Monday, March 16, 2015

Bioskop Rio Theatre

Gedung Rio Theatre
Satu persatu bisnis hiburan yang berupa tontonan film yang diputar di gedung-gedung bioskop di Cimahi mengalami kemunduran teratur hingga akhirnya sama sekali tersungkur dalam kebangkrutan. Salah satu faktor pendorong bangkrutnya pengusaha bioskop diakibatkan perubahan zaman dengan arus teknologi yang kian tak terbendung. Fasilitas bioskop yang memutar sebuah film itu diadakan demi sarana hiburan yang ditonton secara kolektif, lambat laun zaman tidak lagi menghendaki jenis hiburan yang berupa tontonan ini ditonton secara bersama. Ia menghendaki sebuah privatisasi. Dan kehadiran fasilitas elektronik yang berupa pita-pita video atau kepingan cakram-cakram yang berjenis DVD atau VCD mulai menginvasi ruang pribadi.

Tak ada lagi poster-poster film ukuran raksasa yang menggoda mata terpasang di dinding bioskop. Tak ada lagi antrian dimuka loket demi selembar karcis masuk. Tak ada lagi bangku-bangku kayu yang keras bersaf-saf memanjang memenuhi seruang gedung bioskop. Tak ada lagi tercium bau pesing di toilet bioskop yang kondisinya memang apa adanya. Tak ada lagi suitan-suitan heboh ketika beberapa adegan panas terpampang di layar. Tak ada lagi sensasi berdebar ketika lampu penerang utama mulai dipadamkan tanda film akan segera diputar. Tak ada lagi kegembiraan sederhana di tiap penonton ketika film usai. 

Gedung Rio yang menjadi pusat perdagangan handphone
Begitulah kesan gambaran atas sepotong ingatan bagi siapa saja yang pernah mengalami menonton film di bioskop. Dan salah satu bioskop di Cimahi yang pernah menyimpan kenangan bagi sebagian warga Cimahi itu salah satunya adalah bioskop Rio Theater. Gedung bioskop Rio Theatre bergaya Art Deco yang terletak di alun-alun Cimahi itu adalah salah satu dari perusahaan bioskop yang dimiliki F.A Busse. Selain bioskop Rio Theatre, di kota kecil ini sebetulnya masih terdapat dua bioskop yang lain, yaitu bioskop Harapan atau lebih dikenal dengan Cimahi Mekar yang sering disingkat ‘Cimek’ yang letaknya tidak jauh dari Rio Theatre dan bioskop Misbar Nusantara yang berada di Jalan Babakan.

Ketiga bioskop itu kini sudah tinggal nama. Yang tertinggal hanya bangunan gedung-gedungnya saja yang masih tersisa. Karena dinilai sudah tidak bisa lagi memberikan keuntungan komersil, maka gedung-gedung bioskop itu mulai berubah fungsi. Bioskop Harapan atau Cimahi Mekar kini menjadi pusat perbelanjaan Ramayana, dan bioskop Rio Theater menjadi pusat perdagangan telepon seluler. 

Jangan bayangkan film-film yang diputar di Rio Theatre itu adalah film-film canggih buatan Hollywood. Film-film yang paling mendominasi dan sering diputar disana adalah film-film made in Indonesia, India dan film-film cerita silat dari negeri Tiongkok. Sebut saja film Indonesia yang pernah membuat saya terkagum-kagum dan senantiasa terbayang-bayang adalah Angling Darma, Saur Sepuh, Serigala Jalanan dan Tutur Tinular. Saya masih bisa membayangkan betapa girang dan sentosanya perasaan ini usai menonton film di bioskop Rio Theatre



.

Saturday, March 14, 2015

Dalem Tawanan Djepang - Nio Joe Lan

 
Ketika riwayat Hindia Belanda baru saja tamat, Indonesia kembali di jajah oleh sesama bangsa Asia yang menebar teror kekerasan dan kesengsaraan singkat tapi mematikan. Tidak banyak dokumentasi yang mengisahkan suasana kehidupan secara personal ketika Indonesia berada dalam penjajahan Jepang, kecuali catatan-catatan sejarah yang penuh diplomasi-diplomasi penyerahan kedaulatan dan kecamuk pertempuran-pertempuran Perang Pasifik menjelang akhir Perang Dunia II atau heroisme-heroisme yang tercetak di dalam teks roman. Sedikit sekali dokumen yang mengisahkan kehidupan manusia yang menderita lahir batin ketika berada di dalam kamp konsentrasi Jepang yang ditulis oleh seorang saksi sejarah yang pernah menjadi tawanan militer Jepang, bahkan dengan gaya memoar atau catatan harian.

Dalem Tawanan Djepang merupakan sebuah dokumen langka yang mengabarkan kengerian ketika titik nadir hidup manusia berada dibawah tindasan-tindasan sepatu lars dan bayonet serdadu Jepang. Buku ini ditulis oleh Nio Joe Lan (1904 – 1973), seorang jurnalis Tionghoa yang bekerja untuk surat kabar Keng Po, Sin Po dan majalah Penghiboer. Untuk buku memoarnya ini secara eksplisit Nio Joe Lan memberi anak judul Penoetoeran Pengidoepan Interneeran Pada Djaman Pendoedoekan Djepang yang lebih mirip sebagai sebuah gugatan. Dan Nio sendiri memang menjalani kehidupan sebagai interniran di tiga kamp tawanan Jepang: Bukit Duri (26 April 1942 – 9 September 1943), Serang (9 September 1943 – 15 Februari 1944) dan Cimahi (16 Februari 1944 – 27 Agustus 1945).

Buku ini pertama kali di cetak dan diterbitkan oleh Lotus Co pada 1946, dan 62 tahun kemudian buku ini di cetak ulang dan diterbitkan oleh penerbit Komunitas Bambu pada tahun 2008. Sebuah rentang waktu yang panjang nasib sebuah dokumen sejarah agar bisa dibaca ulang setelah melewati puluhan generasi. Seperti yang dikatakan Nio, “Ini boekoe ada menoetoerken pengidoepan itoe, satoe pengidoepan loear biasa jang ada djadi boentoet dari Perang Tiongkok – Djepang + Perang Pacific”. Buku ini kian menjadi unik dan berharga karena ditulis dengan masih memakai bahasa yang dikenal sebagai bahasa Melayu Lingua Franca. Dengan begitu, kita akan merasakan langsung suasana pada suatu zaman dimana bahasa, kosakata dan istilah serapan yang pada tahun-tahun kemerdekaan lazim disebut sebagai bahasa dan dialek Melayu Tionghoa.

***

Sebelum menjadi penulis Nio Joe Lan pada awalnya hendak bercita-cita menjadi teknisi pesawat terbang, karena pada tahun 20-an profesi itu dinilai masih sangat langka. Namun ketika ayahnya meninggal dan perusahaan batik milik ibunya bangkrut akibat kena tipu, nasibnya mempertemukan dengan sebuah jalan sunyi sebagai penulis. Awalnya Nio melamar pekerjaan sebagai wartawan majalah Penghiboer. Kemudian pada tahun 1928 hingga 1934 Nio bekerja pada surat kabar Keng Po sebagai pemimpin redaksi, dan kemudian pindah ke surat kabar Sin Po hingga 1942. Harian Sin Po adalah koran yang kuat dalam wacana gerakan kebangsaan dan opini politik Pro-Tiongkok, akan tetapi tulisan-tulisan Nio justru tidak menunjukan keterlibatannya dalam politik, melainkan Nio sering menulis soal-soal kebudayaan. Ketika Jepang berkuasa, khusus bagi warga Tionghoa, Jepang hanya akan melakukan tindakan keras terhadap mereka yang dianggap pro-Chungking dan anti-Jepang. Yang masuk ke dalam daftar tawanan itu termasuk para opsir Cina, pemuka warga Pecinan dan jurnalis. Namun begitu Nio tetap saja ditangkap dan dijebloskan ke dalam kamp tawanan Jepang, meskipun pada akhirnya Nio tidak pernah terbukti melakukan perlawanan anti-Jepang. “Memang soedah diramalken terlebih doeloe, ini akan mempoenjai boentoet-boentoet bagi pamoeka-pamoeka dan journalist-journalist Tionghoa jang telah toeroet ambil bagian atawa toendjang pergerakan kebangsahan”, tulis Nio.

Berbekal naluri jurnalistiknya, Nio mengamati dan meneliti sekaligus mengalami sendiri suasana kehidupan sebagai tawanan yang kemudian ia tulis dengan sangat teliti di dalam buku hariannya. Hari-hari pertama menjadi tawanan di penjara Bukit Duri, Nio jalani dengan sangat berat mengingat ia harus meninggalkan istrinya yang baru saja lima hari melahirkan. “Jang saja koeatirken di itoe waktoe ada kesehatan saja poenja istri, jang baroe bersalin 5 hari dan di itoe waktoe masi belon boleh bangoen dari pembaringan”, tulisnya. Nio Joe Lan tentu tidak sendirian. Selain orang-orang Tionghoa sipil asal Batavia, Semarang, Pekalongan, Cikampek, Karawang, Bandung, Surabaya, Bogor dan Cianjur ada juga beberapa pembesar-pembesar Tionghoa dari anggota Kuo Min Tang yang masuk ke dalam buku daftar Jepang untuk ditangkap. Termasuk Ling Ying Chen redaktur Sin Po tempat Nio bekerja, Dr. Kwa Tjoan Sioe yang kelak menjadi pendiri Rumah Sakit Husada, juga mayor Tionghoa terakhir, Khouw Kim An.

Para pembesar-pembesar Tionghoa yang biasa hidup mewah itu seketika mengalami fase-fase kehidupan yang serba tidak enak dan sengsara di penjara Bukit Duri. Di penjara ini bukan saja terdiri dari warga Tionghoa, tetapi orang-orang Belanda juga ikut dijebloskan ke dalam penjara Bukit Duri. Para tawanan itu dimasukan ke dalam sel-sel sempit berukuran 2 x 1 meter yang seharusnya diisi satu orang, saat itu diisi oleh tiga orang tawanan. Nio melukiskan, jika pada waktu malam menjelang tidur para tawanan tidur berhimpitan. “Tidoer bertiga dalem satoe cel jang sebenernja tjoema ada boeat 1 orang sadja tida oesah dikata lagi ada amat tida enak. Tidoer begini sering orang poenja toelang kering dapet loeka, sebab di waktoe malem orang hantem pinggiran tadjem dari itoe tempat tidoer cement”.

Sejak awal, alasan Jepang menangkap dan memenjarakan warga Tionghoa tentu berbeda dengan orang Belanda. Jika warga Tionghoa memang sudah dianggap musuh Jepang, maka penangkapan atas orang Belanda selain sebagai bangsa yang harus diperangi karena melakukan praktek kolonialisme juga didasarkan pada alasan rasial, yaitu hanya karena orang Belanda berkulit putih. Di dalam penjara Bukit Duri terjadi diskriminasi antar sesama tawanan, terutama tawanan orang Belanda dalam hal soal makanan. Jika tawanan Tionghoa hanya diberi jatah makan nasi dan air kangkung dalam satu hari, tawanan Belanda sudah diberi sarapan roti di pagi hari, semangkuk sup siang hari dan nasi beserta sup di malam hari. Mendapat perlakuan yang berbeda tersebut, para tawanan Tionghoa yang diperantarai Tan Tjong Lim menuntut komandan Jepang supaya diperlakukan sama seperti tawanan Belanda dalam soal makanan. Bukannya tuntutan itu dikabulkan, para tawanan Tionghoa malah diberi hardikan: “Kaoe orang poenja keadahan tida bisa dipersamaken dengen keadahan orang koelit-poeti. Kaoe orang ada orang jang dimasoeken di dalem lisjt sebagai moesoeh-moesoeh, tapi marika-marika ditangkep meloeloe kerna marika ada orang koelit-poeti”.

Selain makanan, yang selalu menjadi masalah bagi para sesama tawanan penjara Bukit Duri adalah soal mandi. Jika sebelum menjadi tawanan, Nio beserta tawanan lain tentunya punya hak pribadi dalam soal mandi. Tapi setelah berada dalam penjara, hak-hak pribadi sebagai manusia beradab dihilangkan oleh aturan-aturan bikinan Jepang. Jika dulu mandi dilakukan dikamar mandi tertutup dirumah masing-masing, di penjara Bukit Duri semua tawanan harus telanjang dan mandi bersama-sama di dalam sebuah kamar. Sesuatu yang dinilai tabu pada zamannya. “Boeat mandi bermoela banjak orang moendoer-madjoe. Di roemah kita biasa mandi dikamar-kamar tertoetoep, kita biasa pake handdoek, tapi di Boekit-Doeri kita boekan mandi kamar mandi, tapi di zaal mandi. Kita mandi berbareng dengen sama banjak orang dan dengen telandjang!”

***

Pada hari Kamis tanggal 9 September 1943 tawanan dari penjara Bukit Duri berakhir. Setelah 1 tahun 4 bulan 14 hari para tawanan menjadi interniran di penjara Batavia, kemudian dipindahkan ke Serang. Nio Joe Lan kembali menjadi tawanan di Serang sejak 9 September 1943 sampai 15 Februari 1944. Segala duka dan kesengsaraan yang pernah dialami selama di penjara Bukit Duri tentu meninggalkan kesan yang membekas di dalam ingatan dan perasaan Nio. “Slamat tinggal, Boekit Doeri! Biarpoen Boekit Doeri tjoema satoe pemboeian sadja, perpisahan dengen itoe tida loepoet mengharoekan hati…” Atas perintah yang diucapkan komandan Ouimura, para tawanan Serang akan dipindahkan ke kamp internran Cimahi, pada 16 Februari 1944. Perjalanan dari Serang menuju Cimahi dilakukan dengan menumpang kereta, pada malam hari yang disertai hujan gerimis. Selama perjalanan itu tetap saja meninggalkan kesan. “Itoe perdjalanan kreta api di waktoe malem antara pegoenoengan tanah Priangan jang tjantik, jang saja selaloe kagumken dan dengen di oedara ada bermahkota boelan bersisir jang lemboet ajoe, tida nanti saja bisa loepaken”, kenang Nio.

Dan tibalah rombongan para tawanan itu di stasion Cimahi: “Lampoe-lampoe terang di satoe stasioen. Kreta api brenti. Kita dapet prentah boewat toeroen sasoeda doedoek berdesak-desakan 1 hari 1 malem sampe kaki kakoe. Papan bord berboenji: TJIMAHI. Lontjeng statsion oendjoek djam 6 (Nippon) pagi”. Didalam kamp Cimahi para tawanan Tionghoa dicampur dengan para tawanan Belanda. Keadaan di kamp Cimahi berbeda dengan keadaan sewaktu ditawan di Bukit Duri atau penjara Serang. Di Cimahi para tawanan tidak menghuni sel-sel penjara, melainkan tinggal di sebuah rumah. Dengan bercampur baurnya para tawanan Tionghoa dan Belanda yang berjumlah hampir 10.000 orang, para tawanan Cimahi bagaikan hidup di dalam satu kota kecil dengan lalu lintas perdagangan yang ramai. Selain mengerjakan kebun-kebun kecil, untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari para tawanan diperbolehkan untuk berdagang di dalam kamp. Adapun barang dagangan yang diperjualbelikan di dalam kamp itu selain makanan, ada juga yang menjual bakiak, sandal kayu dengan karet atau kulit.

Tidak seperti di dalam penjara lain, di kamp Cimahi masih terpelihara tradisi intelektual yaitu dengan diperbolehkannya para tawanan untuk membaca buku yang diperoleh dari perpustakaan kamp. Bagi yang bisa dan suka bermain musik, kamp Cimahi juga menyediakan fasilitas orkes untuk dimainkan dan dinikmati para tawanan. Di dalam kamp Cimahi juga diadakan pembagian-pembagian kerja menurut kecakapan dan keahlian masing-masing, misalnya ada yang menjadi Medische Dienst (Layanan Dokter), Technisch Dienst (Teknik Layanan), Voedsel Dienst (Layanan Makanan), Financiƫn Dienst (Jasa Keuangan), Bevolking Dienst (layanan masyarakat) atau menjadi Statistieken Dienst (layanan statistik untuk mengumpulkan harta dari orang mati).

***

 Dalam lembar-lembar penutup buku ini, Nio tidak bisa menyembunyikan rasa simpatinya kepada para tawanan Belanda yang kehidupannya jauh lebih terkoyak pasca berakhirnya Perang Dunia dan babak akhir riwayat kolonialisme di Indonesia. Terlebih lagi adalah ketika hari pembebasan tawanan itu tiba pada 27 Agustus 1945, Nio berjumpa dengan salah seorang kenalannya yang mengabarkan bahwa mertuanya telah meninggal beberapa bulan yang lalu. Sebagai sebuah buku sejarah, buku memoar Nio Joe Lan ini sangatlah berharga dan berguna bagi siapa saja yang ingin mengetahui dan menyelami kehidupan interniran di zaman Jepang. Dan Nio Joe Lan sudah menuliskannya dengan sangat teliti, menarik dan menggetarkan.

Sunday, March 8, 2015

Tjisaroea Waterval - Curug Cimahi

Bandoeng Vooruit mempromosikan Curug Cimahi
 Sebagai Akamsi alias 'Anak kampung sini' buat saya Curug Cimahi bukanlah sesuatu yang asing dan istimewa. Saya tinggal di kampung Panyandaan, tidak terlalu jauh dari curug tentu hapal dan tahu betul bagaimana keadaan Curug Cimahi. Apalagi sewaktu masih SMP, saya suka membolos dari sekolah dan menghabiskan waktu dengan bermain air atau menikmati pemandangan Curug Cimahi. Tahun 90-an suasana di sekitar Curug Cimahi memang masih terasa menyeramkan. Apalagi jika sudah menjelang maghrib, nyaris tak ada berani berjalan seorang diri di sekitaran Curug Cimahi.

Kendaraan angkutan pun jika sudah lewat maghrib tidak ada lagi yang berani menaikan penumpang.
Saat itu hampir tidak pernah berfikir jika Curug Cimahi menyimpan sejarah panjang. Yang saya tahu, air yang dialirkan Curug Cimahi berasal dari Situ Lembang. Hanya itu saja. Tapi sekarang ternyata saya menemukan banyak hal di tempat wisata ini. Apalagi sekarang suasana disini tidak seperti beberapa dekade ke belakang, Curug Cimahi yang sepi dan wingit. Dan kini saya mulai banyak menggali informasi dan peranan yang pernah tertoreh tentang eksistensi wana wisata ini.

Entah bagaimana sejarahnya, curug atau air terjun yang berlokasi di kampung Cisarua, desa Kertawangi, kecamatan Cisarua, kabupaten Bandung Barat ini lebih dikenal dengan nama ‘Curug Cimahi’ daripada dikenal sebagai ‘Curug Cisarua’. Apabila kita pernah melihat dua kartu pos lama bergambar air terjun jika yang dimaksud adalah Curug Cimahi, pada selembar kartu pos itu ada tertulis:  “Waterval te Tjisaroewa (Lembang) – Tjisaroewa Falls”. Dan pada selembar kartu pos yang lain ada tertulis: “Waterval bij Tjimahi Preange”.

Di dalam buku berjudul Pedoman Tamasja Djawa Barat yang ditulis R.O Simatupang yang diterbitkan penerbit Keng Po - Djakarta, Simatupang menulis di halaman 32: "Dari Tjimahi dengan melewati Tjisarua anda bisa pergi ke Lembang, hanja sadja djalannja kurang baik. Diantara dua tempat ini terdapat peternakan, perusahaan susu segar, kebun-kebun sajur, air terdjun Tjisarua (tjurug) dengan airnja jang deras dengan menundjukan keangkerannja, Situ Lembang dengan keindahan alam jang menarik dan airnja dingin seperti es. Di bagian lain dari Tjimahi anda bisa pergi ke Tjurug Penganten jang merupakan tjuram yang dalam".

***
Secara geografis, letak posisi Curug Cimahi ini tampaknya memang berada ditengah-tengah jalur perjalanan antara Cimahi menuju Lembang. Atau sebaliknya jika mengikuti geotrek arus air, air yang mengalir di curug ini berasal dari hulu di sebuah situ atau danau yang bernama Situ Lembang, yang kemudian terus bermuara sampai Cimahi. Jika dilihat secara epistimologi, kata Cimahi yang berarti ‘air yang cukup’ memang ada benarnya juga. Sebab debit air yang dialirkan curug ini selalu sama, baik di musim hujan atau musim kemarau.

Apapun tentang asal-usul penamaannya, Curug Cimahi ternyata menyimpan catatan bahwa wana wisata alam ini pernah begitu terkenal pada zaman pra-Indonesia hingga sekarang. Bahkan pada sebuah foto lama ada menggambarkan sebuah kegiatan wana wisata yang dilakukan siswa Hoogere Burger School (HBS) tahun  20-an yang mengunjungi Curug Cimahi.
Siswa HBS berwisata di Curug Cimahi
  
 Kini, wana wisata Curug Cimahi yang memiliki lahan seluas 25,75 hektare ini di kelola oleh Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten, Kesatuan Pemangku Hutan Bandung Utara dan Bagian Pemangku Hutan Lembang, dan yang menjadi daya tarik wilayah seluas itu adalah 7 hektare lahan yang berupa curug atau air terjun alami yang memiliki ketinggian mencapai 70 meter. Lokasi curug yang berada di ketinggian 1.050 meter ini tentu menawarkan sajian pemandangan khas tropis: udara sejuk, pepohonan yang rimbun, burung-burung serta monyet berekor panjang.

Karena tidak ada fasilitas mewah semacam lift atau kereta gantung, maka untuk mencapai curug pengunjung diharuskan menuruni sebanyak 580 anak tangga yang dimulai sejak dari pintu loket, hingga ke bawah tempat dimana lokasi curug berada. Di bawah curug ada terdapat lubuk atau kolam genangan air yang aman untuk berenang-renang. Suasana tropis sangat terasa jika kita sudah berada di bawah. Tumbuhan dan pepohonan yang lebat menyelimuti tebing menimbulkan suasana tenang. Suara air yang jatuh dari atas ketinggian 70 meter itu memberikan nuansa alam yang sejuk.

Pintu masuk Curug Cimahi