Sunday, March 27, 2016

Resensi Film Max Havelaar

Oleh: Mas Wid

Semalam saya nonton film Max Havelaar, sebuah film panjang yang mencekam. Nyaris tanpa diiringi ilustrasi musik, hanya suara-suara serangga di hutan pedesaan. Ketiadaan musik ini justru membuat suasana jadi semakin mencekam. Fons Rademaker sang sutradara berhasil memotret dengan baik suasana suram di pedalaman Lebak Banten pada pertengahan abad ke 19.

Di jaman Orde Baru film ini dilarang diputar, barangkali karena menggambarkan betapa brutalnya perilaku pejabat di negeri ini. Mereka merampok bukan memimpin. Mereka mengambil bukan memberi. Dan mentalitas seperti itu bahkan masih ada hingga hari ini. Bukankah orang jahat dan orang baik bisa berada di mana saja, apapun suku bangsanya.

Film ini diawali dengan adegan klasik ketika si Pantang, kerbau kepunyaan Saija, diserang seekor harimau. Saija bersembunyi di bawah perut si Pantang sementara tanduknya mengoyak perut harimau. Usus harimau terburai dan tewas seketika. Orang-orang bersorak sorai, si Pantang jadi pahlawan. Sayang kegembiraan itu sebentar kemudian pudar, karena anak buahnya Adipati lewat dan dengan semena-mena mengambil si Pantang begitu saja. Senang dan susah bertukar dengan sangat cepat, tetapi bagi rakyat kecil pada umumnya kesusahan menetap lebih lama.

Saya bukan ahli film, tapi sedikit banyak bisa ikut merasakan permainan cantik dari para aktornya beserta dekorasi yang detail menggambarkan suasana pada jaman itu. Ada juga adegan di rumah lama Kebon Kopi, Cibeureum. Bangunan-bangunan yang ditampilkan pada umumnya anggun dan mempesona, seperti rumah dinas Bupati dan Istana Bogor tempat kediaman gubernur jenderal.
Sayang sekali hubungan percintaan antara Saija dan Adinda yang indah dan mengharukan kurang digarap secara detail. Film ini lebih menitikberatkan pada peran Max Havelaar dan pergulatannya melawan kesewenang-wenangan Adipati Lebak yang bekerjasama dengan oknum pejabat Belanda.

Film ini diakhiri dengan adegan di Istana Bogor, setelah Max Havelaar menyatakan berhenti dari jabatannya karena dipaksa pindah menjadi residen di Ngawi. Max Havelaar merasa bahwa dia telah gagal memperbaiki keadaan di Lebak karena persekongkolan jahat Adipati dan pejabat Belanda. Satu-satunya harapan adalah mengadu langsung kepada gubernur jenderal yang konon katanya baik hati. Tetapi gubernur jenderal tidak bersedia menemuinya. Max Havelaar terluka.

Akan tetapi sejarah mencatat, Max Havelaar tidak sepenuhnya gagal. Dua tahun kemudian di sebuah losmen di Swedia, dia menulis buku berjudul Max Havelaar yang menggegerkan Eropa. Buku tersebut sangat berpengaruh dalam mengubah kebijakan Belanda atas negeri jajahannya Hinda Belanda. Hermann Hesse peraih nobel kesusastraan dalam bukunya berjudul: Die Welt Bibliothek (Perpustakaan Dunia) memasukkan Max Havelaar dalam deret buku bacaan yang sangat dikaguminya. Bahkan Max Havelaar sekarang menjadi bacaan wajib di sekolah-sekolah di Belanda.
Barangkali patut dipertimbangkan, warga Tjimahi Heritages bisa nonton bareng film ini.



Rumah Kebon Kopi lokasi syuting Max Havelaar

Warung Cinta: Rumah Makan Bernuansa Jadul

 Foto & Teks: Mas Wid

Lokasinya di Jalan SMP Kota Cimahi. Ini rumah makan baru yang belum ada namanya. Jadi saya sebut saja WARUNG CINTA. Kenapa saya namakan warung Cinta? Karena Ibu Masnauli mengelola warungnya dengan penuh Cinta. Perabot-perabot tua yang eksotis disusun dan ditata dengan hati-hati. Kelihatannya setiap hari dilap dan dibersihkan juga dengan cinta. Yang paling mengesankan adalah cara beliau menerima tamu. Saya baru pertama kali berkunjung kesitu, tapi saya tidak merasa seperti sedang berada di restoran atau kafe, saya merasa seperti sedang berkunjung ke rumah saudara. Ibu Masnauli duduk satu meja menemani saya makan, lalu kami pun terlibat dalam obrolan yang mengasyikkan. Mulai dari cara mendidik anak, kenangan tentang almarhum ibunda, cara mengobati sakit jantung sampai cerita tentang koleksi perabotan kuno yang berjejer rapi di ruangan itu.

Beliau adalah contoh orang yang sudah selesai dengan dirinya. Anak-anak sudah dewasa dan bekerja, di rumah sebesar itu Ibu Masnauli hanya tinggal berdua dengan suaminya. Saya melihat rumah makan ini tidak dibuat dengan semangat menyala-nyala untuk cari duit melainkan lebih untuk menyalurkan rasa seni kuliner dan kecintaan pada kehidupan. Bukankah bisnis tiada lain adalah upaya untuk berbagi kebahagiaan pada sesama ? Apabila niat kita dalam berbisnis adalah untuk membahagiakan sesama, maka percayalah segala sesuatu akan menjadi indah pada waktunya.

Berkunjung ke Warung Cinta membuat saya semakin yakin, bahwa membuka restoran bukan sekedar urusan makan dan minum, melainkan sebuah upaya berkesenian untuk menghadirkan suasana dan rasa yang berbeda, yang dalam kehidupan sehari-hari kadang-kadang hilang dari genggaman kita. Makanannya? Terus terang enak dan murah. Pas di lidah pas juga di dompet. Sayang sekali perut dan lidah seringkali tidak kompak. Lidah masih ingin bergoyang tapi perut sudah tidak sanggup menampung sehingga saya terpaksa menunda beberapa pilihan menu untuk kunjungan berikutnya.

Pilihan menu yang ada semuanya khas Indonesia, tidak ada nama-nama asing seperti sausage, bratswust atau burger. Yang ada cuma tempe mendoan, tahu isi, ayam penyet dan makanan-makanan lokal lainnya. Sekalipun Ibu Masnauli pernah tinggal di luar negeri cukup lama, tetapi fanatisme dan kecintaan terhadap kuliner Nusantara ternyata tidak menjadi pudar.

Di sore yang redup dan gerimis, saya dan istri duduk di teras menikmati hidangan sambil membayangkan barangkali beginilah rasanya menjadi orang pensiunan. Santai dan rileks seolah-olah tidak ada lagi yang perlu dikejar dalam kehidupan ini. Dari piano di sudut ruangan mengalun lagu klasik seolah-olah membawa kita pada suatu masa lalu yang jauh. Saya tidak berani berjanji tapi suatu saat kelak saya pasti akan berkunjung lagi kesini.


Sisa sejarah yang hilang dan kenangan yang tercecer

Teks & foto: Iwan Hermawan

Dulu di Stasiun Cimahi dekat pintu perlintasan kereta api sebelah timur terdapat pipa unik yang berfungsi untuk pengisian air dari watertoren dibelakang locomotif uap.
Sewaktu masih SMP, saya sering main ke lintasan ini dengan bermodal kamera pinjaman yang masih memakai film rol hitam putih. Saya asyik jeprat-jepret disekitaran tempat ini.
Sekarang pipa unik ini sudah tidak ada.


Tempat pengisian air kereta uap

"Toot...tooot...teet...toot...toot...teeet...."
Jika anda tinggal di kota Cimahi pasti terbiasa oleh bunyi terompet yang berasal dari barak tentara. Bunyi terompet itu biasa melengking sekitar jam 6 pagi dan jam 10 malam.
Jika sedang senyap, bunyi terompetnya terdengar sangat jauh hingga ke utara sampai Alun-alun, hingga ke selatan sampai Cibeber.
 

Bunyi terompet ini sangat khas. Bunyi jam 6 sebagai tanda untuk bersiap apel pagi dan jam 10 untuk waktunya istirahat. Dahulu, jika sudah ditiupkan terompet ini, pasukan KNIL bersiap-siap lari menuju lapangan lengkap dengan klewang dan peralatan tempurnya, meninggalkan istri dan anak-anaknya di tangsi-tangsi. Jika malam tiba, bunyi terompet begitu lemah mendayu. Saatnya para serdadu KNIL untuk istirahat, dan tangsi pun gelap gulita.

Terompet KNIL

Sebuah bangunan yang berada di depan pintu masuk Pusdikarmed ini sekitar tahun 1942-1945 pernah digunakan sebagai kantor komandan Kamp Baros 6 Jongens Kamp yang di pimpin oleh Kapten Kunimoto. Sekitar tahun 1989 bangunan ini diratakan untuk pembangunan jalan tol Baros. Yang tersisa dari komplek kantor ini sekarang masih digunakan oleh TNI.


R.H Abdul Halim, Lurah Cigugur Tengah

Foto & Teks: Machmud Mubarok

Namanya diabadikan menjadi nama jalan. Sebuah jalan yang semula lebih dikenal sebagai Jalan Cibabat (kini Jalan Amir Mahmud) memanjang hingga tembus ke Pusdikjas. RH Abdul Halim. Apakah beliau orang yang sama yang memimpin kompi pejuang, Kompi Abdul Halim saat perang kemerdekaan di Cimahi dan sekitarnya? Adakah keturunannya atau warga Cimahi yang mengetahui sejarah beliau?

Dari penelusuran sumber sejarah, diketahui bahwa RH Abdul Halim adalah kepala desa atau lurah pertama di Cigugur Tengah. Beliau memerintah desa pada tahun 1882-1892. Ini berarti kemungkinan besar, RH Abdul Halim ini bukan orang yang sama atau berbeda dengan Kompi Abdul Halim di masa perang kemerdekaan di Cimahi, Cisarua, dan sekitarnya.

Berikut nama-nama Lurah Cigugur Tengah: Tahun 1882 – 1892 dipimpin oleh RH. Abdul Halim
Tahun 1899 – 1913 dipimpin oleh RH. Abdoelah
Tahun 1914 – 1920 dipimpin oleh Wiradikarta
Tahun 1921 – 1931 dipimpin oleh Sura Manggala
Tahun 1932 – 1939 dipimpin oleh S.O. Sudirawinata
Tahun 1940 – 1941 dipimpin oleh R. M. H. Jambi
Tahun 1942 – 1945 dipimpin oleh S.O. Sudirawinata
Tahun 1946 – 1948 dipimpin oleh Keta
Tahun 1949 – 1952 dipimpin oleh N. Sasmitadihardja
Tahun 1953 – 1957 dipimpin oleh E. Surnan
Tahun 1958 – 1959 dipimpin oleh S.O. Sudirawinata
Tahun 1960 – 1961 dipimpin oleh Ade Sasmita
Tahun 1962 – 1965 dipimpin oleh A. Djudju
Tahun 1966 – 1967 dipimpin oleh Alim
Tahun 1968 – 1980 dipimpin oleh Abu Supardja
Tahun 1981 – 1995 dipimpin oleh Sobari
Tahun 1995 – 2004 dipimpin oleh Drs. Toto Solehudin
Tahun 2004 – 2006 dipimpin oleh Ir. H. Achyar, MM
Tahun 2006 – dipimpin oleh Drs. Achmad Nuryana
Sekarang dipimpin oleh Heri Rusnandar


Makam R.H Abdul Halim, Lurah Cigugur Tengah
Makam Rd A Ihop bin RH Abdul Halim, putra RH Abdul Halim.