Friday, February 6, 2015

Alun-alun Cimahi



 Sebagaimana layaknya kota-kota tradisional Jawa, alun-alun merupakan denyut jantung kehidupan manusia penghuni kota dan kota itu sendiri. Sebagai ciri kekuasaan pemerintahan feodal, alun-alun biasanya berada di tengah-tengah pusat kota pedalaman. Dalam susunan masyarakat atau pemerintahan feodal, alun-alun secara fisik dapat berupa lapangan luas yang berada tepat di muka suatu pendopo, Balai Agung atau istana raja. Dan yang menempati tempat-tempat tersebut adalah mereka yang menguasai suatu sistem pemerintahan feodal seperti  raja, bupati atau wedana. 

Ciri-ciri fisik lainnya sebagai penanda sebuah alun-alun tempo doeloe adalah dengan adanya pohon-pohon beringin yang berada tepat di mulut jalan, di pojok-pojok lapangan atau samping bangunan-bangunan pemerintahan. Selain bertujuan untuk menambah wibawa sebuah pendopo atau bangunan pemerintah feodal, juga secara estetika alun-alun akan terlihat lebih anggun dan menyimpan aura. Alun-alun di Tatar Priangan yang memang dikondisikan sebagai titik pusat pemerintahan feodal yang mengatur administrasi tentu berbeda sifat dan fungsinya dengan alun-alun Bandar  Pelabuhan yang bertujuan sebagai pusat perdagangan.  Maka alun-alun di Priangan berfungsi sebagai sebuah ruang publik tempat berinteraksinya segala lapisan masyarakat.

Bagaimana dengan Alun-alun Cimahi? Berbeda dari kebiasaan lokasi pendopo atau istana raja di Jawa yang menghadap utara sebagai simbol penghormatan kepada gunung-gunung tempat bertahtanya para dewa, kantor administrasi Cimahi justru menghadap ke arah selatan. Dengan kata lain, posisinya membelakangi Gunung Burangrang dan Gunung Tangkuban Perahu. Jika dikatakan alun-alun sebagai penanda sebuah kekuasaan administrasi, paling tidak Alun-alun Cimahi memang mendekati definisi alun-alun seperti yang dikatakan Prof. Van Romondt sebagai ciri suatu pemerintahan kota. 

Jika dilihat dari estetika tata letak sebuah perkantoran pemerintahan, lokasi perkantoran dan alun-alun Cimahi sungguh tak beraturan. Sebelum kantor pusat pemerintahan Cimahi berpindah, semula kantor itu berada tepat di titik pusat keramaian menghadap arah jalan raya Cimahi. Di depan kantor terdapat sebuah lapangan atau taman kota yang berada persis di halaman depan Masjid Agung Cimahi. Tepat di belakang ada terdapat bangunan Sekolah Dasar (SD XIII Cimahi) yang dinaungi sebuah pohon karet besar tepat di halaman sekolah. Di samping kiri perkantoran ada sebuah mall Ramayana Department Store. Pada tahun 90an, bangunan yang sekarang menjadi mall Ramayana itu adalah sebuah bioskop Cimek atau Cimahi Mekar yang menghadap selatan. Tidak jauh dari bioskop Cimahi Mekar atau mall Ramayana, masih terdapat sebuah bangunan bioskop Rio yang kini sudah berubah fungsi menjadi pusat perdagangan elektronik.Tepat di sisi jalan raya Cimahi tedapat sebuah toko buku Pustaka Nasution. Jika dilihat bentuk arsitekturnya, toko ini sangat menarik dan unik. Tapi karena posisinya yang tidak strategis dan membelakangi kantor pemerintahan sebagai simbol kekuasaan, maka keberadaan toko Pustaka Nasution ini terkesan sangat mengganggu kepantasan.
Kesemrawutan tata ruang alun-alun Cimahi semakin dipersempit dengan tumpahnya para pedagang kaki lima yang hampir memenuhi sepanjang alun-alun. Belum lagi parkir-parkir kendaraan yang semakin mempersempit ruang gerak, bahkan untuk sekedar berjalan-jalan santai di seputaran kota Cimahi sepertinya terpaksa harus berjalan-jalan dengan tergesa-gesa. Wajah alun-alun Cimahi yang tampak kumuh dan kusam. Hal ini tentunya karena akibat keterbatasan lahan dan kecakapan perancang tata kota Cimahi dalam merancang master plan kota agar alun-alun Cimahi menjadi sebuah ruang publik yang nyaman. 

Wednesday, February 4, 2015

Jalan Raya Cimahi, Jalan Raya Pos



Sebuah kota adalah hasil kebudayaan dan kerja manusia. Jauh sebelum kota Cimahi mewujud seperti yang kita lihat hari ini, kota ini memiliki rentang kisah dan senarai sejarah panjang. Secara harfiah arti kata Cimahi adalah 'Air yang cukup'. Barangkali tak ada yang tahu atau belum pernah menemukan dokumen bahwa sebelum bersalin nama menjadi Cimahi awalnya bernama Cilokotot, yang berarti 'Air Rawa'. Tak ada catatan yang pasti kapan dan kenapa nama Cilokotot diganti menjadi Cimahi.  

Dalam catatan sejarah Priangan, khususnya kota Bandung Tempo Doeloe tidak terlepas dari peran sejarah Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels pada tahun 1810 ketika mendapat perintah dari Napoleon Bonaparte yang memerintahkan untuk membangun jalan yang membentang 1000 km dari Anyer hingga Panarukan.  Secara politik, pembangunan Jalan Raya Pos ini dimaksudkan agar pusat pemerintahan Tatar Ukur yang saat itu ditampuk oleh Bupati Wiranatakusumah II yang semula berlokasi di Krapyak (sekarang benama Dayeuh Kolot), dipindahkan ke arah utara persis di lintasan Jalan Raya Pos. Sementara demi kepentingan ekonomi VOC, pembangunan Jalan Raya Pos ini bisa mempermudah akses transportasi yang mengangkut hasil perkebunan Priangan untuk dibawa ke Batavia dengan melewati jalan raya Cimahi, Padalarang, Rajamandala dan Cianjur.

Jalan Raya Cimahi atau yang sekarang bernama Jalan Amir Machmud adalah ruas jalan yang dilalui proyek pembangunan Jalan Raya Pos Anyer - Panarukan. Kita bisa membayangkan bagaimana manusia-manusia Priangan pada masa itu bekerja menyisir gunung, membabat hutan dan membangun jalur wilayah pegunungan di tatar Priangan untuk memenuhi keinginan Gubernur Jendral Daendels yang hendak menyambungkan jalur pegunungan antara Cianjur dan Sumedang. Kita juga tidak bisa menaksir berapa jumlah korban yang jatuh akibat kerja paksa itu.

Berdasarkan bentang alam dan permukaan bumi cekungan Bandung purba sebagai hasil dari perubahan evolusi alam yang terjadi selama jutaan tahun, secara geomorfologis besar kemungkinan proyek Jalan Raya Pos ini yang dirintis Daendels ini sebenarnya hanya memperlebar jalan yang semula memang sudah ada, karena jauh sejak kerajaan-kerajaan awal di Tatar Sunda berkembang jalur itu diperkirakan sudah ada. Gubernur Jendral Daendels hanya melanjutkan dengan memperkeras jalan saja. 

Rombongan kerajaan yang menyusuri Jalan Raya Pos

Di dalam Carita Parahyangan Sakeng Bhumi Jawa Kulwan Pratama Sargah terjemahan Atja dan Ekadjati, sekitar abad ke-5 terjadi sebuah peristiwa penyerahan wilayah Kendan yang terdapat di Nagreg, sebuah wilayah di sebelah tenggara kota Bandung. Saat itu, Raja Tarumanegara yang bernama Sri Maharaja Suryawarman memberikan wilayah Kendan kepada Resi Guru Manikmaya untuk diangkat menjadi Ratu di Kendan sebagai bagian dari kerajaan Tarumanegara. Lengkap bersama para hamba sahaya dan pasukan bersenjata lengkap, juga ratusan masyarakat.

Pada saat perpindahan besar itu, dapat dibayangkan suatu rombongan iring-iringan kerajaan Resi Guru Manikmaya beserta keluarga, masyarakat dan pasukan bersenjata lengkap itu berjalan kaki dan menaiki kendaraan yang ditarik kuda, berjalan beriringan menembus hutan-hutan belantara dan melewati punggungan-punggungan pegunungan alam antara ibukota Kerajaan Tarumanegara yang bertempat di pantai utara Jawa Barat menuju daerah yang kini bernama Bandung. Dalam asumsi sejarawan, iring-iringan itu pastilah melewati dataran-dataran rendah dan tanah-tanah yang landai.

Pemilihan jalan terbaik yang dipilih iring-iringan menuju dataran Bandung yang berada di tengah-tengah pegunungan Priangan itu adalah menuju lembah  yang berada di antara dua gunung berapi. Iring-iringan itu diperkirakan berjalan ke arah selatan melewati Bogor, kemudian ke Sukabumi di lembah kaki Gunung Salak dan Gunung Gede Pangrango, kemudian menyusuri jalan yang saat ini sudah ada dan pada zaman itu sudah ramai.
Kemudian iring-iringan itu membelok ke arah timur menuju Cianjur di kaki selatan gunung Gede Pangrango. Dari Cianjur menuju arah Bandung, satu-satunya rintangan yang cukup berat adalah ketika rombongan harus menembus perbukitan kapur Citatah, selain jalur yang melewati dua arus sungai Cisokan dan Citarum (Boleh jadi nama sungai Citarum diambil dari nama Tarumanegara). Ada kemungkinan, setelah melewati Padalarang, rombongan mengambil jalan lurus langsung menuju arah timur menyusuri perbukitan Bandung utara melewati jalur landai menuju Cileunyi melalui Cimahi dan kota Bandung sekarang. Dari Cileunyi rombongan Manikmaya kemudian berbelok ke selatan menuju Nagreg, menyusuri Gunung Geulis dan Gunung Canggak.

Pada 13 abad kemudian jalur yang sama itu kemudian dipakai dan dirintis kembali oleh Gubernur Jendral Herman Willem Daendels beserta pasukan kolonialnya untuk mengerahkan tenaga rakyat Priangan membangun Jalan Raya Pos demi kemudahan penyaluran distribusi hasil komoditas perkebunan Priangan dan hasil bumi Jawa demi kepentingan ekonomi Belanda. Daendels mengambil jalur bebas hambatan antara Padalarang, Cimahi, Bandung, Cileunyi dan langsung menuju poros Sumedang hingga terus ke arah timur Jawa Barat.

*****

Sumber:
- Budi Brahmatyo & T. Bachtiar: Wisata Bumi Cekungan Bandung. Truedee Book, 2009.
- Haryoto Kunto: Wajah Bandoeng Tempo Doeloe. Granesia, 1984.