Friday, July 29, 2016

Ereveld Leuwigajah Menyimpan Petaka Perang


Berlatarbelakang bukit Pasir Gajahlangu dan Pasir Menteng, ada sebuah lahan yang berada di jalan Kerkhof, Leuwigajah, Cimahi Selatan. Meskipun berada dipinggir jalan Cibeber dengan lalulintas yang cukup ramai, lahan itu cukup tersembunyi terhalangi areal pemakaman umum Kristen dan makam Tionghoa. Di jalan Kerkhof itu ternyata masih terdapat sebuah pemakaman yang jauh dari kesan angker dan menyeramkan. Pada masa pendudukan Jepang, wilayah ini merupakan tanah kosong yang digunakan sebagai tempat mengubur tawanan yang meninggal akibat penyakit atau dibunuh Jepang. Pada kelanjutannya dilahan inilah kemudian tumbuh menjadi pemakaman seperti sekarang. Sesuai dengan namanya saja, Kerkhof dalam bahasa Belanda yang berarti ‘Kuburan’.


Areal makam itu batasi oleh pintu gerbang dengan tulisan EREVELD LEUWIGAJAH berwarna emas terpatri dengan kokoh. Gerbang itu selalu terkunci dan tidak membolehkan siapapun masuk ke dalam, kecuali pihak keluarga atau ada izin kunjungan khusus. Bersama komunitas Tjimahi Heritage (Minggu, 15/05/2016), saya berkesempatan mengunjungi lokasi langka ini. Sebelumnya Tjimahi Heritage memang sudah mengantongi izin khusus untuk mengunjungi Ereveld Leuwigajah. Disadari bahwa jelajah kali ini merupakan kunjungan langka, tak heran jika peserta jelajah Ereveld ini cukup banyak. Kedatangan kami pun disambut langsung oleh Bpk. Franky Tuhumury, sebagai kepala pengelola Ereveld Leuwigajah dengan sepenuh hangat dan ramah. Dari beliau inilah saya menimba pengetahuan dan informasi tentang Ereveld Leuwigajah.

Wednesday, July 27, 2016

Masyarakat dan Revitalisasi Heritage

Oleh: Eddi Koben*
 
Indonesia adalah negara dengan segudang peninggalan bersejarah. Ikon-ikon sejarah yang berupa benda, bangunan, tempat, atau arsip dll. banyak bertebaran di negeri ini. Hal ini tak lepas dari latar belakang berdirinya republik ini dari yang tadinya terpecah-pecah dalam berbagai kerajaan hingga menjadi negara kesatuan yang berdaulat. Kedatangan kaum imperialis seperti Portugis, Belanda, atau Jepang turut memerkaya perjalanan sejarah di Indonesia. Di Jawa Barat banyak bertebaran bangunan peninggalan bersejarah (heritage) yang kaya dengan berbagai petunjuk sejarah. Kota Bandung, Kabupaten Bandung, Kabupaten Bandung Barat, dan Kota Cimahi adalah beberapa wilayah tempat berdirinya bangunan-bangunan bersejarah, baik peninggalan pemerintah kolonial Belanda maupun jejak peninggalan masyarakat Tionghoa di masa lalu.

Masyarakat dan Revitalisasi Heritage

Oleh: Eddi Koben*
 
Indonesia adalah negara dengan segudang peninggalan bersejarah. Ikon-ikon sejarah yang berupa benda, bangunan, tempat, atau arsip dll. banyak bertebaran di negeri ini. Hal ini tak lepas dari latar belakang berdirinya republik ini dari yang tadinya terpecah-pecah dalam berbagai kerajaan hingga menjadi negara kesatuan yang berdaulat. Kedatangan kaum imperialis seperti Portugis, Belanda, atau Jepang turut memerkaya perjalanan sejarah di Indonesia. Di Jawa Barat banyak bertebaran bangunan peninggalan bersejarah (heritage) yang kaya dengan berbagai petunjuk sejarah. Kota Bandung, Kabupaten Bandung, Kabupaten Bandung Barat, dan Kota Cimahi adalah beberapa wilayah tempat berdirinya bangunan-bangunan bersejarah, baik peninggalan pemerintah kolonial Belanda maupun jejak peninggalan masyarakat Tionghoa di masa lalu.

Di Kota Cimahi dan Kota Bandung misalnya, tersebar bangunan-bangunan bersejarah peninggalan Belanda yang sebagian terselamatkan oleh pemerintah karena dijadikan kantor-kantor pemerintahan atau pusat militer dan sebagian lagi terbengkalai, beralih fungsi, bahkan lenyap tinggal menyisakan puing. Persoalannya, sejauh mana masyarakat mengenal akan bangunan-bangunan peninggalan bersejarah itu? Mungkin selama ini publik hanya mengenal Gedung Sate dan kawasan jalan Braga sebagai ikon Kota Bandung. Itu pun hanya terbatas mengenal fisik bangunannya saja. Perihal detil bangunan seperti siapa arsitek yang merancangnya, siapa yang menjadi pemborongnya (kontraktor), siapa pekerja/buruh bangunannya, siapa yang meresmikan bangunan itu, banyak masyarakat yang tidak mengetahuinya. Belum lagi peristiwa-peristiwa bersejarah yang erat kaitannya dengan keberadaan gedung-gedung bersejarah tersebut. Apakah masyarakat juga mengenal bangunan-bangunan peninggalan lainnya yang menyimpan banyak catatan sejarah tetapi luput dari publikasi? Barangkali masyarakat banyak yang tidak mengetahui dan mengenal bangunan rumah peninggalan keluarga Ursone dan Hotel Montagne di Lembang, atau Hotel Berglust di Cimahi, juga sejumlah bangunan bersejarah lainnya yang banyak bertebaran tak hanya di Kota Bandung atau Cimahi.

Kabupaten/Kota lainnya pun pasti memiliki bangunan-bangunan bernilai sejarah yang jika ditelusuri, banyak menyimpan manfaat bagi ilmu pengetahuan. Informasi yang minim mengenai keberadaan bangunan-bangunan bersejarah turut memberi andil ketidaktahuan masyarakat. Buku-buku yang mengulas jejak keberadaan bangunan bersejarah pun masih sangat minim untuk mengatakan tak ada sama sekali. Setakat ini, baru Sudarsono Katam atau Haryoto Kunto yang konsen mengulas keberadaan bangunan-bangunan bersejarah melalui buku-buku hasil karyanya. Tak heran jika masyarakat tak begitu akrab akan keberadaan bangunan-bangunan peninggalan bersejarah. Masyarakat akan jauh lebih buta akan sejarah jika tak ada upaya yang dilakukan oleh berbagai pihak dalam mengenalkan sejarah.

Komunitas Sejarah 

Di tengah isu minimnya pengetahuan masyarakat akan bangunan heritage, dewasa ini banyak bermunculan komunitas-komunitas pencinta sejarah. Komunitas-komunitas itu mulai giat mengkampanyekan penyelamatan bangunan-bangunan heritage. Selain itu, kegiatan berupa edukasi terhadap sesama anggota terkait kesejarahan kerap dilakukan. Sebut saja misalnya komunitas Lembang Heritage, Tjimahi Heritage serta Gamboeng Vooruit & Co yang konsen terhadap kegiatan-kegiatan jelajah bangunan-bangunan heritage di sekitar Bandung, Cimahi, Kabupaten Bandung, dan Kabupaten Bandung Barat. Komunitas-komunitas pecinta sejarah tersebut seringkali mengadakan jelajah (trail) mengunjungi gedung-gedung yang dianggap bernialai sejarah. Dengan berbekal informasi dari buku atau sumber lainnya, mereka menjelajahi tempat-tempat yang banyak ditemui gedung-gedung tua peninggalan masa lalu.

Dalam kegiatannya, mereka saling bertukar informasi dengan sesama anggota. Hasil jelajah tersebut biasanya mereka tulis laporannya di blog masing-masing atau dibagi melalui akun media sosial. Tujuannya adalah agar masyarakat luas dapat mengetahui tempat-tempat yang banyak mengandung peninggalan bersejarah. Ketiga komunitas tersebut selalu secara bersama-sama mengadakan jelajah. Misalnya, Tjimahi Heritage mengadakan jelajah ke sejumlah tempat bersejarah di kawasan Cimahi seperti Gedung The Historic, Stasiun Kereta Api Cimahi, atau Hotel Berglust. Pesertanya tak hanya anggota Tjimahi Heritage, tetapi juga anggota Lembang Heritage dan Gamboeng Vooruit & Co. Begitu pun ketika Lembang Heritage mengadakan jelajah ke makam Junghuhn dan Klinik Malaria di Lembang, anggota Tjimahi Heritage dan Gamboeng Vooruit & Co ikut serta. Selain itu, komunitas lain yang tak ada kaitannya dengan sejarah juga masyarakat umum seringkali ikut serta.

Keberadaan komunitas-komunitas sejarah tersebut sedikit banyak memberikan peran kepada masyarakat dalam upaya memperkenalkan masyarakat pada gedung-gedung peninggalan sejarah. Selain itu, semangat untuk terus memelihara dan melestarikan keberadaan gedung-gedung itu terus tertanam. Namun, seringkali mereka mendapati kekecewaan manakala meliihat bangunan bersejarah yang kondisinya sudah rusak atau tidak terawat. Terlebih lagi ketika melihat gedung bersejarah yang sudah beralih fungsi menjadi pusat niaga.

Revitalisasi Heritage 

Banyaknya gedung-gedung tua peninggalan masa kolonial yang kondisinya tidak terawat atau beralih fungsi mengundang keprihatinan di kalangan anggota komunitas. Mereka berharap ada sebuah upaya atau gerakan dari pihak-pihak terkait untuk menyelamatkan aset sejarah tersebut.

Dalam hal ini perlu adanya sinergi antara pihak pemilik gedung dengan pemerintah daerah setempat untuk mencari solusi penyelamatan gedung-gedung bersejarah itu. Pemerintah daerah perlu membuat semacam aturan berupa perda terkait upaya merevitalisasi bangunan-bangunan yang masuk katagori heritage. Jangan sampai pemilik terakhir sebuah bangunan bersejarah menelantarkan keberadaan bangunan tersebut atau mengubah bentuk dan mengalihfungsikannya untuk kegiatan ekonomi. Kita tengok misalnya gedung bioskop Rio di kawasan alun-alun Cimahi yang kini telah beralih fungsi menjadi pusat perniagaan.

Karena tak ada payung hukum yang tegas terkait pengaturan keberadaan bangunan, maka pemilik bioskop tersebut dengan bebas mengalihfungsikannya menjadi pusat niaga. Kasus semacam ini banyak menimpa gedung-gedung heritage lainnya di wilayah-wilayah lain. Ini tentu saja sangat disayangkan. Jika suatu bangunan heritage tampak terbengkalai karena tidak terawat, sebaiknya pemerintah daerah mengambil alih gedung tersebut untuk dipulihkan kondisinya. Ini penting agar aset-aset bersejarah tersebut dapat dinikmati oleh generasi-generasi selanjutnya secara berkelanjutan. Jangan sampai generasi selanjutnya buta akan sejarah perjalanan negerinya. Ingat perkataan Bung Karno, “Jangan sekali-kali melupakan sejarah!” karena suatu bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai sejarah negerinya sendiri. Selamatkan bangunan bersejarah!

***

 Cimahi, 15 Juni 2016 

*Eddi Koben, pengelola warung nasi dan anggota komunitas Tjimahi Heritage.

"Nyukcruk Galur Sajarah Kaum" bersama Tjimahi Heritage


Terima kasih akang teteh bapak ibu kakak adek yang sudah mengikuti jelajah Tjimahi Heritage "Nyucruk Galur Sajarah Kaum". Pertemuan yang luar biasa, menambah saudara, mempererat tali silatirahim. Ternyata Kaum menyimpan kisah-kisah sejarah yang menarik, unik, merentang waktu lebih dari 2 abad. Kisah-kisah yang tidak semua orang Cimahi mengetahuinya. Sejarah yang tidak tercatat, bahkan dalam buku Sejarah Kota Cimahi sekalipun.

Dari perjalanan kali ini kita jadi mengetahui perjuangan Rd. H. Abu Nasir sebagai pemberi wakaf tanah untuk pendirian Masjid Agung pada tahun 1817. Berarti hampir dua abad Masjid Agung itu didirikan. Tak heran kalau gang Kaum menjadi salah satu permukiman tua di Cimahi. Beberapa bangunan masih asli. Di sini pula tinggal sejumlah orang Belanda, Indo Belanda, dan Jerman, berbaur dengan orang-orang pribumi. Sungguh beruntung, rombongan Tjimahi Heritage bisa bertemu dengan keluarga keturunan-keturunan Belanda dan Jerman: Pak Luwih (saya lupa nanya tulisan namanya), keturunan pwngurus Ereveld Pandu dan Leuwigajah, lalu juga keluarga Herman Hendrick Vogt, administratur perkebunan di Subang yang memilih tinggal di Cimahi hingg akhir hayat. Juga kisah keluarga Willem yang konon menyimpan harta karun dibagian dalam rumahnya saat meninggalkan Indonesia di zaman nasionalisasi. 

Begitu pula kita dibuat takjub dengan cerita kuncen makam Mbah Panjang, Pak Asep, yang mengatakan bahwa inilah makam Sembah Dalem Dipati Ukur. Lalu rumah di ujung gang Kaum yang pada saat Zaman Bersiap menjadi tempat penyiksaan terhadap orang-orang Belanda oleh orang-orang pribumi Cimahi (padahal biasanya orang pribumi yang disiksa). Inilah rute terpendek jelajah Tjimahi Heritage, tapi pengetahuan sejarah yang didapat sangat banyak dan mendalam. Ucapan terima kasih dan apresiasi setinggi-tinggginya saya sampaikan kepada Bu Cintasari Herly yang telah bersedia memandu dan menyampaikan kisah-kisah seputar Kaum, Teh Wiwi Wiana yang sudah direpotkan untuk persiapan acara di Kaum, Pak Yayan Supriatna Ketua RW 06, sesepuh gang Kaum Pak Puspo, Pak Luwih, keluarga keturunan Hendrick Vogt, dan tentu saja untuk Pak Ustaz Mas'udi Adnan yang sudah mendoakan untuk keberkahan kita semua. Hatur nuhun kasadayana. [Machmud Mubarok]






Monday, July 25, 2016

Di balik sejarah Kaum Cimahi ada kisah peramal Jerman

“Kaum Cimahi dulunya permukiman lama atau tua dan tempat tinggal sejumlah orang Belanda, Indo Belanda, Jerman, Indo Jerman," kata Machmud.

Merdeka.com, Bandung - Hampir di setiap daerah di Jawa Barat terdapat tempat-tempat bernama kaum atau dalem kaum. Tempat ini biasa berlokasi di pusat kota, satu komplek dengan Masjid Agung, alun-alun dan pusat pemerintahan atau pendopo. Begitu juga dengan Kota Cimahi yang memiliki Kaum Cimahi. Sebagaimana sejarah kota, Kaum Cimahi memiliki kekhasan tersendiri yang berbeda dengan kaum-kaum lain.

Hasil penelusuran Komunitas Tjimahi Heritage, Kaum Cimahi termasuk salah satu tempat paling tua di Kota Cimahi. Posisinya kurang dari satu kilometer dari Masjid Agung Cimahi.

“Kaum Cimahi dulunya permukiman lama atau tua dan tempat tinggal sejumlah orang Belanda, Indo Belanda, Jerman, Indo Jerman yang berbaur dengan pribumi. Sejak lama mereka hidup rukun berdampingan,” kata Ketua Komunitas Tjimahi Heritage, Machmud Mubaraq, kepada Merdeka Bandung, Senin (25/7).

Machmud mengungkapkan, hingga kini masih terdapat keturunan dan peninggalan orang Belanda dan Jerman di Kaum Cimahi. Keturunan mereka sebagian masih menempati rumah-rumah di sekitar kaum. Salah satunya adalah keluarga Herman Hendrick yang kemudian memilih menjadi Warga Negara Indonesia (WNI). Meski sudah menjadi WNI, keluarga Herman Hendrick masih menjalin komunikasi dengan leluhurnya di Jerman.

“Begitu juga dengan keluarga orang-orang Belanda masih menjalin komunikasi dengan Belanda. Komunikasinya memakai Bahasa Sunda sangat halus, karena dari dulu mereka lahir dan tinggal di Cimahi sebelum beberapa dari mereka ada yang pulang ke Belanda,” tuturnya. Mengenai keturunan Herman Hendrick, Machmud mengatakan mereka sangat terbuka. Dalam acara Jelajah yang menjadi program rutin Tjimahi, keluarga Herman Hendrick terbuka menerima kunjungan peserta.
“Mereka mau memperlihatkan rumah yang suasananya klasik banget, dengan tekel dan lampu hias yang masih aktif,” katanya.

Herman Hendrick hidup di masa 1944-1980. Dia bekerja sebagai pegawai administrasi perkebunan di Subang. Herman Hendrick adalah Indo-Jerman, ibunya berasal dari Solo. Setelah pensiun, mereka menetap di Cimahi. “Di masa lalu yang tinggal kawasan kaum bukan tentara, tetapi sipil,” katanya. Uniknya, sambung Machmud, Herman Hendrick memiliki keahlian meramal. Keahliannya ini cukup dikenal dan menjadi buruan para tamu yang mencari peruntungan.

Para tamu Herman Hendrick kebanyakan dari Batavia, terutama kalangan pejabat. “Sayangnya anak-anaknya tidak ada yang memiliki kemampuan meramal,” kata Machmud seraya tertawa.
Dalam program jelajah bertajuk “Nyucruk Galur Sejarah Kaum Cimahi” itu, Tjimahi Heritage mengundang sejumlah narasumber yang merupakan sesepuh yang tahu seluk-beluk Cimahi, antara lain Cinta Sari yang merupakan perempuan asli kelahiran Kaum Cimahi.

***

sumber: http://bandung.merdeka.com/halo-bandung/di-balik-sejarah-kaum-cimahi-ada-kisah-peramal-jerman-160725g.html
 sumber foto: dokumentasi Tjimahi Heritage @ Arief Robiyansyah dan Bandung Merdeka.com