Wednesday, August 31, 2016

Menjajal Tank GS 105 di Pusdik Armed

Oleh: Andrenaline Katarsis

Tak ada yang bisa membantah jika Cimahi adalah salah satu kota Garnisun atau tempat kedudukan tentara paling besar dan tua di Indonesia. Sejarah kota Cimahi pun terbentuk dari sejarah Garnisun yang didirikan oleh Kolonel Fishter dan Kapten Strus dari pasukan Zenith Belanda pada tahun 1886. Jika berjalan-jalan ke arah selatan Cimahi, siapapun akan terperangkap dalam atmosfer yang serba militer. Penanda-penanda itu bisa dijumpai lewat beberapa rumah-rumah kopel, kios-kios penjual atribut tentara, instalasi-instalasi militer yang serba berwarna hijau atau loreng, dan bangunan-bangunan tua berarsitektur kolonial yang bisa kita lihat mulai dari jalan pintu masuk utama pertigaan Tagog – Jln. Gatot Subroto hingga ke selatan menuju Baros – Leuwigajah.

Beberapa sisa-sisa bangunan peninggalan Belanda seperti water torren dan replika perangkat keras militer seperti pesawat udara dan laras-laras meriam menghiasi halaman-halaman dan gerbang pusdik, seperti di Pusdikbekang dan Pusdik Armed. Di dalam deretan kompleks bangunan-bangunan pusat pendidikan militer yang sepintas tampak sepi, dingin dan “angker” itulah para prajurit-prajurit terpilih sedang ditempa dalam pendidikan militer demi menghasilkan tentara-tentara nasional terbaik.


Peserta Tjimahi Heritage
Sangat sedikit sekali warga sipil yang tahu isi, sarana dan fungsi pusat pendidikan militer itu dari dekat. Dan beruntunglah sebagian dari warga Cimahi yang tergabung dalam kegiatan wisata militer dan jelajah Pusdik Armed pada hari Minggu (28/08/2016) bersama komunitas Tjimahi Heritage berkesempatan mengunjungi Pusdik Armed di jalan Baros, Cimahi. Dalam acara “Jelajah Pusdik Armed” tersebut puluhan peserta yang terdiri dari gabungan siswa-siswi pelajar, anggota Pramuka dan anggota Tjimahi Heritage sendiri tidak hanya mengamati Pusdik Armed dari luar, tapi semua peserta berkesempatan memasuki komplek Pusdik Armed yang dipandu langsung oleh Kapten Arm. Eri Gunawan dan Sersan Mayor Kawaludin Syam atau lebih akrab dipanggil Pak Otong.

Mengintip “Jeroan” Pusdik Armed

Jam 09.00 pagi puluhan peserta sudah berkumpul dipelataran parkir tangsi Pusdik Armed. Secara bergiliran, peserta diberikan informasi dan pengetahuan tentang sejarah, sarana dan fungsi Pusdik Armed langsung oleh Pak Eri dan Pak Otong. Pusdik Armed seluas 12 hektare itu sendiri adalah salah satu dari markas-markas militer Belanda yang diserahkan secara bertahap kepada Indonesia secara resmi pada 1951 yang sebelumnya digunakan sebagai markas kavaleri Belanda. Antusiasme peserta bisa terlihat dari wajah-wajah yang ingin tahu tentang informasi kemiliteran, khususnya sejarah Pusdik Armed. Pusat Pendidikan Artileri Medan itu sendiri berawal dari depot mobil artileri Hindia Belanda. Istilah artileri secara umum merupakan sebutan untuk persenjataan, pusat ilmu pengetahuan akan kesenjataan atau sebuah pasukan yang dipersenjatai dengan persenjataan-persenjataan berat.

Di Pusdik Armed itulah bisa dijumpai tank, peluncur roket, kendaraan-kendaraan lapis baja dan meriam-meriam berat untuk digunakan sebagai perangkat tempur jarak jauh. Tak terkecuali di Pusdik Armed Cimahi juga menyimpan beberapa meriam dan senjata buatan Swiss, Inggris, Perancis, Jepang dan Amerika. Termasuk sebuah meriam peninggalan VOC bertarikh 1796, meriam “Sapu Jagat” berbahan kuningan buatan tahun 1856 dan beberapa meriam peninggalan Perang Dunia II milik Belanda dan Jepang juga masih tersimpan dan terawat dengan baik. Untuk kebutuhan latihan tempur sehari-hari, prajurit Pusdik Armed biasanya menggunakan meriam 76 milimeter yang berbobot 720 kilogram buatan Yugoslavia tahun 1948.

Prajurit Armed

Dalam kesempatan wisata militer tersebut, peserta juga disuguhi demonstrasi pemakaian meriam 76 milimeter yang didemonstrasikan oleh 6 prajurit Pusdik Armed berseragam lengkap. Dengan cekatan keenam prajurit itu membongkar pasang peralatan meriam 76 mm yang dikomandoi langsung oleh seorang ‘Pibak’, pimpinan tembak. Cara mengoperasikan meriam tersebut ternyata tidak sesederhana yang dibayangkan, yaitu masukan peluru ke dalam selongsong meriam, bidik sasaran lalu tembak. Tidak semudah itu. Untuk mengoperasikannya diperlukan perhitungan-perhitungan matematis yang cukup ruwet dan cermat agar tidak terjadi salah sasaran atau yang lebih fatal menghancurkan pasukan kawan sendiri. Itu sebabnya motto prajurit Armed adalah “BIJAK CEPAT TELITI”.

Demi kelancaran mobilitas sebuah operasi, meriam tersebut didesain dengan sangat efisien, yaitu dengan membongkar dan mencopot bagian-bagian meriam menjadi 8 bagian. Hanya dalam waktu tidak kurang dari 5 – 10 menit saja, senjata tersebut sudah bisa dipasang dan dirangkai kembali menjadi sebuah meriam yang siap ditembakan. Meskipun dalam demonstrasi tersebut tidak disertakan bunyi ledakan atau menembakan mortir sungguhan, namun peserta cukup puas karena mendapatkan pengetahuan secara langsung tantang bagaimana mengoperasikan sebuah meriam tempur.

Menjajal Tank Meriam GS 105

Selain menyaksikan dan memperoleh pengetahuan tentang persenjataan Artileri Medan, peserta diajak berkeliling melihat-lihat barak dan kamar mandi prajurit, water torren peninggalan kolonial, rumah-rumah dinas perwira dan garasi atau tempat dimana tank-tank dan kendaraan lapis baja itu tersimpan. Bahkan beberapa peserta ada yang dengan riang gembira berfoto bersama dengan seorang prajurit yang sedang berjaga di pos depan penjagaan. Senyum-senyum bermekaran, wajah-wajah galak khas tentara pun sirna. Yang tertinggal hanyalah kedekatan antara TNI dengan masyarakatnya.

Sebagai apresiasi pihak Pusdik Armed kepada komunitas Tjimahi Heritage, peserta diperbolehkan untuk mencicipi bagaimana rasanya menaiki meriam yang berbentuk tank 105 Gerak Sendiri. Secara bergiliran peserta menaiki tank dan berkeliling barak. Masing-masing peserta mendapat jatah satu putaran, berikut atraksi-atraksi manuver yang membuat jantung bergetar. Saya sendiri mendapat pengalaman naik tank dengan duduk diatas moncong meriam. Suara tank yang bergemuruh dengan roda-roda bajanya yang mencengkram tanah sungguh menciutkan nyali. Tidak bisa dibayangkan jika seribu tank bergerak serentak memecah kesunyian.

Dengan berlagak sebagai Sersan Don “Wardaddy” Collier yang diperankan Brad Pitt dalam film Fury, saya berfantasi sedang berada dalam sebuah pertempuran tank. Namun khayalan tinggallah angan-angan sebab beberapa peserta lain yang sama-sama ingin mencicipi naik tank sudah menunggu giliran. Saya pun akhirnya merelakan keasyikan saya menaiki tank untuk dipergilirkan kepada yang lain. Naik tank! Ah, kenangan akan cita-cita masa kecil yang tertunda itu baru mewujud tiga dekade kemudian. Disini, di Pusdik Armed Cimahi.

Jelajah Pusdik Armed dalam liputan Pikiran Rakyat


FURY


Penjagaan Pusdik Armed

Kapten Eri Gunawan dan Sersan Mayor Kawaludin Syam

Menjajal Tank Meriam 105 GS


No comments:

Post a Comment