Monday, June 22, 2015

Napak Tilas Ianjo: Saksi Siksa Jugun Ianfu di Cimahi

“Watanabe kasihan kepadaku, tetapi ia terpaksa minta aku melayaninya karena dia membutuhkan seks. Watanabe juga bercerita kalau dia mempunyai dua orang anak perempuan seumuran denganku di Tokyo. Watanabe pernah berkata dengan mata menyala, “Jika anak saya diperlakukan seperti Mardiyem, saya akan bunuh kaisar!”Mardiyem dalam buku Momoye: Mereka Memanggilku

*** 
Selain menyimpan sejarah kamp interniran, Cimahi masih memiliki satu kisah kelam peninggalan Jepang, Ianjo Jugun Ianfu. Pada hari Minggu, 14 Juni 2015, bersama komunitas Tjimahi Heritage saya mengikuti napak tilas jejak sejarah Ianjo Jugun Ianfu di Cimahi. Dari atas tangga Cimall sebagai titik kumpul peserta, kami duduk-duduk menunggu peserta yang lain. Satu persatu teman-teman yang hendak mengikuti napak tilas Jugun Ianfu kemudian datang diiringi senyum yang mengembang. Setelah semua peserta berkumpul, tanpa menunggu lama jelajah Ianjo dimulai. 

Dari pelataran Cimall peserta berjalan kaki menyusuri sebuah jalan kecil menuju jalan Simpang. Tepat di mulut jalan, di depan deretan rumah-rumah kopel kami berhenti. Mata kami tertuju pada rumah kopel yang tampak tua. Deretan rumah-rumah yang dibangun pada jaman Belanda itu adalah asrama para perwira-perwira militer Belanda. Ketika Jepang mulai berkuasa di Indonesia sejak 1942 - 1945, rumah-rumah bekas perwira Belanda itu kemudian dijadikan Ianjo, yang secara harfiah berarti rumah hiburan yang menyediakan perempuan atau rumah bordil militer Jepang. Di dalam Ianjo-ianjo itulah para perempuan-perempuan desa yang masih muda belia dikumpulkan dan dijadikan santapan birahi para serdadu-serdadu Nippon dengan cara diperkosa secara brutal. Bagaimana para perempuan-perempuan muda itu bisa sampai dijebloskan ke dalam Ianjo?

Ianjo di jalan Simpang
Sejak bulan Maret 1942 hingga Agustus 1945 adalah masa-masa para perempuan Indonesia hidup dalam pergulatan bujuk rayu, siksa, pelecehan seksual dan perkosaan. Di masa-masa penjajahan Jepang, hidup sedemikian susah. Untuk memperoleh syarat penghidupan yang berupa pakaian, makanan dan tempat tinggal menjadi sumber penderitaan yang tak ada habis-habisnya. Setiap hari sering dijumpai orang-orang bergelimpangan mati karena kelaparan. Di desa-desa para petani tidak lagi mempunyai hak atas panen. Bahkan beberapa dari pemuda desa harus terperosok ke dalam neraka-neraka kamp kerja paksa Romusha. Sementara di kota-kota, para pelajar harus memusatkan perhatian mereka pada Taisho (gerak badan), Kyoren (latihan baris berbaris) dan Kinrohooshi (kerjabakti) dalam kondisi tubuh yang kurus karena kelaparan dan kurang gizi. Situasi itulah yang membuat para perempuan-perempuan rentan terkena bujuk rayu tentara Jepang untuk ‘diselamatkan’ dengan cara diiming-imingi diberi pekerjaan, dijadikan pemain sandiwara atau pelajar di Tokyo. Pada kenyataannya, mimpi untuk menjadi pelajar atau mendapat pekerjaan yang dijanjikan Jepang itu kandas, sebab ternyata para perempuan-perempuan itu dijadikan Jugun Ianfu.

Ianjo di jalan Kalidam
Jugun Ianfu sendiri secara harfiah berarti perempuan penghibur. Hiburan yang diberikan para perempuan itu bukanlah seperti iming-iming Jepang yang akan menjadikan para perempuan sebagai pemain sandiwara atau seniman, melainkan di jadikan budak seks bagi serdadu-serdadu Jepang. Demi memperoleh pasokan perempuan-perempuan yang bakal dijadikan Jugun Ianfu, para petinggi militer Jepang memerintahkan para tentara Jepang, camat, lurah, bupati dan tokoh-tokoh penting setempat untuk mendata dan mengumpulkan perempuan-perempuan muda untuk kemudian dikirim ke Ianjo-Ianjo yang sudah tersebar di beberapa wilayah tanah jajahan. Di Cimahi, Ianjo-ianjo itu berada di jalan Simpang dan jalan Kalidam. Ada beberapa perempuan yang diserahkan begitu saja oleh para orangtua mereka akibat bujuk rayu Jepang. Sebagian lagi perempuan penghuni Ianjo diperoleh dengan cara penculikan. Dimana saja tentara Jepang menjumpai perempuan, langsung diangkut paksa dan dijebloskan ke dalam Ianjo. Siksaan, tamparan dan pemukulan-pemukulan keji menjadi pengalaman sehari-hari para perempuan Jugun Ianfu. Perempuan-perempuan itu disiksa secara kejam jika menolak melayani hasrat birahi para serdadu. Bahkan ada yang disiksa sampai mati di dalam Ianjo. 

Alasan-alasan militer Jepang mendirikan Ianjo

Kekalahan demi kekalahan selama Perang Pasifik membuat serdadu-serdadu Jepang menjadi gelap mata dan buas. Kondisi mental yang lelah akibat peperangan menjadi pemicu utama stres yang berkepanjangan. Rasa frustrasi itu kemudian dilampiaskan dengan cara melakukan praktek-praktek kekerasan seksual dan perkosaan yang dilakukan serdadu Jepang terhadap perempuan-perempuan di tanah jajahannya. Terjangkitnya wabah penyakit-penyakit kelamin yang diderita para serdadu Jepang akibat perilaku-perilaku seks yang brutal menjadi salah satu faktor penyebab kekalahan Jepang dalam Perang Pasifik. Kondisi itu membuat mental dan fisik angkatan perang Jepang menjadi rapuh dan lemah. Secara perlahan-lahan, jumlah serdadu menjadi berkurang akibat terjangkitnya penyakit kelamin. Situasi ini membuat para petinggi militer Jepang berpikir keras, hingga akhirnya jatuhlah sebuah keputusan untuk mengantisipasi kekalahan perang dan merosotnya kualitas angkatan perang Jepang dengan cara membangun tempat-tempat prostitusi legal yang dibangun di setiap negara jajahan Jepang. Rumah bordil buatan Jepang itulah yang dinamakan Ianjo yang menyediakan Jugun Ianfu bagi tentara kekaisaran Jepang. 

Ianjo pertama di dunia dibangun di Shanghai, Cina pada tahun 1932. Pembangunan Ianjo di Cina itu kemudian dijadikan model untuk pembangunan Ianjo-Ianjo di seluruh kawasan Asia Pasifik.  Sementara Ianjo pertama kali dibangun di Indonesia sejak dimulainya pendudukan Jepang pada tahun 1942 - 1945 yang tersebar diberbagai wilayah seperti Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Jawa, Nusa Tenggara, Sumatera dan Papua. Dengan didirikannya Ianjo, para petinggi militer Jepang memiliki keyakinan kalau pusat-pusat rekreasi seks itu bisa memulihkan angkatan perang Jepang dan terhindar dari penyakit-penyakit kelamin yang diderita serdadu-serdadunya. Dalam hirarki kepangkatan militer, para petinggi Jepang melakukan semacam seleksi menurut kategori ras dan kebangsaan terhadap perempuan-perempuan yang akan dijadikan budak-budak seks. Perempuan-perempuan berkulit putih, keturunan Cina atau wanita-wanita Belanda, dipaksa melayani militer yang berpangkat tinggi. Sementara perempuan-perempuan lokal berkulit coklat yang berasal dari desa-desa diperuntukan bagi perwira-perwira berpangkat rendah.

Jalan Kalidam
Dalam keadaan lemah karena kekurangan gizi dan makanan, perempuan-perempuan itu diperkosa dan dipaksa melayani 5 - 20 serdadu Jepang dalam sehari. Selayaknya aktifitas bekerja, para Jugun Ianfu itu melayani kebutuhan seks Jepang mulai dari jam 8 pagi hingga jam 12 tengah hari. Setelah diberi waktu istirahat selama 1 jam, para Jugun Ianfu itu kembali melanjutkan pekerjaannya melayani birahi serdadu hingga jam 4 sore. Tidak jarang Ianjo itu buka sampai malam hari. Agar perempuan-perempuan Ianfu itu tetap bersih dan sehat ketika melayani tamu Ianjo, mereka diberi obat-obatan pembersih vagina yang didapat dari dokter-dokter khusus. Lebih tragis lagi, jika ada perempuan Ianfu yang kedapatan hamil, dokter-dokter itu akan melakukan aborsi paksa atau malah ada yang disiksa secara brutal hingga keguguran. Luka pedih para Jugun Ianfu itu semakin bertambah karena mereka tidak pernah menerima uang bayaran atau imbalan berupa makanan. Mereka juga tidak diperbolehkan bertemu dengan sanak keluarga. Para perempuan Ianfu itu tidak punya pilihan selain pasrah menerima penderitaan, bahkan ada yang nekad mati bunuh diri di dalam Ianjo karena tidak kuat menanggung cilaka hidup.  

Ema Kastimah, Jugun Ianfu dari Cimahi 

1942. Pada waktu Jepang menduduki Indonesia, Ema Kastimah berusia 17 tahun. Serdadu-serdadu Jepang masuk ke desa Ema dan menculiknya secara paksa. Orang tua Ema tidak berdaya karena ancaman serdadu Jepang. Ema kemudian dimasukkan ke dalam mobil. Dengan didampingi serdadu Jepang, Ema dimasukan ke dalam salah satu rumah yang dijadikan Ianjo yang berada di jalan Simpang. Disana Ema diperkosa dan dipaksa melayani 10 serdadu dalam sehari. Sering kali Emah jatuh pingsan dan tidak sadarkan diri. Tugas Ema hanya khusus melayani serdadu Jepang yang di mulai dari jam 1 siang hingga jam 5 sore. Setelah itu mandi dan istirahat, lalu mulai lagi dari jam 7 sampai jam 9 malam untuk melayani serdadu Jepang yang berpakaian sipil.

 Kebanyakan yang memakai Ema adalah serdadu berpangkat perwira yang bersikap baik. Namun ada serdadu Jepang yang bersikap kasar, biasanya serdadu berpangkat rendah. Setelah beberapa bulan 'bekerja' di jalan Simpang, Ema kemudian dipindahkan ke Ianjo di Jalan Kalidam. Jarak antara Ianjo di jalan Simpang dengan Ianjo di jalan Kalidam cukup dekat sehingga bisa ditempuh dengan hanya jalan kaki. Setiap serdadu yang datang ke Ianjo yang hendak memakai jasa Ema, terlebih dahulu mereka harus membeli semacam karcis.  Karcis-karcis itu bentuknya sebesar kartu domino berwarna coklat. Seusai melayani serdadu Jepang, Emah biasanya diberi semacam obat cair berwarna merah untuk membasuh kemaluannya. 

Makam Ema Kastimah (foto: Yarman Mourly)
Ema diberi hari libur satu hari dalam seminggu. Kesempatan itu digunakannya untuk menengok orangtuanya. Setelah itu Ema harus kembali lagi ke Ianjo di jalan Kalidam. Setelah dua tahun berselang, orangtua Ema baru mengetahui kalau anaknya ternyata bekerja sebagai pelayan birahi Jepang. Mendengar kenyataan itu orang tua Ema hanya bisa pasrah dan menangis. Seringkali orangtua Emah sakit-sakitan selama anaknya berada di Ianjo. Selama disana, Ema tidak bisa melarikan diri karena Ianjo itu dijaga sangat ketat oleh Kempetai atau Polisi Rahasia Jepang. 

Setelah Jepang kalah pada tahun 1945, asrama Ianjo Jugun Ianfu ditutup. Semua perempuan penghuni Ianjo dipulangkan ke rumah masing-masing. Ketika pulang ke rumah, Ema mendapati orangtuanya sedang terbaring sakit akibat memikirkan nasib anaknya ketika berada ditangan Jepang. Beberapa tahun kemudian Ema menikah, tak lama kemudian suaminya meninggal dunia. Sejak keluarga almarhum suaminya mengetahui masa lalu Ema yang bekas Jugun Ianfu, mereka menjauhi Ema dari lingkaran keluarga. 

***
Matahari sudah semakin tinggi. Sudah hampir setengah hari saya beserta teman-teman Tjimahi Heritage (Kang Machmud Mubarok, Teh Ririn NF, Malia Albinia, Kang Dede Syarif, Pak Suyanto, Ibu Yustina dkk) berkeliling menelusuri jalan Simpang, jalan Kalidam dan jalan Gedong Empat sambil bertukar kisah dan senarai sejarah perih tentang nasib para perempuan mantan Jugun Ianfu. Sesekali pikiran saya diterbangkan ke masa-masa ketika Cimahi diduduki serdadu Jepang. Membayangkan derita luka para perempuan-perempuan lugu yang dipaksa melayani hasrat buas para serdadu, menjadi Jugun Ianfu hingga mengalami sanksi sosial berupa pengucilan masyarakat dengan sebutan yang menghinakan, "bekas Jepang". Setelah berfoto bersama, peserta jelajah Cimahi berpamitan pulang dengan membawa hati dan pikiran yang diharu biru.


 

Friday, June 12, 2015

Buku Jadi Media Perkenalkan Sejarah Kepada Masyarakat

Oleh: Ririn. NF

 Guru mata pelajaran sejarah se-Kota Cimahi mengikuti Sosialisasi Hasil Penelusuran Arsip Bernilai Guna Sejarah Periode Pembentukan Kota Cimahi di Aula Gedung B Kompleks Pemkot Cimahi Jln. Rd. Demang Hardjakusumah Kota Cimahi, Kamis (11/6/2015). Hal itu dilakukan agar mereka dapat mengenalkan sejarah Kota Cimahi kepada peserta didiknya. Dalam sosialisasi tersebut, dihadirkan pemateri yaitu Kepala Museum Sri Baduga Ani Ismarini dan sejarawan yang merupakan guru besar Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjadjaran Prof. Dr. Nina H. Lubis M.S. Turut hadir sejumlah narasumber dalam penyusunan buku yang mayoritas merupakan sesepuh pendiri Kota Cimahi.

Sosialisasi tersebut meliputi buku arsip yang memiliki nilai guna sejarah periode Kota Cimahi Otonom dan uraian naskah Buku Sejarah Cimahi yang direvisi dari buku lama. Pemkot Cimahi sudah menerbitkan 2 buku arsip yang memiliki nilai guna sejarah periode kemerdekaan dan periode kemerdekaan hingga berdiri Cimahi, serta Buku Sejarah Kota Cimahi yang terbit tahun 2004 lalu. Kepala Kantor Arsip, Perpustakaan dan Pengelolaan Data Elektronik Kota Cimahi Harjono mengatakan, kegiatan sosialisasi dilakukan untuk mengenalkan sejarah Kota Cimahi. "Pesertanya guru mata pelajaran sejarah agar mereka mengenal sejarah Kota Cimahi, harapannya bisa dikenalkan kepada para siswa. Teknisnya diserahkan ke teman-teman guru," ujarnya.

Para guru juga diajari cara mengelola arsip terutama yang memiliki nilai guna sejarah. "Bagaimana guru juga bisa mengajarkan siswa untuk pengelolaan arsip yang punya nilai guna sejarah," tuturnya. Dengan perumusan buku-buku tersebut, lanjut Harjono, menjadi upaya untuk mensosialisasikan sejarah Kota Cimahi kepada masyarakat. "Caranya lewat penerbitan buku ini yang bisa menjadi referensi sejarah Kota Cimahi yang bisa dipakai di dunia pendidikan, serta untuk masyarakat agar timbul kecintaan kepada Cimahi," katanya.
Wakil Walikota Cimahi Sudiarto berharap, hasil penelusuran sejarah menjadi monumen tertulis yang mencerahkan dan dapat menjadi rujukan bagi siapapun yang hendak mempelajari sejarah Kota Cimahi secara lebih mendalam. "Kebutuhan masyarakat akan informasi mengenai sejarah kota tempatnya bernaung tentu merupakan sebuah kewajiban yang harus dipenuhi oleh pemerintah daerah". 

Thursday, June 11, 2015

Cimahi Tempo Doeloe Menyimpan Kisah Nyai


Kisah ini merupakan saduran dari sebuah buku karya Reggie Baay yang diantaranya menceritakan profil kisah kehidupan para nyai dan gundik, antara lain kisah dua orang Nyai yang berlatar belakang tempat di Cimahi. Dua orang nyai tersebut bernama Djoemiha dan Entjih. Buku Nyai dan Pergundikan di Hindia Belanda ini adalah semacam karya penelusuran asal-usul dan riwayat leluhur Reggie Baay yang mana ia sendiri adalah keturunan Indonesia yang didalam dirinya mengalir darah nyai asal Surakarta. Hal ini diketahuinya dari sebuah amplop yang berisi dokumen riwayat leluhurnya yang sangat dirahasiakan setelah ayahnya meninggal. Ayah Reggie Baay adalah buah dari hasil hubungan kakeknya, Louis Henry Adriaan Baay dengan Moeinah.
***

Djoemiha yang dijadikan ‘Nyai’ oleh perwira KNIL 

Djoemiha dan keluarga tahun 1917
 Perempuan itu bernama lengkap Djoemiha Noerawidjojo. Ia berasal dari Gombong. Tidak ada catatan keterangan yang pasti tentang kelahirannya namun Djoemiha diperkirakan lahir pada tahun 1891. Djoemiha adalah salah satu dari ketiga anak keluarga Noerawidjojo yang sederhana. Ayahnya bekerja sebagai petani, sementara ibunya sebagai pengrajin anyaman bakul bambu untuk dijual di pasar. Didorong oleh kondisi ekonomi keluarga yang serba kekurangan, pada tahun 1908 Djoemiha meninggalkan kampung halamannya untuk mencari kerja di Bandung. Setiba di kota Bandung, Djoemiha pun akhirnya memperoleh pekerjaan sebagai pelayan di sebuah warung makan kecil di tepi jalan antara Cimahi dan Bandung. Di warung makan itulah Djoemiha bekerja sebagai pembantu dan melayani para pembeli.

Dikisahkan seorang laki-laki bernama Alfred Wilhelm yang dilahirkan di Hamburg, pada 12 Oktober 1886 dari ayah Jerman dan ibu Portugis. Ia pernah mengikuti pendidikan sebagai masinis kapal uap di pelayaran dan mulai bekerja sekitar tahun 1906 di sebuah perusahaan pelayaran Jerman. Pada 1910 Alfred Wilhelm tiba di Tanjung Priok, Batavia. Setiba di Batavia, Alfred memutuskan untuk berhenti bekerja sebagai masinis kapal pelayaran dan mulai mencoba peruntungan dengan bergabung di koloni Belanda. Awalnya ia bekerja sebagai pembantu pemeriksa Staatspoorwagen, semacam dinas jawatan kereta api. Tak lama kemudian ia mengajukan permohonan untuk menjadi warga negara Belanda dan memutuskan untuk bergabung dengan KNIL. Ia pun diterima. Alfred Wilhelm kemudian ditempatkan dalam pasukan Zeni di Cimahi.

Di waktu yang bersamaan, Djoemiha sedang bekerja sebagai pelayan sebuah warung makan. Di tempat itu Djoemiha sering melihat Alfred yang berkunjung sebagai pelanggan tetap di warung makan tersebut. Usut punya usut, kedatangan Alfred ke warung makan itu selain ingin mencari makanan yang lebih baik dari ransum tangsi, ia juga sedang mencari seorang nyai. Alfred pun kemudian merasa tertarik pada Djoemiha dan memintanya untuk menjadi pendampingnya. Djoemiha pun menerimanya. Akhirnya Djoemiha berhenti sebagai pelayan warung makan dan mengikuti Alfred Wilhelm ke tangsi di Cimahi. Sebagai nyai penghuni tangsi KNIL, Djoemiha ikut serta dalam setiap pemindahan dan penempatan pasukan di seluruh Nusantara. Dalam hubungan antara Djoemiha dan Alfred Wilhelm itu menghasilkan sepasang anak laki-laki dan perempuan yang lahir pada tahun 1915 dan 1916. Selama bertahun-tahun hidup di dalam tangsi KNIL, Djoemiha juga mengambil peranan penting dalam menyokong pendapatan keluarga, yaitu bekerja sebagai tukang masak lauk pauk yang dibuat berdasarkan pesanan untuk para serdadu di dalam tangsi.

Ketika perang meletus, Djoemiha terpisah dari Alfred. Ia tinggal di luar barak-barak penampungan dan bekerja keras untuk bisa bertahan hidup. Setelah perang usai, keluarga ini kembali berkumpul dan hidup bersama di Batavia hingga akhirnya Djoemiha meninggal dunia pada 29 Maret 1954. Seolah tidak mampu hidup tanpa Djoemiha, Alfred Wilhelm pun meninggal beberapa hari kemudian, tepatnya pada 4 April 1954.

Gundik setia itu bernama Entjih

Entjih. Foto diambil sekitar tahun 1940
Wanita itu bernama Entjih yang dilahirkan sekitar tahun 1887 di sebuah desa kecil dekat Cimahi. Sang laki-laki Eropa itu bernama Popke yang lahir pada 1881 di desa Wilpgom yang terletak di provinsi Groningen. Untuk pertama kalinya Popke tiba di Hindia Belanda pada tahun 1901 dan langsung mendaftarkan diri sebagai serdadu dalam tentara kolonial yang hanya dijalaninya selama enam tahun. Pada tahun 1907, Popke mengambil cuti panjang yang digunakannya untuk pulang kampung ke negeri Belanda. Pada 1908, ia menandatangani sebuah kontrak selama enam tahun yang mengharuskannya kembali lagi ke Hindia Belanda. Selanjutnya ia tinggal di Hindia Belanda hingga akhir hayatmya. Pada bulan Agustus 1908 ia tinggal di koloni. Selain sebagai anggota militer, Popke juga membuka usaha penjilidan buku yang dilakoninya bersama seorang temannya di Bandung.

Pada suatu hari datanglah seorang wanita bernama Entjih ke tempat Popke untuk mencari pekerjaan. Saat itu Entjih datang ditemani oleh seorang anak hasil dari hubungan pergundikan sebelumnya. Popke akhirnya menerima Entjih bekerja sekaligus menjadikannya seorang gundik. Popke dan Entjih tidak tinggal di dalam tangsi, melainkan di sebuah rumah yang dijadikan tempat penjilidan buku di pinggiran kampung. Dari hubungan pergundikan tersebut mereka pun memperoleh beberapa anak. Setelah kelahiran anak ke empat, Popke kemudian menikahi Entjih. Dari hasil pernikahannya yang sah tersebut Entjih sudah melahirkan 12 orang anak, namun dua diantaranya meninggal ketika masih bayi.

Entjih memiliki sifat penurut, mengalah dan setia kepada Popke suaminya. Begitu juga terhadap anak-anaknya, Entjih selalu bersikap lemah lembut dan telaten. Entjih hanya berbicara dalam bahasa Sunda saja, tidak bisa bicara bahasa Belanda. Dalam menyampaikan ajaran hidup pada anak-anaknya, Entjih selalu menggunakan bahasa Sunda, misalnya ‘ngéléhan wéh’ yang artinya “Tidak buruk kalau kamu mengalah” (di buku ini Reggie Baay menulis ‘éléh waé’ yang jika diterjemahkan akan menjadi rancu, yang artinya ‘kalah saja’ – peny) dan ‘entong (daék) digéléng’ yang berarti “Jangan mau diperlakukan sewenang-wenang (ditindas)”.

Popke meninggal dunia ketika pendudukan Jepang pada tahun 1943 dan dimakamkan di pemakaman khusus militer Belanda di Menteng Pulo. Entjih ditinggalkan bersama tiga anak bungsunya. Sesudah kemerdekaan Indonesia, tiga anak bungsunya itu, bersama anak-anaknya yang lain yang Indo-Belanda itu sudah menjadi dewasa, pergi ke Belanda. Sementara Entjih tidak mau ikut anak-anaknya ke Belanda dan memilih menetap tinggal di Indonesia seorang diri.

Pada 15 Desember 1958, Entjih meninggal dunia pada usia 71 tahun dalam kesendirian di tanah kelahirannya di Cimahi. Tak ada seorang pun anaknya hadir ketika ia dimakamkan di taman pemakaman umum di Cimahi. Berkat bantuan Oorlogsgravenstichting (Lembaga Belanda yang mengurus makam para korban perang), Entjih kemudian  dikuburkan kembali di dalam satu makam  bersama suaminya di pemakaman Menteng Pulo, Jakarta. Di kemudian hari, diketahui anak-anaknya menangis dalam penyesalan mereka, “Kenapa kami tidak bisa mengulangnya kembali, banyak sekali yang ingin kami perbaiki”. Salah seorang putranya kemudian mengatakan sesuatu dalam bahasa ibunya: “Hampura, ukur sakitu waé” yang artinya “Maafkan saya. Hanya itu saja yang bisa saya lakukan”. (terjemahan bahasa Sunda dari penyadur. Reggie Baay menulis: ‘Ampuni saya untuk apa yang tidak saya lakukan’).