menjadikan kota Cimahi sebagai kota wisata militer tentu saja tidak benar. Pada saat kegiatan 'station en omgeving' - perwakilan dari bidang pariwisata dinas koperasi perdagangan dan industri kota Cimahi turut hadir dan memberikan harapan yang cukup tinggi.

Lampu hijau sudah digulirkan.

Di kota Cimahi terdapat 13 pusat pendidikan militer. Kebanyakan Pusdik tersebut memiliki nilai sejarah yang sangat menarik karena merupakan bekas peninggalan gubernur WillemDaendels, tapi harus diakui untuk menjadikan semua bangunan tersebut menjadi objek wisata masih berupa mimpi.
 
Nama Sukimun diabadikan sebagai nama jalan sebagai penghargaan atas aksi heroiknya sebagai mata-mata untuk mengawasi keberadaan pasukan Belanda di kawasan garnisun sehingga menjadi buronan yang paling dicari-cari oleh Belanda. Di salah satu ujung jalan inilah Sukimun dibantai oleh Belanda. 
 
 Tjimahi Heritage : gedung dan bangunan lainnya
 
 Perjalanan bersama Tjimahi Heritage minggu itu meninggalkan sekelumit cerita dan tanya. Sebagai bekas kota garnisun, kota Cimahi memiliki karakter tersendiri dengan berbagai bangunan bersejarah  akan sungguh sayang kalau sampai dibiarkan hilang tanpa bekas.

Dibutuhkan partisipasi pegiat dan anggota komunitas Tjimahi Heritage serta  kelompok lainnya untuk turut berperan aktif mengulik sejarah, menyambung kembali benang-benang merah yang tersebar sehingga menjadi sebuah denah atau peta blue-print potensi wisata heritage kota Cimahi.

Dan yang terakhir, mimpi untuk menjadikan kota Cimahi sebagai kota wisata militer akankah berupa utopia masih mempunyai halangan besar. Salah satu alasannya adalah rahasia militer nasional yang harus tetap dijaga. 
 
Salah satu bangunan lama yang terdapat di sekitar jalan Stasiun, rumah bekas peninggalan Belanda yang kini telah berganti kepemilikan. Apakah ciri khas bangunan ini ada jaminan akan tetap bertahan?

rumah tua disekitar pusdik militer angkatan darat
 

Sunday, March 27, 2016

Resensi Film Max Havelaar

Oleh: Mas Wid

Semalam saya nonton film Max Havelaar, sebuah film panjang yang mencekam. Nyaris tanpa diiringi ilustrasi musik, hanya suara-suara serangga di hutan pedesaan. Ketiadaan musik ini justru membuat suasana jadi semakin mencekam. Fons Rademaker sang sutradara berhasil memotret dengan baik suasana suram di pedalaman Lebak Banten pada pertengahan abad ke 19.

Di jaman Orde Baru film ini dilarang diputar, barangkali karena menggambarkan betapa brutalnya perilaku pejabat di negeri ini. Mereka merampok bukan memimpin. Mereka mengambil bukan memberi. Dan mentalitas seperti itu bahkan masih ada hingga hari ini. Bukankah orang jahat dan orang baik bisa berada di mana saja, apapun suku bangsanya.

Film ini diawali dengan adegan klasik ketika si Pantang, kerbau kepunyaan Saija, diserang seekor harimau. Saija bersembunyi di bawah perut si Pantang sementara tanduknya mengoyak perut harimau. Usus harimau terburai dan tewas seketika. Orang-orang bersorak sorai, si Pantang jadi pahlawan. Sayang kegembiraan itu sebentar kemudian pudar, karena anak buahnya Adipati lewat dan dengan semena-mena mengambil si Pantang begitu saja. Senang dan susah bertukar dengan sangat cepat, tetapi bagi rakyat kecil pada umumnya kesusahan menetap lebih lama.

Saya bukan ahli film, tapi sedikit banyak bisa ikut merasakan permainan cantik dari para aktornya beserta dekorasi yang detail menggambarkan suasana pada jaman itu. Ada juga adegan di rumah lama Kebon Kopi, Cibeureum. Bangunan-bangunan yang ditampilkan pada umumnya anggun dan mempesona, seperti rumah dinas Bupati dan Istana Bogor tempat kediaman gubernur jenderal.
Sayang sekali hubungan percintaan antara Saija dan Adinda yang indah dan mengharukan kurang digarap secara detail. Film ini lebih menitikberatkan pada peran Max Havelaar dan pergulatannya melawan kesewenang-wenangan Adipati Lebak yang bekerjasama dengan oknum pejabat Belanda.

Film ini diakhiri dengan adegan di Istana Bogor, setelah Max Havelaar menyatakan berhenti dari jabatannya karena dipaksa pindah menjadi residen di Ngawi. Max Havelaar merasa bahwa dia telah gagal memperbaiki keadaan di Lebak karena persekongkolan jahat Adipati dan pejabat Belanda. Satu-satunya harapan adalah mengadu langsung kepada gubernur jenderal yang konon katanya baik hati. Tetapi gubernur jenderal tidak bersedia menemuinya. Max Havelaar terluka.

Akan tetapi sejarah mencatat, Max Havelaar tidak sepenuhnya gagal. Dua tahun kemudian di sebuah losmen di Swedia, dia menulis buku berjudul Max Havelaar yang menggegerkan Eropa. Buku tersebut sangat berpengaruh dalam mengubah kebijakan Belanda atas negeri jajahannya Hinda Belanda. Hermann Hesse peraih nobel kesusastraan dalam bukunya berjudul: Die Welt Bibliothek (Perpustakaan Dunia) memasukkan Max Havelaar dalam deret buku bacaan yang sangat dikaguminya. Bahkan Max Havelaar sekarang menjadi bacaan wajib di sekolah-sekolah di Belanda.
Barangkali patut dipertimbangkan, warga Tjimahi Heritages bisa nonton bareng film ini.



Rumah Kebon Kopi lokasi syuting Max Havelaar

Warung Cinta: Rumah Makan Bernuansa Jadul

 Foto & Teks: Mas Wid

Lokasinya di Jalan SMP Kota Cimahi. Ini rumah makan baru yang belum ada namanya. Jadi saya sebut saja WARUNG CINTA. Kenapa saya namakan warung Cinta? Karena Ibu Masnauli mengelola warungnya dengan penuh Cinta. Perabot-perabot tua yang eksotis disusun dan ditata dengan hati-hati. Kelihatannya setiap hari dilap dan dibersihkan juga dengan cinta. Yang paling mengesankan adalah cara beliau menerima tamu. Saya baru pertama kali berkunjung kesitu, tapi saya tidak merasa seperti sedang berada di restoran atau kafe, saya merasa seperti sedang berkunjung ke rumah saudara. Ibu Masnauli duduk satu meja menemani saya makan, lalu kami pun terlibat dalam obrolan yang mengasyikkan. Mulai dari cara mendidik anak, kenangan tentang almarhum ibunda, cara mengobati sakit jantung sampai cerita tentang koleksi perabotan kuno yang berjejer rapi di ruangan itu.

Beliau adalah contoh orang yang sudah selesai dengan dirinya. Anak-anak sudah dewasa dan bekerja, di rumah sebesar itu Ibu Masnauli hanya tinggal berdua dengan suaminya. Saya melihat rumah makan ini tidak dibuat dengan semangat menyala-nyala untuk cari duit melainkan lebih untuk menyalurkan rasa seni kuliner dan kecintaan pada kehidupan. Bukankah bisnis tiada lain adalah upaya untuk berbagi kebahagiaan pada sesama ? Apabila niat kita dalam berbisnis adalah untuk membahagiakan sesama, maka percayalah segala sesuatu akan menjadi indah pada waktunya.

Berkunjung ke Warung Cinta membuat saya semakin yakin, bahwa membuka restoran bukan sekedar urusan makan dan minum, melainkan sebuah upaya berkesenian untuk menghadirkan suasana dan rasa yang berbeda, yang dalam kehidupan sehari-hari kadang-kadang hilang dari genggaman kita. Makanannya? Terus terang enak dan murah. Pas di lidah pas juga di dompet. Sayang sekali perut dan lidah seringkali tidak kompak. Lidah masih ingin bergoyang tapi perut sudah tidak sanggup menampung sehingga saya terpaksa menunda beberapa pilihan menu untuk kunjungan berikutnya.

Pilihan menu yang ada semuanya khas Indonesia, tidak ada nama-nama asing seperti sausage, bratswust atau burger. Yang ada cuma tempe mendoan, tahu isi, ayam penyet dan makanan-makanan lokal lainnya. Sekalipun Ibu Masnauli pernah tinggal di luar negeri cukup lama, tetapi fanatisme dan kecintaan terhadap kuliner Nusantara ternyata tidak menjadi pudar.

Di sore yang redup dan gerimis, saya dan istri duduk di teras menikmati hidangan sambil membayangkan barangkali beginilah rasanya menjadi orang pensiunan. Santai dan rileks seolah-olah tidak ada lagi yang perlu dikejar dalam kehidupan ini. Dari piano di sudut ruangan mengalun lagu klasik seolah-olah membawa kita pada suatu masa lalu yang jauh. Saya tidak berani berjanji tapi suatu saat kelak saya pasti akan berkunjung lagi kesini.


Sisa sejarah yang hilang dan kenangan yang tercecer

Teks & foto: Iwan Hermawan

Dulu di Stasiun Cimahi dekat pintu perlintasan kereta api sebelah timur terdapat pipa unik yang berfungsi untuk pengisian air dari watertoren dibelakang locomotif uap.
Sewaktu masih SMP, saya sering main ke lintasan ini dengan bermodal kamera pinjaman yang masih memakai film rol hitam putih. Saya asyik jeprat-jepret disekitaran tempat ini.
Sekarang pipa unik ini sudah tidak ada.


Tempat pengisian air kereta uap

"Toot...tooot...teet...toot...toot...teeet...."
Jika anda tinggal di kota Cimahi pasti terbiasa oleh bunyi terompet yang berasal dari barak tentara. Bunyi terompet itu biasa melengking sekitar jam 6 pagi dan jam 10 malam.
Jika sedang senyap, bunyi terompetnya terdengar sangat jauh hingga ke utara sampai Alun-alun, hingga ke selatan sampai Cibeber.
 

Bunyi terompet ini sangat khas. Bunyi jam 6 sebagai tanda untuk bersiap apel pagi dan jam 10 untuk waktunya istirahat. Dahulu, jika sudah ditiupkan terompet ini, pasukan KNIL bersiap-siap lari menuju lapangan lengkap dengan klewang dan peralatan tempurnya, meninggalkan istri dan anak-anaknya di tangsi-tangsi. Jika malam tiba, bunyi terompet begitu lemah mendayu. Saatnya para serdadu KNIL untuk istirahat, dan tangsi pun gelap gulita.

Terompet KNIL

Sebuah bangunan yang berada di depan pintu masuk Pusdikarmed ini sekitar tahun 1942-1945 pernah digunakan sebagai kantor komandan Kamp Baros 6 Jongens Kamp yang di pimpin oleh Kapten Kunimoto. Sekitar tahun 1989 bangunan ini diratakan untuk pembangunan jalan tol Baros. Yang tersisa dari komplek kantor ini sekarang masih digunakan oleh TNI.


R.H Abdul Halim, Lurah Cigugur Tengah

Foto & Teks: Machmud Mubarok

Namanya diabadikan menjadi nama jalan. Sebuah jalan yang semula lebih dikenal sebagai Jalan Cibabat (kini Jalan Amir Mahmud) memanjang hingga tembus ke Pusdikjas. RH Abdul Halim. Apakah beliau orang yang sama yang memimpin kompi pejuang, Kompi Abdul Halim saat perang kemerdekaan di Cimahi dan sekitarnya? Adakah keturunannya atau warga Cimahi yang mengetahui sejarah beliau?

Dari penelusuran sumber sejarah, diketahui bahwa RH Abdul Halim adalah kepala desa atau lurah pertama di Cigugur Tengah. Beliau memerintah desa pada tahun 1882-1892. Ini berarti kemungkinan besar, RH Abdul Halim ini bukan orang yang sama atau berbeda dengan Kompi Abdul Halim di masa perang kemerdekaan di Cimahi, Cisarua, dan sekitarnya.

Berikut nama-nama Lurah Cigugur Tengah: Tahun 1882 – 1892 dipimpin oleh RH. Abdul Halim
Tahun 1899 – 1913 dipimpin oleh RH. Abdoelah
Tahun 1914 – 1920 dipimpin oleh Wiradikarta
Tahun 1921 – 1931 dipimpin oleh Sura Manggala
Tahun 1932 – 1939 dipimpin oleh S.O. Sudirawinata
Tahun 1940 – 1941 dipimpin oleh R. M. H. Jambi
Tahun 1942 – 1945 dipimpin oleh S.O. Sudirawinata
Tahun 1946 – 1948 dipimpin oleh Keta
Tahun 1949 – 1952 dipimpin oleh N. Sasmitadihardja
Tahun 1953 – 1957 dipimpin oleh E. Surnan
Tahun 1958 – 1959 dipimpin oleh S.O. Sudirawinata
Tahun 1960 – 1961 dipimpin oleh Ade Sasmita
Tahun 1962 – 1965 dipimpin oleh A. Djudju
Tahun 1966 – 1967 dipimpin oleh Alim
Tahun 1968 – 1980 dipimpin oleh Abu Supardja
Tahun 1981 – 1995 dipimpin oleh Sobari
Tahun 1995 – 2004 dipimpin oleh Drs. Toto Solehudin
Tahun 2004 – 2006 dipimpin oleh Ir. H. Achyar, MM
Tahun 2006 – dipimpin oleh Drs. Achmad Nuryana
Sekarang dipimpin oleh Heri Rusnandar


Makam R.H Abdul Halim, Lurah Cigugur Tengah
Makam Rd A Ihop bin RH Abdul Halim, putra RH Abdul Halim.

Sunday, February 21, 2016

Kolam Tua

Oleh: Iwan Hermawan

Balong PE demikian orang2 menyebutnya. Berlokasi di komplek brigif 15 Kujang di daerah Baros Cimahi. Entah penulisannya PE atau VE entahlah, saya lihat di suatu majalah lawas, Netherlands Indische Leven terbitan 1930 kolam ini sudah ada dengan sebutan Visvijver yang artinya kolam ikan.
Di foto lama itu terlihat latar belakang kolam yaitu gunung Padakasih dan gunung Aseupan yang keduanya sekarang mulai berubah bentuk.


Kembali ke kolam, daerah itu dahulu merupakan padang rumput luas. Rumput tersebut diperuntukan untuk kuda penarik meriam. Penamaan PE masih misteri, mungkinkah penamaan itu ada hubungannya dengan komplek Pusdikarmed yang dahulu mempunyai meriam artileri medan yang jika di bahasa Belanda-kan Veldartillerie karena lidah warga pribumi menjadi PE? Atau dari arti makanan kuda (rumput) yang disebut Paarden atau dari istilah istilah lain. Entahlah.


Kolam Tua (foto: Iwan Hermawan)

Film Darna dan Bioskop Rio

Oleh: Machmud Mubarok

MASIH ada yang ingat dengan film Darna Ajaib? Tokoh superhero perempuan yang benar-benar sakti mandraguna. Bisa terbang secepat kilat dan kebal segala senjata. Persis Superman. Yang saya ingat, pemeran Darna dewasa adalah aktris cantik Lidya Kandou. Itu film keluar tahun 1980.
Tokoh Darna ini bukanlah tokoh superhero ciptaan orang Indonesia. Dia adalah superhero komik ciptaan orang Filipina, Mars Ravelo dan Nestor Redondo pada tahun 1950. Dari komik, superhero Darna ini kemudian difilmkan setahun kemudian. Nah, Bioskop Rio sebagainya bioskop paling ternama di Cimahi tak ingin ketinggalan memutar film edisi Filipina ini. Tahun 1952, tepatnya Bulan April, Bioskop Rio pun memutar film Darna. Iklan pemutaran filmnya dipasang di koran De Preangerbode, Senin 28 Januari 1952.

Iklan pemutaran film Darna di bioskop Rio


FF Buse. Raja Pengelola Bioskop di Bandung termasuk juga Bioskop Rio Tjimahi

Raden Achmad Witoelar Kartaadipoetra

Oleh: Yarman Mourly

Cimahi memang parah dalam hal pengarsipan. Yang diketahui Orang Cimahi tentang Cimahi umumnya hanya sebagai berikut: Tahun 1935 Cimahi menjadi kecamatan (lampiran staad blad tahun 1935). Tahun 1962 dibentuk setingkat kewedanaan, meliputi 4 kecamatan: Cimahi, Padalarang, Batujajar dan Cipatat. Tahun 1975 ditingkatkan menjadi Kota Administratip. Selesai.

Pertanyaannya adalah siapakah yang pernah menjabat jadi wedana Cimahi tersebut? Nah lho, bingung kan? Yang pernah menjadi pejabat wedana Cimahi adalah Raden Achmad Witoelar Kartaadipoetra (1910-1987). Beliau tak lain adalah bapak kandung dari Wimar Witoelar yang pernah menjadi juru bicara presiden Gus Dur. Raden Achmad Witoelar Kartaadipoetra menikah dengan Nyi Raden Toti Soetiamah Tanoekoesoemah (1914-1977) dan dikaruniai 5 orang anak yaitu Luki Djanatum Muhamad Hamim (1932), Kiki Wastika (1935), Toerki Joenoes Moehamad Saleh (1938), Rachmat Nadi (1941) dan Wimar Jartika (1945). Yang bungsu inilah yang kita kenal dengan nama Wimar Witoelar.

Rumah Kolonial Bergaya Jawa

Oleh: Yayu Arundina
 
Sejak kecil dulu, hampir setiap saat saya selalu akrab melewati rumah ini. Sebuah rumah yang terletak di pinggir jalan besar. Banyak cerita yang melingkupi rumah ini. Angker. Rumah berhantu. Juga sering digunakan untuk syuting sinetron. Kabarnya sinetron yang angker juga.
Dari pinggir jalan besar, rumah ini hanya terlihat bagian atapnya saja. Mengapa? Di sekelilingnya terdapat banyak pohon-pohon besar. Dalam pikiran anak kecil, saya menyebutnya sebagai sebuah hutan. Hutan di tengah kota. Rindang dengan pepohonan dan gelap. Benar-benar menakutkan.
Lama tak mendengar kabar tentang rumah ini. Tiba-tiba, seorang kawan saya mengajak untuk menjelajahi rumah tua tersebut bersama dengan komunitas Tjimahi Herritage. Rumah ini terletak di pinggir jalan raya Cimahi-Bandung, khususnya daerah Kebon Kopi Cibeureum Cimahi. Minggu, 31 Januari 2016 kemarin, akhirnya saya dan teman-teman berhasil menjelajahi rumah bersejarah ini. Kondisinya sangat jauh berbeda dari bayangan masa kecil dulu. 

Bagian luarnya sudah sangat lapang. Pohon-pohon rindang yang dulu menutupinya sudah hilang, berganti taksi-taksi biru. Tinggal sisi bagian kanan yang masih menyisakan sejarah. Kabar terakhir, rumah ini sudah dijual pada sebuah perusahaan taksi terkenal di Bandung, Bluebird. Perusahaan tersebut berkomitmen untuk tetap melestarikan bangunan tersebut, walau harus merehabnya. Ya, rumah tua itu sudah banyak termakan usia. Rumah kuno itu saya namakan dengan RUMAH KOLONIAL BERGAYA JAWA. Bagian luarnya memang mirip dengan rumah gaya Eropa dengan tiang-tiang kokoh seperti bangunan Yunani. Kalau tidak salah berjumlah enam buah. Hanya di bagian atas ada nuansa lokal, yaitu ukiran bunga (melati).
Sebelum memasuki bagian dalam, kami mendapat penjelasan tentang sejarah kopi dan  rumah ini dari Kang Machmud Mubarok dan Kang Mochamad Sopian Ansori. Ternyata rumah ini terkait erat dengan sejarah perkebunan kopi. Boleh dibilang menakjubkan, karena melanggar kebiasaan syarat menanam kopi. Tanaman kopi biasanya membutuhkan ketinggian minimal 700 mdpl, sedangkan di sini hanya sekitar 650 mdpl. Jadi, pohon rindang yang dulu menyelimuti rumah ini ternyata oh ternyata adalah tanaman kopi yang tinggi-tinggi. Alasan inilah yang melatarbelakangi daerah ini bernama Kebon Kopi.
 
SEJARAH KOPI DI INDONESIA
 
Wow, ternyata kotaku ini bagian dari sejarah masa lalu yang kini sedang dibangkitkan lagi. Kopi nasional, produk Priangan, Produk Indonesia. Ah, rasanya bangga juga tinggal di kota yang termasuk bagian sejarah itu. Sekaligus juga miris mendengar kisahnya. Javana oh Javana! Kopi di tanah Priangan berasal dari wilayah Malabar India. Seorang kapten VOC, Adrian van Ommen membawa kopi Arabica pada tahun 1696. Pada awalnya, penanaman kopi di Indonesia ini mengalami kegagalan akibat banjir Batavia. Namun, akhirnya mambawa hasil setelah kopi tersebut ditanam di daerah Bidara Cina, Kampung Melayu, Sukabumi, dan Sudimara. Kopi-kopi inilah yang pada akhirnya membawa kejayaan pada VOC. Kopi-kopi tersebut berhasil menguasai pasaran dunia. Akibatnya, muncullah perjanjian VOC dengan para bupati Priangan untuk memperluas penanaman kopi di Priangan. Salah satunya adalah Bupati Cianjur, Aria Wiratanudatar. 
 
Pada tahun 1786, setengah kopi yang dihasilkan berasal dari lereng-lereng Gunung Gede di Cianjur dan sebagian lagi dari sekitar Bandung. Kejayaan kopi di pasar dunia membawa kemakmuran bagi VOCselama hampir dua abad, juga para bupati Priangan. Namun, kemudian akibat korupsi, VOC mengalami kebangkrutan hingga terjadi beberapa kali pergantian kekuasaan. Setelah menyengsarakan rakyat tahun 1876 Hindia Belanda ditimpa petaka dengan hancurnya tanaman kopi akibat penyakit karat daun. Penyakit itu meluas sehingga melumpuhkan perdagangan kopi dunia. Dalam situasi gawat tersebut, Brazil dan Kolombia akhirnya mengambil alih kekuasaan perdagangan kopi dunia sampai sekarang.
Setelah mendengar penjelasan sejarah perkebunan kopi, akhirnya kami dibagi menjadi dua rombongan. Secara bergantian, kedua rombongan itu menjelajahi bagian dalam rumah. Lalu, menjelajahi halaman belakangnya. 
   
MISTERI RUMAH TUA
 
Ketika memasuki bagian dalam, kawanku berkata, “ Aku kok seperti mengenal betul rumah ini. “
“Ya, jelaslah, wong kamu sering pulang ke Jawa. Pemilik rumah ini kan orang Jawa. Trenggalek !” jawabku sambil tersenyum.
 
Inilah kejutan pertama. Rumah bergaya kolonial ini bukan milik para bangsawan Eropa (Belanda) tapi milik pribumi. Seorang tuan tanah asal Trenggalek, Jawa Timur. Diperkirakan rumah ini milik Wangsadiredja. Kejayaan kopi membawa kemakmuran. Rumah inilah buktinya. Kemewahan arsitektur Eropa dipadukan dengan nuansa Jawa di bagian dalamnya. Salah satunya melalui pintu-pintu kayu yang kokoh dan tinggi, lengkap dengan kunci khas dari masa lalu. Besi-besi panjang yang terkait di bagian atas dan palang kayu. Itulah kejutan keduanya. Rumah ini bukan istana raja Eropa.
 
Rumah yang sangat luas ini memiliki enam buah kamar dengan ukuran yang cukup luas. Yang menarik, di tengah-tengah bagian rumah masih ada sumur yang masih terlihat bagus. Walaupun dikelilingi ilalang yang sangat tinggi. Miris hati ini ketika memasuki bagian dalam. Seperti VOC, rumah ini benar-benar diambang kehancuran. Beberapa bagian rumah tampak tak terawat. Atap-atap banyak yang tinggal menunggu waktu jatuh. 

Kejutan ketiga, ada di halaman belakang. Halaman yang masih memiliki nuansa hutan itu ternyata merupakan pemakaman keluarga. Kurang lebih ada lima baris makam dengan berbagai model makam. Cina dan Muslim. Sangat terawat. Bersih. Rapi. Tulisan di nisan sebagian besar menggunakan bahasa Sunda. Sayang, sebagian nama-namanya kurang jelas terbaca.
  Sebelum sampai kompleks pemakaman tersebut, kami harus menjelajahi hutan kecil dan juga jalan setapak yang dipenuhi dengan guguran daun-daun. Cukup tebal dan empuk ketika diinjak.
Saat pulang, setelah mendapat restu dari penjaga,  seorang kawanku yang lain mengambil beberapa buah Ganitri untuk dijadikan gelang yang unik. Buahnya berwarna biru terang. Bagian dalamnya berwarna coklat muda. Bergerigi.
Dengan terkumpulnya buah Ganitri di wadah, berakhir pula petualangan kami hari itu. Menjelajahi RUMAH KOLONIAL BERGAYA JAWA. Setelah itu, kami kembali berkumpul di teras depan untuk berkenalan dan membacakan novel Max Havelaar secara bergantian. Konon kabarnya, rumah tua ini pernah digunakan untuk syuting film salah satu tokoh penting dalam sejarah Indonesia tersebut.
Menjelang dzuhur, kamipun membubarkan diri dengan membawa kenangan masa lalu, pengetahuan baru, dan kawan baru. Sampai jumpa di petualangan berikutnya, ya. Salam Sejarah! Salam Sastra!
Dari sejarah, kita bercermin untuk kebaikan di masa yang akan datang. Memaknai sejarah sami sareng memaknai hidup!
 
Machmud Mubarok (foto: Yayu)

Mochmad Sopian Ansori (foto: Yayu)

peserta jelajah

hiasan ornamen (foto: Yayu)

suasana di dalam rumah (foto: Yayu)

diskusi novel (foto: Yayu)