Wednesday, October 7, 2015

Daeng Muhammad Ardiwinata: Pejuang Yang Rendah Hati

Oleh: Ririn NF
 
Daeng Muhammad Ardiwinata (foto: Dicky Rachmadi)
Daeng Muhammad Ardiwinata di abadikan sebagai nama jalan di Cihanjuang, akses utama menuju kompleks kantor Pemkot Cimahi dan penghubung ke Kecamatan Parongpong Kabupaten Bandung Barat. Termasuk konsep jalan lingkar utara Cimahi, membuat perekonomian tumbuh di Cihanjuang. Nama Daeng identik dengan Bugis Makassar. Sebetulnya, Daeng lahir dan besar ditanah Sunda. Daeng merupakan anak bungsu dari Daeng Kanduruan Ardiwinata yang sempat bermukim di Malangbong Garut dan menikah dengan orang Sunda. Daeng Kanduruan Ardiwinata seorang Nasionalis, agamis dan sastrawan Sunda pendiri Paguyuban Pasundan, yang pada tahun 1914 mendapat penghargaan “Ridder in de Orde Van Orange Nassau”, yaitu penghargaan tertinggi atas prestasinya dibidang sastra dari Pemerintah Belanda.

Cucu pertama Daeng dari anak pertama Deden Mochmad Sadrach, Dicky Rachmadie mengatakan, kakeknya sangat jarang bertutur soal perjuangannya. “Prinsip Beliau, berjuang demi kemerdekaan sudah menjadi tanggungjawab sebagai warga Negara Indonesia”, katanya. Karena jarang bercerita, kisah perjuangan Daeng Muhammad Ardiwinata ini malah didapat Dicky dari rekan seperjuangan dan para mantan anak buah kakeknya. Termasuk dari buku “Prahara Cimahi, Pelaku dan Peristiwa karya Mayor Purnawirawan S.M Arief (1989) yang dituangkan dalam blog khusus tentang Daeng Muhammad Ardiwinata dan Perjuangannya di laman http://dickyrachmadie.blogspot.com. “setelah dapat cerita, tentu saya konfirmasi. Namun, kakek tidak menerangkannya, hanya tersenyum dan mengangguk,” tuturnya.

Disebutkan, setelah Batalyon IV PETA di Cimahi dibubarkan karena Jepang menyerah, mantan Shodancho Daeng lantas mengumpulkan bekas anak buahnya dan bergabung kedalam BKR. Sesuai dengan perkembangannya BKR Cimahi berubah menjadi Tentra Keamanan Rakyat (TKR). TKR Kompi Daeng semula masuk jajaran Batalyon IV Momon Resimen 9 Gandawijaya. Selanjutnya, Batalyon IV Momon menjadi Detasemen 9 Momon. Kompi I/ daeng berkedudukan di Cibabat-Cibeureum samapai dengan Fokkersweg (sekarang Jalan Garuda) Bandung. Kompi Daeng diikuti banyak “anak kolong” sebutan anak-anak serdadu Belanda KNIL sebelum Perang Dunia II meletus. Julukan anak kolong kemudian menjadi populer untuk sebutan pasukan pejuang dari Cimahi.

Kompi Daeng aktif dalam pertempuran, pencegatan tentara sekutu, bersama Hizbullah menyerang pabrik senjata ACW cabang pabrik PINDAD di Cibabat Cimahi yang dikuasai Jepang, sampai pertempuran di alun-alun Cimahi merebut truk yang diisi tentara sekutu. Dalam satu pertempuran, Daeng kehilangan seorang dokter Resimen, Dokter Dustira. Dari Kompi, pasukan Daeng dibentuk menjadi Batalyon 25, tetapi lebih dikenal dengan “Batalyon Daeng”. Saat suasana makin genting Batalyon Daeng ditarik ke Resimen 8 dan ditempatkan di Panjalu dan Pangalengan. Saat Clash I pada 1947 Daeng ditempatkan di Bungbulang Garut dan Bandung Selatan. Pada pertempuran di Nangkaruka, daerah Bungbulang, ia dapat menumpas tentara Belanda yang memiki peralatan modern.

Saat gencatan senjata dengan Belanda, pasukan Siliwangi hijrah ke Jawa Tengah. Dalam perjalanan pulang ke Jawa Barat, Daeng bersama Komandan Kodam Siliwangi Letkol Daan Yahya ditawan Belanda. Mereka dibuang ke pulau Nusakambangan bersama Komandan CPM Cimahi FE Thanos. Setelah mendapat pengakuan kemerdekaan dari Belanda, pada akhir 1949, dibentuk Komando Resimen 063/Sunan Gunungdjati. Daeng yang saat itu berpangkat Letnan Kolonel Infantri dipercaya sebagai komandan pertama dengan wilayah kerja meliputi Garut, Subang, Ciamis dan Kabupaten Bandung. Setelah kemerdekaan dipertahankan, Daeng merasa perjuangan melawan penjajah telah tuntas. Saat itu, Daeng ditawari promosi ke Makassar tetapi dia menolak. Karier militernya pun menggantung dengan pangkat terakhir Kolonel. Pada 1954, Daeng digandeng Kolonel AH Nasution dan Kolonel Gatot Subroto mendirikan Partai Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI). Daeng diangkat sebagai Ketua IPKI Jawa Barat.

Pada Pemilu 1955, Daeng terpilih sebagai anggota DPR-RI. Lima tahun kemudian, dilantik menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA). Pada 1967-1970, Daeng kemudian menjadi Direktur PPN Dwikora IV Perkebunan Teh di Subang, sekaligus memantau pergerakan PKI yang menjadikan Subang sebagai basis pergerakannya. Selepas jabatan itu, Daeng mundur dari pemerintahan dan militer. Daeng menikah dengan Siti Rukayah dan dikaruniai 5 anak dan 11 cucu. Tentara dan berdarah Makassar membentuk karakter daeng menjadi pribadi yang tegas. “Disiplin, tak mentelorir kelalaian, serta tak banyak cerita. Namun, dia sangat dekat dengan orang kurang mampu karena rendah hati dan memiki jiwa sosial yang yang tinggi,”tuturnya.

Karier militer yang dijalani dinilainya sebagai pengabdian. Daeng pun tak mengambil gaji dan pensiun dari militer. Dia hanya mengambil gaji saat menjadi anggota DPR. Pada 1996, Daeng mendapat piagam dan mendali penghargaan Angkatan 45 saat peringatan Hari Kemerdekaan ke-50 dari Gubernur Jabar HR Nuriana. Daeng mengabadikan sisa hidupnya bersama Yayasan Sekolah Tinggi Hukum Bandung yang didirikannya. Daeng meninggal pada 15 April 2000 ketika berusia 77 tahun. Daeng menolak dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Cikutra, namun memilih untuk dikebumikan berdampingan dengan istrinya di pemakaman keluarga di Kampung Juntigirang, Desa Banyusari, Kecamatan Katapang, Kabupaten Bandung.
Makam Daeng dipilih menjadi titik pemancangan bambu runcing “Pejuang 45” saat peringatan Hari Pahlawan tahun 2000. Dengan diabadikan sebagai nama jalan, kata Dicky, merupakan pengakuan kepahlawanan Daeng. “Juga menjadi penghargaan atas jasa-jasanya berjuang di Cimahi, “tuturnya.

*) Sumber:
Pikiran Rakyat. Senin, 24 Maret 2014
blog: http://dickyrachmadie.blogspot.co.id/2014/03/pejuang-yang-rendah-hati.html


Tuesday, October 6, 2015

Kisah Tiga Tentara KNIL ~ Bagian 1


Ini adalah kisah tentang tiga tentara Belanda yang ditawan oleh Jepang di kamp tahanan militer Cimahi, Jawa Barat, pada masa Perang Dunia II (1939-1945). Kisah ini dimuat dalam salah satu edisi majalah “Katholieke Illustratie” terbitan Belanda yang diceritakan kembali oleh Tetske T. van Der Wal di dalam blognya.

Tetske T. van Der Wal lahir di pulau Jawa pada 3 Juni 1941. Thea, panggilan kecilnya, adalah anak dari seorang anggota kavaleri KNIL. Tetske T. van Der Wal sudah menulis sebuah buku memoar "I Thought You Should Know"




*** 

Cimahi adalah kota yang sangat tenang tak jauh dari Bandung. Udaranya sejuk dan kehidupan di sini terasa lebih santai.  Penduduknya ceria dan baik hati. Gadis-gadis berjalan tersenyum dengan kembang sepatu terselip di rambut mereka yang hitam. Kota ini bak surga kecil di tengah pulau Jawa yang luas dan panas. Bunga kana yang kuning, alamanda yang keemasan dan kembang sepatu yang merah terlihat kontras dengan hijaunya semak-semak. Tapi 8.000 tentara KNIL dari berbagai kesatuan yang bertempur di Kalijati tidak merasakan keindahan ini.

Mereka kerap berjongkok di atas tanah gersang dalam kamp tawanan perang milik Jepang di Cimahi. Pada tengah hari, matahari membakar kulit mereka tanpa ampun karena hampir tak ada tempat teduh di kamp itu, kecuali di sisi utara barak. Di sana, para tawanan pria mencari perlindungan dari sengatan matahari. Dengan pikiran yang melayang jauh, mereka berdiam diri sambil meratapi kebebasan yang hilang. Mereka tersengat rindu berat kepada keluarga dan mengkhawatirkan masa depan mereka.

Di beberapa tempat, pohon palem kipas memberi sedikit keteduhan. Jan Luxinger duduk di bawah salah satu pohon dekat pintu gerbang. Dia adalah remaja tegap berambut pirang dengan wajah yang tampak cerdas. Punggungnya disandarkan pada batang palem itu. Di belakangnya duduk pula seorang tawanan. Postur kawannya lebih kecil dan berambut gelap. Wajahnya penuh bintik sehingga dia dijuluki “Si Jerawat”.
Kedua tawanan itu sama-sama pelaut. Si Jerawat dulunya awak kapal barang di Groninger dan Jan punya segudang pengalaman mengarungi lautan di seluruh dunia. Mereka berbicara pelan tentang kisah masa lalu. Menjadi tawanan perang adalah derita terberat yang pernah mereka rasakan. Sebagai pelaut, hidup bagi mereka adalah kebebasan dan petualangan di laut lepas.

Seorang tawanan lain datang menghampiri mereka. Dia biasa dipanggil “Si Jangkung” karena tubuhnya yang tinggi dan ceking. Dia merasa cocok berteman dengan mereka karena dirinya juga seorang pelaut. Setelah menyapa kedua temannya dia pun ikut duduk di situ. Sebuah mobil De Soto hijau mendekati pintu gerbang. Seorang penjaga dengan sigap membuka pintu. Dia berdiri tegak memberi hormat kepada seorang jenderal Jepang yang keluar dari mobil bersama dua perwira. Ketiga tawanan dengan penuh kebencian memandang perwira-perwira Jepang itu. Tapi Jan tak berhenti memperhatikan mobil mereka. Dia tetap memandangnya. Andai kita bisa melarikan diri dengan mobil itu, bisiknya perlahan.

Kedua teman Jan memandangnya. Mereka terdiam sejenak seperti memikirkan sesuatu. “Apapun lebih baik daripada mati kelaparan di sini,” kata Si Jangkung. Si Jerawat berbisik: “Jika gagal kita akan ditembak, tapi aku tak takut, kita harus nekat”. “Tak ada waktu buat berpikir, sekarang atau tidak sama sekali!” kata Jan sambil berdiri.

Inilah kesempatan yang mereka tunggu. Mereka berdiri dan segera pergi dengan rencana di kepala masing-masing. Lima belas menit kemudian mereka berkumpul di bawah pohon palem yang sama. Tiap orang membawa bundelan kecil di tangannya. Tawanan keempat bernama Kuiper ikut bergabung. Dia memiliki wajah bulat dengan bekas luka yang mencolok di pipinya. Saat itu para penjaga gerbang sedang berada dalam barak kecil. Di antara penjaga dan tawanan Belanda terparkir sebuah mobil berwarna hijau. Diam-diam mereka masuk ke dalam mobil. Si Jerawat berhasil menyalakan mobil. Dia memutar mobil itu sejenak dan melarikannya ke arah gerbang. Para penjaga yang melihat mobil itu kaget dan langsung memberi hormat. Mereka pikir sang jenderal bergegas pergi dari kamp itu.

Si Jerawat memindahkan perseneling ke gigi 4. Pelarian mereka cepat atau lambat pasti akan diketahui. Dari arah kamp terdengar suara sirene. Seorang penjaga baru menyadari kesalahannya. Si Jerawat terus menginjak pedal gas dan memusatkan pikiran pada jalan di depannya. Mereka berpapasan dengan penduduk yang berjalan kaki di sana-sini. Si Jerawat tak memperhatikan teman-temannya yang sedang berdiskusi apa yang harus dilakukan selanjutnya. Semua perhatiannya diarahkan ke jalan, jantungnya berdegup kencang. Dia mendengar selintas bahwa mereka akan kabur ke Batavia. Jika beruntung, mereka bisa melakukan kontak dengan anggota-anggota KNIL lainnya di sana.

Cimahi berhasil dilewati dan kini mereka berada di atas jalan utama menuju Batavia. Kecepatan mobil sudah 100 km/jam dan Si Jerawat terus menekan gas hingga 110, berkejaran dengan waktu. Dia melihat pengukur bahan bakar dan menyadari bahwa bensinnya hampir habis. Dengan bensin tersisa tak mungkin mereka bisa sampai ke Cianjur. Tapi Si Jerawat tak mengurangi kecepatannya. Mereka akan memutuskan tindakan berikutnya jika bensin benar-benar habis. Yang penting sekarang berlari sejauh mungkin dari kamp.
Si Jerawat tiba-tiba menginjak rem. “Bantu aku,” katanya sambil membuka pintu dan menunjuk sisi jalan.

Di atas sebuah tanah kosong mereka melihat sejumlah drum berisi bensin. “Awasi penjaganya,” teriak Jan. Kuiper menunjuk kantong celananya dimana dia menyimpan sepucuk pistol. Jan tersenyum. Di balik seragam militer usang yang dia kepit, ada senjata mesin ringan. “Kau ke kiri, aku ke kanan,” katanya. Si Jangkung menemani Si Jerawat. Tak terlihat ada penjaga di situ, tapi sebuah plang dalam bahasa Melayu menjelaskan kalau tempat itu dikuasai oleh Dai Nippon.

Tangki bensin mobil segera diisi penuh dan mereka meneruskan pelarian. Lima belas menit kemudian Si Jerawat melihat sebuah benda gelap di depannya, tapi dia tak yakin itu apa karena hari sudah mulai gelap. Beberapa menit kemudian barulah mereka sadar kalau benda itu adalah truk-truk Jepang yang sedang konvoi. Apa lagi ini? Kata Si Jerawat sambil mengangkat kakinya dari pedal gas untuk mengurangi kecepatan. Dia memandangi teman-temannya. “Jangan dilewati,” kata mereka, “sangat beresiko”. Si Jerawat melihat pengukur laju. Empat puluh, tiga puluh lima. Saat kecepatan berkurang dia merasakan resiko jadi semakin tinggi. Konvoi di depan mereka tiba-tiba mulai menepi. Wajah keempat tawanan semakin pucat. Tiba-tiba Jan mengambil keputusan. “Sekarang, ya sekarang, lewati mereka,” teriaknya pada Si Jerawat. “Kita tak punya pilihan lain. Injak gasnya!”.

Jan juga memerintahkan teman-teman yang lain untuk menyiapkan senjata masing-masing. Dengan klakson yang terus dibunyikan, De Soto hijau itu melewati konvoi. Tentara-tentara Jepang melompat turun dan seorang sersan memberi hormat. Truk paling depan berhasil dilalui. Dari kaca spion tampak wajah Si Jerawat tersenyum riang. Kelok pertama jalan hutan Masigit mulai tampak di depan mata. Hutan ini liar dan tak dihuni manusia. Kelok demi kelok jalan ini meliuk seperti ular. Jalanan semakin menanjak. Di satu sisi jurang dalam membentang, di sisi lainnya tebing menjulang tinggi. Tiba-tiba Kuiper berteriak: “Ada mobil di belakang kita!”

Bersambung...

Sumber:
 http://tempodoeloe.com/2014/02/26/kisah-tiga-tentara-knil-bagian-1/

Kisah Tiga Tentara KNIL ~ Bagian 2

 Si Jerawat membanting setir. Dia mendengar kaca pecah dan senapan mesin sudah siap pada posisinya. Yang bisa dia lakukan sekarang adalah memperhatikan jalan dan menjaga kecepatan. Tiap kali mereka melewati tikungan, dia mendengar sumpah serapah Si Jangkung. “Sialan, mereka mengejar kita!” Lalu Jan berteriak: “Berhenti!” Si Jerawat menginjak penuh pedal remnya.

Mobil lalu diparkir di sisi tebing. Mereka baru saja melewati salah satu tikungan dan bersembunyi dari pandangan mobil pengejar. “Kita jebak mereka,” kata Jan. Dengan cepat dia berkata kepada teman-temannya apa yang harus dilakukan. Dalam situasi berbahaya itu, mereka berusaha memahami satu sama lain dengan anggukan dan tatapan mata.  Si Jangkung berlari membawa senapan mesin ke belakang batu besar dan yang lain bersembunyi di balik semak. Sekilas Jan Luxinger melihat kembang sepatu berwarna merah cerah dan mencium bau belerang.  Ketegangan dan adrenalin segera memuncak.

Dengan kecepatan penuh, mobil yang mengejar mereka melintasi tikungan. Suara tembakan terdengar menggema dari tebing.  Mobil itu terus berjalan dan mereka kini mendengar rentetan tembakan dari senapan si Jangkung. Mobil itu akhirnya berhenti.  Tak tampak ada gerakan dalam mobil itu.  Hanya suara kepakan beberapa kalong yang kini terdengar. Dari tempatnya bersembunyi Jan mengamati situasi di sekitar mobil.  Sejenak keadaan menjadi hening.  Sesosok bayangan muncul pelan-pelan dari belakang mobil; tangannya bergerak melepas dua tembakan.  Namun Jan membalas tembakan itu dengan beberapa peluru…dan sosok berwajah kuning itu melarikan diri.

Jan berteriak kepada tentara-tentara Jepang itu agar menyerah.  Tiba-tiba sepasang tangan melambai dari jendela mobil yang terbuka.  Keempat lelaki Belanda itu berlari ke arah mobil.  Dua tentara Jepang mati, lainnya sekarat.  Mereka memungut tiga senapan mesin lalu mendorong mobil itu ke arah jurang yang dalam. Si Jerawat lalu menyalakan mesinnya dan mobil De Soto itu meluncur ke bawah. Mereka meneruskan perjalanan dan memasuki alam yang berbeda. Di kanan-kiri jalan tampak sawah.  Mereka melewati sejumlah kampung dengan kecepatan tinggi.  Suara mobil yang bising membuat penduduk kampung takut.  Mereka makin mendekati Cianjur.

Sesaat sebelum sampai di Cianjur,  sebuah bendera merah tampak berkibar-kibar.  Si Jerawat melambatkan mobil dan menunggu perintah.  Dari kaca jendela Jan melihat sebuah laras hitam di antara kantong-kantong pasir mengarah pada mereka. “Kita berhenti,” bisiknya pelan.  Dua tentara Jepang mendekat. Si Jangkung keluar dari mobil dan mengajak mereka bercakap-cakap  Dia menegakkan bahunya dan berkata  “Komandan” sambil membuka pintu buat Jan Luxinger. Jan menghampiri kedua tentara Jepang itu dan menatap mereka. “Panggil Kapten kalian,” katanya sambil menunjuk barak kecil.

Seorang sersan sudah lebih dulu menghampirinya.  Jan memperlihatkan selembar surat ijin.  Si sersan yang tak bisa berbahasa Inggris berlagak mengerti maksud Jan; para petinggi Belanda ini mendapat perintah dari Cimahi untuk pergi ke markas AD di Buitenzorg (Bogor). Tentu saja mereka diperbolehkan lewat, bahkan para tentara Jepang itu memberi hormat.  “Aku tak percaya,” kata Jan, “mungkin kita bersandiwara seperti ini lagi”.  Dalam perjalanan ke Sukabumi mereka tertawa-tawa. Dengan kecepatan tinggi, mereka melaju di atas Jalan Pos.  Jalan ini dibangun semasa pemerintahan Daendels. Di kedua sisinya berdiri pohon-pohon besar.  Alam yang indah dengan nyiur di sana-sini menaungi kampung-kampung kecil yang disinari cahaya merah senjakala.

Beberapa ekor kerbau tampak menarik bajak kayu di atas sawah.  Lelaki Jawa yang berada di belakangnya menyanyikan sebuah lagu yang terdengar monoton.  Di ujung jalan sekumpulan bocah telanjang sedang bermain; seseorang yang membawa pikulan di pundaknya hampir melompat saat mendengar raungan mesin mobil yang mereka kendarai. Kebun-kebun bunga, sawah yang menghijau dan pohon kelapa yang melambai-lambai tampak begitu indah, namun tidak dirasakan oleh keempat lelaki Belanda itu.  Mereka adalah pelarian dari tentara pendudukan Jepang yang brutal.  Tanah yang indah ini segera akan menjadi neraka dan kemolekannya akan sirna. Keempat buronan Jepang itu kini diam, seakan dihanyutkan oleh pemandangan sekitar.  Sampai kapan tempat ini memberikan ketenangan sampai berubah menjadi medan pertempuran?

Permukaan tanah yang mereka lalui lalu berubah. Kini mereka masuk ke daerah pegunungan.  Jalannya meliuk-liuk seperti ular, dinaungi bukit-bukit hijau.  Sebenar lagi, rumah-rumah penduduk Sukabumi akan muncul dari balik kabut yang basah karena hujan. Si Jerawat menyumpah, kipas jendela mobilnya macet sehingga dia kesulitan melihat jalan.  Tiba-tiba saja sebuah barikade karung pasir dan beberapa senapan mesin muncul di depannya.  Awalnya mereka tak melihat tanda-tanda kehidupan di situ.  Kemudian muncul seorang penjaga dari salah satu rumah yang membuat keadaan menjadi tegang.  Namun ketika si penjaga usai melihat surat yang mereka tunjukkan, dia mengangguk dan memberi tanda agar mereka lewat.  Mereka seakan tak percaya kesaktian surat yang mereka bawa.

Hampir di setiap sudut mereka melihat karung-karung pasir dengan senapan mesin di atasnya.  Bahkan saat melalui jalan-jalan, mereka berpapasan dengan sekelompok tahanan yang membungkuk karena membawa beban.  Di antara mereka ada seorang kulit putih yang berhenti untuk menarik napas. Segera saja sebuah tendangan dari sepatu bot Jepang mendarat di tubuhnya.  Pria itu berdiri dan sepintas melihat mereka dari balik kaca jendela mobil.  Wajah pria itu seperti mengharapkan sebuah keajaiban yang bisa menolongnya.
 Mobil yang mereka tumpangi tampak seperti menghilang di tengah hujan deras.  Jan, si pemimpin, ingin meninggalkan daerah ini secepat mungkin.  Sebentar lagi mereka akan berada di sebuah jalan menuju Buitenzorg.  Tiba-tiba Jan berteriak pada Si Jerawat, “belok ke ke situ!”.

Rentetan tembakan dari arah depan mengenai kap mobil.   Si Jerawat menginjak pedal gas kuat-kuat dan membawa mobil menuruni jalan kecil untuk menghindari tembakan. Wajah mereka pucat, tak satu pun kata diucapkan.  Kabut sudah menyelimuti mereka.  Beberapa kilometer kemudian mereka melihat lagi bendera merah dan setumpuk karung pasir.  Jan Luxinger memberi perintah: “Jangan berhenti, terlalu berbahaya. Ambil senapan kalian!”

Bersambung...

Sumber:
http://tempodoeloe.com/2014/03/09/kisah-tiga-tentara-knil-bagian-2/

Kisah Tiga Tentara KNIL ~ Bagian 3

Dalam suasana berkabut dan hujan, bendera-bendera merah tampak berkibar liar ditingkahi suara jeritan. Tapi Si Jerawat bukanlah tipe orang yang peragu.  Dia larikan mobil ke arah bendera-bendera itu dan menghantam karung-karung pasir. Kemudian tiba-tiba di belakang mereka seseorang berteriak: “Hentikan! Hentikan!” Dengan jeritan suara rem akibat tanah yang licin, mobil itu memutar balik.  Dengan wajah pucat dan tegang mereka memandang sekelilling  Ternyata yang berteriak tadi adalah Kuiper.  Apakah dia sudah gila? Tetapi bocah berwajah penuh bekas luka itu malah menunjuk sesuatu di belakang mereka.

”Jembatan itu!” teriaknya.  Serempak mereka melihat sebuah lubang gelap di atas sungai dimana jembatan tersebut berdiri sebelumnya.  Jembatan yang hancur dibom pasukan Belanda itu belum diperbaiki oleh Jepang.  Mobil yang mereka kendarai ternyata berhenti persis di depan tebing yang menganga.  Di belakang mereka, serdadu-serdadu Jepang berdiri dengan senjata di tangan mereka.

Tapi Jan Luxinger pantang menyerah.  Dia meneriaki tentara-tentara itu, memberi isyarat ingin bicara dengan “Kapten” mereka segera.  Seorang perwira memandang Jan dengan curiga.  Orang Belanda itu diminta mengikutinya ke ruang penjaga.  Dengan tenang Jan berjalan di samping perwira itu, diikuti mobil yang melaju dengan gigi satu.  Namun persis di depan ruang penjaga, tiba-tiba pintu mobil terbuka dan Jan melompat ke dalamnya. Mobil itu lalu melesat dengan kecepatan tinggi di tengah derasnya hujan.  Kuiper dan Si Jangkung melepaskan tembakan dari jendela belakang.  Si perwira dan tiga tentara Jepang terkapar di atas tanah.  Tentara lainnya mencari perlindungan dan membalas tembakan mereka.  Peluru-peluru berdesing menghantam casis, atap dan badan mobil. Sebuah di antaranya menembus tangki bensin.  Kuiper menutup pundaknya dengan satu tangan, tubuhnya penuh darah.  Tapi mereka berhasil menjauh dari tempat itu.

“Kita takkan mungkin sampai Buitenzorg* sebelum malam,” kata Jan. “Aku kenal seseorang di sini, dia bos perusahaan Sinagar, ke sana saja kita.  Siapa tahu dia bisa memberi kita makan.  Selepas Parang Koeda** kita bisa bermalam di rumah kawanku Japie”. Satu hambatan lagi muncul di jalan menuju Sinagar.  Sebuah mobil diparkir di sisi jalan.  Dua lelaki kulit putih sedang mengganti ban.  Mereka adalah anggota NSB Jerman yang bekerja untuk tentara Jepang.  Keduanya terkejut dan mengangkat tangan.  Orang-orang Belanda itu lalu mengambil dokumen dan uang milik mereka.  Dengan tangan terikat keduanya didorong ke dalam jurang.  Langit semakin gelap.

Tiba di Sinagar mereka disambut dan diberi makan.  Luka Kuiper dibersihkan dan dibalut oleh istri administratur Sinagar.  Usai makan, Jan menerima amplop berisi uang.  “Itu untuk tanah air kita,” kata si tuan rumah. Japie, teman Jan di Parang Koeda yang juga bekerja di perusahaan itu, terkejut ketika melihat sahabatnya datang.  Tapi dia sangat khawatir karena para pekerja perkebunan pasti melihat kedatangan empat tentara Belanda itu. Di dekat rumah Japie terdapat sebuah sanatorium. Ke sana lah mereka dibawa tuan rumah untuk mandi dan menyembunyikan senjata.

Di kegelapan malam, mobil De Soto yang mereka kendarai didorong ke sebuah jurang yang dalam.  Suara benturan lalu terdengar keras.  Mobil itu telah membawa mereka berjam-jam melintasi sisi-sisi jurang yang curam dan menyelamatkan mereka dari kejadian-kejadian yang mengerikan. Usai beristirahat semalaman, Japie membawa mereka keluar dengan mobilnya sebelum para pekerja terbangun.  Mereka berhenti di sebuah tempat yang dinaungi pohon-pohon tinggi. Di sana lah mereka berpisah dengan Japie, lalu berjalan tanpa senjata.

Bersambung...

Sumber:
 http://tempodoeloe.com/2014/11/06/kisah-tiga-tentara-knil-bagian-3/

Kisah Tiga Tentara KNIL ~ Bagian 4

Mereka punya waktu setengah jam menuju stasiun kecil di Parang Koeda dengan berjalan kaki.  Beberapa hari lalu, jalur kereta api ke Batavia selesai diperbaiki.  Jalur sebaliknya yang ke arah Bandung masih rusak parah karena banyak jembatan hancur dalam pertempuran.

Sebelum perang, Parang Koeda adalah tempat yang sepi.  Kawasan itu kemudian menjadi ramai oleh serdadu-serdadu Jepang yang hilir mudik dan membongkar-muat perlengkapan perang dari kereta-kereta barang.  Keempat orang Belanda itu berusaha membaur dengan keramaian.  Seorang penjaga yang curiga mendekati mereka, berusaha memotong pembicaraan.  Tiba-tiba orang Jepang itu bertanya pada Si Jerawat dengan bahasa Inggris campur Melayu.

“Are you ‘orang oranda’?” katanya. “Yes,” jawab Si Jerawat. Si penjaga bertanya kemana mereka akan pergi. Si Jerawat menjawab bahwa perkebunan tempat mereka bekerja ditutup dan mereka akan pergi ke kantor pusat di Batavia.  Di sana mereka juga akan melapor kepada pihak Jepang tentang penutupan itu.
Jan bergabung dalam perbincangan yang mulai menyinggung soal politik.  Perbincangan itu menurutnya jadi aneh karena terjadi di tengah kesibukan militer Jepang di sebuah stasiun kereta. Kecurigaan sang penjaga perlahan luntur.  Setelah satu jam menunggu akhirnya terdengar suara mesin uap dari kereta api yang datang.
Mereka segera mencari tempat yang sepi dalam gerbong.  Dalam kebisuan dan pikiran masing-masing mereka memandang ke luar  jendela.

Dari sekian banyak negeri yang mereka lewati dalam perjalanan dari Belanda, negeri inilah yang paling indah di mata mereka.  Jutaan zamrud bak terhampar di tanah yang begitu subur dan hijau ini.
Di stasiun Depok sejumlah penumpang naik.  Mereka  adalah tentara Jepang yang baru tiba dari negerinya dalam perjalanan berminggu-minggu di atas kapal perang kecil bagaikan ikan sarden dalam kaleng.  Mereka tampak lusuh, lelah dan kurang semangat. Tanpa insiden keempatnya tiba di Batavia. Kuiper mengucapkan selamat tinggal kepada yang lain karena ingin mengunjungi tunangannya.  Mereka berjabat tangan, singkat namun penuh perasaan.  Tak lama kemudian Kuiper pun hilang dari pandangan.  Ketiga lelaki itu tetap memandang ke arah Kuiper seakan bertanya dalam hati apakah mereka masih bisa bertemu dengannya di kemudian hari.

Mereka lalu menuju pasar untuk membeli beberapa barang yang mereka perlukan.  Usai berganti baju dan memangkas rambut, mereka kembali tampak seperti orang-orang yang terhormat. Tugas selanjutnya adalah mencari Kapten yang masih bebas bersama 25 rekan mereka.  Kuiper telah memberi sebuah alamat dan ke sanalah mereka akan mencarinya. Ketiganya berjalan ke arah bekas gedung Hotel Des Indies, dimana bawahan Kapten tinggal sambil menunggu jemputan ke kamp tawanan perang yang sedang dibangun.  Dengan ramah ketiganya disambut dalam hotel yang bising oleh suara tentara-tentara mabuk yang berkencan dengan perempuan setempat.  Mereka bertanya pada beberapa orang di sana: “Apa kalian siap bertempur dengan tentara pendudukan?”

Yang mereka dengar kemudian hanyalah tawa.  Kerapuhan mental telah menghilangkan rasa peduli dalam hati para prajurit itu.  Dengan penuh kekecewaan mereka kembali ke jalan untuk mencari sang kapten dan tempat untuk bermalam. Akhirnya mereka menemukan alamat yang diberikan Kuiper.  Di sana mereka bertemu dengan seorang lelaki tua yang berhasil lari dari kejaran bandit-bandit haus darah yang makin merajalela di Palembang sejak kedatangan Jepang.  Dia kabur dengan menumpang sebuah perahu yang menyeberangi Selat Soenda.  Dalam perjalanan itu, malaria telah menghancurkan daya tahan tubuhnya.  Insting untuk bertahan hiduplah yang membuatnya berhasil pulang.  Lelaki tua itu kini sudah sehat.  Dengan berapi-api dia sampaikan tekadnya untuk melawan tentara pendudukan Jepang.

Cerita lelaki tua itu membuat semangat mereka bangkit lagi.  Saat lelaki tua itu mendengar rencana mereka, dia menawarkan diri untuk ikut.  Jan meyakinkan Pak Tua bahwa yang terpenting saat ini adalah kesehatannya.  Dia merasa tenang setelah Jan berjanji akan memberikan info dimana mereka bisa bertemu nanti jika kesehatannya pulih. Si Jangkung secara mengejutkan membuka tas kecilnya, mengambil sebuah pistol dan memberikannya kepada Pak Tua.  “Ini untuk berjaga-jaga, jika waktunya sudah tiba,” kata Si Jangkung. Setelah dijamu makan ketiga pria itu minta ijin untuk beristirahat.  Mereka tak tahu kalau saat mereka tertidur pulas, Pak Tua duduk di depan kamar menjaga mereka sambil memegang pistol.

Pagi-pagi sekali Pak Tua membangunkan mereka, tapi sedikit pun tak tampak di wajah orang tua itu tanda-tanda kurang tidur.  Di balik keceriaannya, dia menyembunyikan kesedihan karena tak bisa menyertai mereka pergi.  Perpisahan di antara mereka begitu emosional dan tak seorang pun tahu bahwa “selamat tinggal” ini akan terjadi selamanya. Ketiga lelaki itu kembali ke stasiun dan kali ini mereka menuju Buitenzorg.  Mereka mendapat informasi samar-samar bahwa di sana lah mereka bisa melakukan kontak dengan para pemberontak.  Ketika tiba, mereka berpencar untuk mencari keterangan yang lebih jelas.

Hari berikutnya mereka bertemu di suatu tempat.  Jan berhasil melakukan kontak dengan seseorang berkat informasi yang didapat dari ibu kawannya.  Orang itu bernama Kelter, bekas komandan garda kota yang kini menjadi pemimpin pemberontak.  Mereka spesialis dalam penyelundupan senjata dan kegiatan mata-mata.   Jan punya firasat bagus kalau si Kelter ini akan menjadi kontak terbaik mereka di kemudian hari. Si Jangkung juga punya informasi penting soal senjata dan dimana tempat penyembunyiannya.  Si Jerawat mendapatkan sebuah alamat di Batavia dimana mereka bisa bertanya soal kemungkinan mendapatkan kontak dengan pemberontak di gunung-gunung.  Mereka diskusikan semua informasi itu lalu membagi tugas.
Si Jangkung diminta mencari senjata yang disembunyikan beserta amunisinya.

Si Jerawat disuruh pergi ke Batavia untuk mendatangi alamat itu.  Sementara Jan akan tinggal di Buitenzorg untuk memperkuat kontak dengan Kelter.  Tiga hari  kemudian mereka berjanji untuk bertemu lagi; jika salah satu di antara mereka tidak muncul, kemungkinan besar dia sudah ditangkap oleh Jepang.  Yang lain tidak akan mencari kawannya yang hilang untuk menghindari bahaya yang lebih besar.  “Sepakat?” “Oke!”. Mereka pun berjabat tangan lalu berpisah. Jan menemui ibunda Kelter keesokan harinya.  Dari beliau, Jan mendapatkan beberapa nama kenalannya yang harus dia temui.

Sebuah kacamata hitam dia pakai untuk menyamarkan diri.  Pertama-tama dia harus menemui sejumlah wanita yang suaminya menjadi teman sependeritaan di kamp Jepang.  Dia ingin menyampaikan kabar tentang mereka kepada wanita-wanita itu.  Kepada salah seorang di antaranya Jan mengabarkan bahwa suaminya terbunuh di Kalidjati dan menghembuskan nafas terakhirnya di pangkuan Jan.  Kata-kata terakhir yang sempat dibisikkannya pada Jan saat itu adalah nama istrinya. Hanya genggaman tangan yang Jan bisa berikan kepada wanita itu sebagai tanda simpati.  Dia harus melanjutkan perjalanan, tugasnya belum selesai…

Bersambung...

Sumber:
http://tempodoeloe.com/2014/11/12/kisah-tiga-tentara-knil-bagian-4/

Kisah Tiga Tentara KNIL ~ Bagian 5

Ketika Jan berjalan tiba-tiba seorang serdadu Jepang menghentikan langkahnya. Sambil mengarahkan senapan ke tubuh Jan, sang serdadu menghampirinya. Jan berharap ini bukanlah akhir dari misinya. Namun si Jepang berusaha menjelaskan dalam bahasa campur aduk bahwa setiap orang harus membungkuk di depan serdadu Jepang. Tak ingin mendapat masalah, Jan langsung membungkuk sambil mengumpat dalam hati.

Pagi berikutnya usai sarapan, dia bertemu lagi dengan Kelter. Darinya dia mengetahui tempat senjata disembunyikan, yaitu dalam gedung sekretaris jenderal di tengah kota yang kini ditempati Kempei, polisi rahasia Jepang. Mereka berjalan melewati gedung itu dan melihat para penjaga berdiri di depannya dengan senjata mesin. Tapi keduanya tak menemukan seorang serdadu pun di belakang gedung yang berbatasan dengan rel kereta. Sejajar dengan lintasan kereta ada sebuah jalan kecil yang kedua sisinya dinaungi pepohonan.

Sesampainya di rumah Kelter menggambar sebuah peta untuk Jan. Mereka berencana masuk ke dalam gedung dan tampaknya ada kesempatan untuk melakukan itu. Sementara itu di Batavia Si Jerawat memulai petualangannya. Kadang naik kereta, kadang dia berjalan kaki menyusuri kota . Dia sedang dalam perjalanan menuju alamat yang diberikan padanya. Di sebuah tempat yang asing, dia melintas di depan rumah-rumah orang Eropa. Jika informasinya benar, dia pasti menemukan alamat yang dicari.

Di balik sebuah pagar, seorang pribumi sedang duduk di bawah kerai bambu. Si Jerawat bertanya apakah kenal dengan “Mr. Tresser”. Orang itu menggeleng, tapi Si Jerawat bilang kalau alamat yang dia cari benar di sini. Orang itu lalu menunjuk sebuah pondok dan Si Jerawat bergegas menaiki tangga. Dia mendengar suara si pribumi mengikutinya dari belakang. Dengan cepat, Si Jerawat membuka pintu pondok itu. Di dalam pondok dia menemukan seorang lelaki kulit putih yang tampak sangat terkejut. “Mr. Tresser” yang dia lihat seperti bukan “Mr. Tresser”, tapi kawan lamanya dulu. Pertemuan tersebut benar-benar di luar dugaan dan mereka merayakannya dengan makanan lokal yang sengaja disimpan “Mr. Tresser”.

Dari sahabatnya itu, Si Jerawat memperoleh banyak informasi tentang tentara Sekutu yang bersembunyi di selatan pegunungan dan akan berjuang hingga tetes darah penghabisan. Semangat kelompok ini mengagumkan, tapi mereka kekurangan makanan dan obat-obatan. Banyak dari mereka sedang terserang malaria dan disentri. Senjata mereka melimpah, tapi mereka hidup dari apapun yang bisa mereka tangkap untuk dimakan. Setelah semua informasi diperoleh, dia berpamitan dengan temannya. Satu hal lagi yang ingin dia lakukan: menjabat tangan lelaki tua yang telah melindungi mereka beberapa hari lalu. Tapi saat dia sampai di rumah teman Jan, seorang serdadu Jepang sedang berdiri di depannya. Si Jerawat melangkah pelan-pelan, tapi si serdadu mengatainya ‘anjing’. Dia melihat sekeliling dan tak menemukan orang lain selain serdadu yang melihatnya dengan pongah. Si Jerawat berbalik dan dengan satu langkah dia berdiri di depan si serdadu.

“Apa kau bilang tadi?” tanya Si Jerawat. Si Serdadu menunjuk wajahnya dan berkata: “Anjing, kamu bukan siapa-siapa tapi seekor anjing”. Tiba-tiba Si Jerawat meninju dengan keras dan si serdadu tersungkur ke jalan sambil berteriak-teriak. Suara berisik muncul dari dalam rumah dan seorang Jepang lain keluar sambil menenteng senjata. Si Jerawat menyambutnya dengan pukulan di wajah dan serdadu itu pun ikut terkapar di jalan. Serdadu pertama bangun lagi dan berusaha meraih senapannya yang tadi ikut terjatuh. Tapi Si Jerawat mencekik lehernya dan menendang senapan itu jauh-jauh. Kini serdadu kedua bangkit, mengambil bayonet dari pinggangnya lalu berlari ke arah Si Jerawat. Tapi karena posturnya lebih tinggi, dia memegang tangan si serdadu. Bayonet itu berbalik dan mengenai si empunya. Si Jerawat lalu memegang kepala serdadu lainnya dan membenturkan keduanya.

Suara kesakitan memecah kesunyian. Kini jalan itu dipenuhi orang-orang yang ikut berteriak sambil bertepuk tangan. Seorang Jepang lain tiba-tiba datang dan menyergap Si Jerawat dari belakang. Dia berbalik dan berhadap-hadapan dengan si penyergap. Tak disangka dia ingat wajah itu, wajah berkulit kuning dan bermata sipit yang pernah menolongnya dari kerumunan dan berbisik: “Cepat, Jerawat. Patroli Jepang sedang menuju ke sini! Ayo cepat!"

Lima menit kemudian mereka duduk berhadapan di sebuah tempat yang aman. Si Jerawat mengenakan gaun karena pakaiannya dipenuhi darah. Dia mendengarkan dengan penuh perhatian apa yang dikatakan temannya: “Waktu kalian meninggalkan rumah itu, tak lama Kempei datang karena dilapori seseorang. Si lelaki tua tak mau ikut mereka. Dia mengambil pistol dan menembak dua serdadu Jepang sambil berteriak “Hidup Ratu!”. Lalu dia ditembak di dada dan mati.”

Beberapa waktu kemudian, ketika Si Jerawat duduk dalam sebuah kereta ke Buitenzorg, dia menyadari betapa bahayanya dia dalam situasi seperti itu. Berkat teman Jepangnya itu, sekali lagi dia berhasil lolos. Memandang ke luar jendela, ke deretan sawah dan bukit-bukit terjal yang indah, matanya mulai basah. Dia teringat sang pahlawan tua yang ingin sekali bergabung dengan mereka. Dia berbisik lirih: “Aku tak akan melupakanmu!”


Sumber:
http://tempodoeloe.com/2015/02/10/kisah-tiga-tentara-knil-bagian-5/

Euis Manis van Tjibolang di Jalan Kareli (Cimahi di Masa Lalu #1)

Oleh: Mas Wid

Jalan Gatot Subroto dulu bernama 'Kareli' karena di sana pernah tinggal seorang Belanda totok bernama Karel van Ingledorf. Sekarang nama Kareli sudah jarang disebut orang, kecuali satu dua orang yang sudah sepuh. Kareli adalah pusat perdagangan Cimahi. Disana ada sebuah toko bernama Toko Soerabaia. Toko itu merupakan toko serba ada yang paling besar dan lengkap pada masanya. Macam-macam barang kelontong dan pakaian dijual disana. Pemiliknya bernama tuan Kimkim adalah salah satu orang paling kaya di Cimahi saat itu.

Samar-samar teringat dalam kenanganku sekitar tahun 60’an. Ketika stasiun TVRI baru saja diresmikan pemerintah, tuan Kimkim adalah orang Cimahi pertama yang memiliki televisi. Pesawat televisi hitam-putih itu sengaja ia ditaruh di atas loteng menghadap ke jalan raya. Sontak saja penduduk kota Cimahi saat itu berduyun-duyun keluar dari gang-gang tempat tinggalnya untuk menonton televisi. Penduduk menyemut sepanjang jalan menyaksikan Bung Karno berpidato di Pekan Olahraga Ganefo. Semua orang tampak melongo menyaksikan kotak 'gambar idoep' itu untuk pertama kali.

Diseberang Toko Soerabaia ada tukang pangkas rambut “Noto”. Tukang pangkas rambut Noto adalah tukang pangkas rambut yang paling top dan bergengsi di Cimahi yang  sudah ada sejak jaman penjajahan Belanda. Tentara-tentara Belanda dan sinyo-sinyo biasa bercukur disana. Hanya sedikit saja warga pribumi yang sanggup bercukur disana karena ongkosnya terbilang mahal. Menurut cerita dari Oma Lien, sinyo-sinyo biasanya bercukur pada sore hari dengan naik dokar atau menunggang kuda, kemudian malamnya dilanjutkan dengan dansa-dansi di beberapa rumah sepanjang jalan Kareli (sekarang depan Kodim). Ketika itu kendaraan pribadi milik orang kaya adalah dokar. Sedangkan vracht-auto atau mobil cuma bisa dimiliki orang-orang super kaya di Batavia, Soerabaia atau Bandoeng.

Pangkas rambut “Noto” sekarang ini masih tetap buka meski sudah pudar cahaya kejayaannya. Pelanggan setianya masih ada tapi kebanyakan orang yang lanjut usia. Terakhir aku berkunjung kesana, warna furniture-nya meski sudah kusam-kusam disaput debu tapi masih tetap bertahan menembus jaman. Pak Noto sudah lama meninggal, begitu juga anaknya. Sekarang yang memegang usaha pangkas rambut "Noto" adalah keturunan generasi ketiga dari pak Noto.

Tidak jauh dari pangkas rambut Noto, ada jalan memotong ke arah barat. Namanya Jalan Lurah. Kenapa dinamakan Jalan Lurah? Konon, dulu daerah sekitar itu bernama Tjibolang. Di pertengahan jalan itu ada kantor kelurahan yang merupakan pusat pemerintahan desa Cimahi yang amat luas membentang dari Jambudipa, Cisarua sampai ke Leuwigajah yang dipimpin oleh lurah bernama pak Aman. Lurah Aman ini dikenal sebagai pemimpin yang bijaksana dan dicintai rakyat. Puluhan tahun lurah Aman memimpin Cimahi. Waktu jaman PKI beliau membuat kekhilafan kecil, yaitu memberikan KTP kepada seorang warga yang terindikasi PKI. Pak Aman pun ditangkap dan ditahan di Ubug sampai meninggal. Kecintaan masyarakat pada beliau tidak pernah surut sehingga nama jalan Cibolang pun diganti namanya menjadi Jalan. Lurah Aman. Namun pada jaman Orde Baru, nama Aman pelan-pelan menghilang, sehingga sekarang tinggallah nama Jalan Lurah.

Daerah Cibolang pada jaman dulu terkenal sebagai tempat pelesiran para lelaki hidung belang. Ada tiga pelacur bersaudara yang paling top di Cibolang,  yaitu Roekiah, Roeslinah dan Roesminah yang dijuluki Euis Manis Van Tjibolang. Wajahnya yang setengah indo dan senyumannya legit itu sanggup merontokkan hati setiap lelaki. Mereka bertiga diasuh oleh seorang germo yang tak lain adalah ibunya sendiri! Konon, para  pelanggannya adalah jenderal-jenderal dari Jakarta, sementara para hidung belang lokal yang berduit tipis hanya bisa menelan ludah saja membayangkan wajah si 'Euis Manis' ini.

Sumber:  https://nokiding.wordpress.com/

Monday, October 5, 2015

Dari Nonton Bisokop Sampai Hantu Santiong (Cimahi di Masa Lalu #2)

Oleh: Mas Wid

Sejak dulu Alun-alun Cimahi sudah jadi pusat keramaian. Masjid Agung belum ada. Di tempat ini dulu sebagai terminal oplet jurusan Bandung. Rutenya hanya pulang pergi: Alun-alun Bandung - Alun-alun Cimahi. Sedangkan jalan-jalan lain di Cimahi belum ada yang dilewati mobil angkutan umum kecuali delman. Oplet sesungguhnya adalah mobil sedan buatan Eropa, tapi karoserinya di vermaak habis sehingga bisa muat banyak penumpang. Sebagian karoserinya terbuat dari plat besi, tapi banyak pula yang dibikin dari kayu.

Disekitar Alun-alun Cimahi ada tiga bioskop sebagai tempat hiburan paling top ketika itu, yaitu bioskop Harapan (sekarang toserba Ramayana), Rio Theater dan bioskop Nusantara atau biasa disebut misbar (gerimis bubar) di jalan Babakan. Diantara ketiganya, bioskop misbar Nusantara-lah yang paling murah ongkos karcisnya, sekaligus banyak meninggalkan kesan bagiku. Ketika itu hiburan yang paling keren adalah nonton film di bioskop. Aku lahir di tengah-tengah keluarga yang pas-pasan sehingga sangat susah bagiku untuk membeli karcis. Kalau sudah kepingin betul nonton film, maka sejak jam empat sore aku sudah menyelinap dan bersembunyi di dalam bioskop bersama teman. Begitu penonton yang resmi sudah masuk jam 7 malam, maka kami pun baru keluar dari persembunyian dan menggabungkan diri bersama penonton yang lain.

Bila malam minggu tiba, akang-akang dan euceu-euceu yang masih lajang akan pergi ke bioskop secara berombongan. Kang Atang, kang Dudu, Kang Nana pergi berombongan dengan ceu Kokom, ceu Yati dan ceu isah sedangkan yang sudah punya pacar memilih pergi berduaan. Pakaiannya tentu saja celana cutbray yang bagian bawahnya lebar menyapu jalan. Yang uangnya berlebih memilih Rio Theatre, sementara buat yang uangnya pas-pasan, nonton film di bioskop misbar sajalah sudah cukup. Seingatku saat itu harga karcisnya Rp. 250,- untuk tiga film.

Jika film sudah mulai diputar, keadaan di dalam bioskop misbar menjadi riuh rendah oleh teriakan dan suara 'suit-suit'. Demikian pula kalau ada adegan ciuman atau kalau jagoannya menang berkelahi. Para penontonnya duduk di atas bangku tembok memanjang dan sebagian lain memilih tempat di sudut-sudut yang gelap, kadang berbau pesing. Film yang paling digemari apalagi kalau bukan film India. Raj Khapoor, Amitabh Bachan dan Hema Malini adalah bintang-bintang yang kesohor waktu itu.

Bioskop 'Misbar' juga merupakan tempat mangkal para 'kupu-kupu malam' kelas murahan beroperasi mencari mangsa lelaki hidung belang. Dengan suaranya yang dibikin manja, mereka menyapa, “Hayu atuh Kang kita maen, barang sekocok dua kocok”. Apabila si akang setuju maka mereka berdua segera menyelinap ke dalam gelap. Waktu itu aku masih terlalu kecil untuk mengerti, sehingga peristiwa mesum itu tidak meninggalkan kesan apapun.

Apabila hujan turun para penonton berlarian ke pinggir tembok mencari tempat berteduh, dan ketika hujan sudah reda mereka kembali menyebar ke tengah. Aku sangat senang kalau cuaca sedang terang. Sambil mendongakkan kepala di dalam bioskop misbar, aku memandang bintang-bintang bertaburan di langit. Besoknya sudah pasti akupun akan jadi bintang di sekolah, bercerita tentang film yang aku tonton. Teman-teman yang lain seperti bergantung pada bibirku mendengar aku bercerita.

Menurut sebagian orang, konon di dalam gedung bioskop misbar ada hantunya. Pernah ada cerita seorang pemuda berkenalan dengan gadis yang sangat cantik. Diceritakan, mereka kemudian jalan berduaan ke rumah si gadis tersebut dengan hati berbunga-bunga. Rumahnya kelihatan bagus sekali dan pemuda itu menginap semalam disana. Dan ketika terbangun pada esok paginya, ternyata pemuda itu didapati sedang tidur sambil memeluk sebatang pohon di tengah-tengah kuburan Santiong (kuburan Cina). Pemuda itupun kemudian lari terbirit-birit sambil terkencing-kencing. Benar tidaknya Wallahu’alam.

Lewat jauh malam pemutaran film selesai. Para akang dan euceu kembali pulang berombongan. Di sepanjang jalan mereka terus memperbincangkan cerita film yang barusan ditontonnya. Apabila ada yang salah mengerti tentang jalan cerita, maka yang lain mentertawainya beramai-ramai. Sesampai di rumah biasanya mereka duduk-duduk dulu di teras melanjutkan obrolan sambil mencari-cari barangkali ada tukang bajigur yang sedang kebetulan lewat. Jika sudah puas baru berangkat tidur.

Sekarang bioskop misbar Nusantara sudah lama tutup. Di depannya dibangun Masjid. Katanya untuk mencegah maksiat. Cuma bioskop Rio yang masih bertahan. Sekalipun bangunannya sudah lama tutup tetapi kenangannya masih tetap hidup dalam angan-anganku

Sumber: https://nokiding.wordpress.com/

Permainan Masa Kecil dan Sorban Palid (Cimahi di Masa Lalu #3)

Oleh: Mas Wid

Pertengahan tahun 60-an. Aku masih SD. Sore hari selepas Maghrib adalah saat-saat menyenangkan bagiku. Bersama teman-teman bermain di halaman, dibawah bulan purnama yang bersinar bulat terang. Macam-macam permainan waktu itu. Yang perempuan bermain oray-orayan, sasalimpatan atau loncat tali.Sementara anak laki-laki bermain galahsin, sorodot gaplok, ucing bancakan atau yang lainnya. Sementara kami bermain, bapak dan emak duduk di teras rumah. Emak memangku adik yang kecil dan bapak membaca buku sambil ngobrol dan mendengarkan radio tabung. Kadang berita, kadang lagu-lagu Sunda yang dinyanyikan oleh penyanyi top kala itu yaitu Upit Sarimanah dan Titim Fatimah> Lagunya berjudul "Sorban Palid".

kaso pondok kaso panjang
kaso ngaroyom ka jalan
sono mondok sono nganjang
sono patepang di jalan


Kami bermain dengan gembira. Alat permainan tidak pernah beli, kami hanya memungut apa saja yang ada di halaman untuk dijadikan mainan. Buah haremis, pecahan genteng untuk uang-uangan, biji asem, biji salak yang diukir jadi cincin atau paku dilindas kereta api sebagai pedang-pedangan, semua bisa jadi barang mainan.

Sekali-sekali di hari minggu aku dan teman-teman pergi piknik. Berbekal nasi di rantang kami bersama berjalan ke taman Kartini. Sesampai di sana kami ngariung makan bersama dibawah naungan pohon beringin tua yang berumur puluhan tahun. Taman warisan Belanda itu samapai kini tetap terawat asri.

Kadang-kadang kami ber-vakansi ke tempat yang lebih jauh, ke Curug Panganten atau Curug Cimahi. Itupun ditempuh dengan jalan kaki beramai-ramai menyusuri kampung Kandang Uncal, Ciuyah hingga tembus ke Cisarua. Sepanjang jalan ketika itu nyaris tidak ada bangunan tembok, hanya rumah panggung berkelompok-kelompok kecil. Sepanjang perjalanan yang tampak sawah, kebun sayuran, kebun bambu dan hutan-hutan kecil. Hijau dan hijau sejauh mata memandang.

Sumber:  https://nokiding.wordpress.com/

Sumur Bor Tua Peninggalan School Opleiding Parachute

Pintu masuk. "ANNO 1916"
 Berawal dari sebuah foto lama dokumentasi KITLV. Di dalam foto itu seorang anggota pasukan School Opleiding Parachute (SOP) sedang latihan terjun di sebuah lapangan (terrein). Tampak di kejauhan sebuah bangunan putih berbentuk silinder berdiri tegak.Ya, itu dia Sumur Bor. Sebelumnya pernah dengar tentang keberadaan sumur bor ini tetapi belum melihat secara dekat, akhirnya siang itu saya menuju lokasi sumur itu. Letaknya sekarang berada di belakang komplek perumahan dinas KPAD Sriwijaya (jalan Pojok Selatan). Sebagai kota Garnizun KNIL untuk menunjang suplai air ke dalam tangsi-tangsi, di Cimahi didirikan beberapa titik sumur bor yang dilengkapi dengan bangunan unik. Salah satunya berada di jalan Pojok Selatan Cimahi.

Didepan pintu bangunan sumur bor terdapat tulisan "Anno 1916" yang artinya bangunan sumur bor tersebut dibangun pada tahun 1916. Beberapa ornamen berbahan kayu masih asli, termasuk pintu masuk yang terdiri dari dua daun pintunya. Di samping sebelah bawah bangunan terdapat sebuah plakat bertuliskan + 8,00 TP. Rasa penasaran saya untuk melihat kedalam sumur itu agak terhambat karena pintu di tutup dengan cara dipaku secara permanen. Ya, dipaku! Tak hanya itu, bagian bawah pintu masuk ke dalam bangunan dipasang sebuah palang terbuat dari papan dan di sekelilingnya juga dipaku. Tapi ternyata masih terdapat sebuah celah diantara daun pintunya.

Saya kemudian menengok kedalam melalui celah itu. Di dalamnya tampak agak gelap, tetapi sinar matahari masih menerobos masuk sedikit pada bagian atasnya yang terbuka. Dari celah itu saya pun bisa melihat dengan jelas bagian dalamnya. Di sana ada terdapat sebuah pipa besar menancap ke tanah. Sepertinya pipa itu adalah pipa untuk mengalirkan air sumur, dan di sebuah sudut ada terdapat sebuah blok besi berbentuk kotak berukuran besar. Sepertinya sebuah mesin tua yang teronggok. Saya coba mengelilingkan pandangan untuk melihat sekelilingnya. Beberapa sudut terlihat sangat gelap. Tiba-tiba nafas saya terasa sesak. Akhirnya saya mundur perlahan dan menyudahi kunjungan.

Sumur Bor
Plakat

 )* Sumber:
Teks dan foto: Iwan Hermawan
 https://www.facebook.com/groups/TjimahiHeritages/

Foto: https://www.facebook.com/photo.php?fbid=10203455560308233&set=pcb.10203455573748569&type=3&theater

Dr. Johannes Leimena

Dr. Johannes Leimena
 Dr. Johannes Leimena. Pahlawan nasional asal Ambon, Maluku. Ia menjabat sebagai menteri selama 21 tahun berturut-turut, sejak Kabinet Sjahrir (1946) sampai Kabinet Dwikora II (1966). Ternyata om Yo, panggilan akrabnya, pernah tinggal di Cimahi walau tak sampai setahun. Saat sekolah dasar, om Yo dekat dengan pamannya, Jesaya Lawalata, seorang guru di Ambonsche Burgerschool. Tahun 1914. Jesaya mendapat promosi sebagai kepala sekolah di Cimahi.

Leimena kecil nekat menyelundup ke dalam kapal laut yang akan membawa sang paman dan keluarganya ke Surabaya. Dari Surabaya, perjalanan ke Cimahi ditempuh memakai kereta api. Di Cimahi, Jesaya Lawalata menjadi kepala Sekolah “Ambonsche School” (Kini menjadi SMP 1 Cimahi). Sekolah ini hanya menerima murid–murid dari kalangan tentara di kota tentara itu. Tapi Johannes Leimena tidak disekolahkan di situ sekalipun pamannya adalah kepala sekolahnya. Kedatangan mereka di Cimahi jatuh pada pertengahan tahun ajaran sehingga anak-anak Bapak Lawalata itu tidak diperkenankan menjadi murid. Selama berada di Cimahi ia dan anak-anak Bapak Lawalata mendapat pelajaran dari pamannya di rumah. Selain itu keluarga Lawalata tidak lama berada di Cimahi, hanya kira-kira sembilan bulan saja. (*)

*) Sumber: Machmud Mubarok
https://www.facebook.com/groups/TjimahiHeritages/