Monday, June 22, 2015

Napak Tilas Ianjo: Saksi Siksa Jugun Ianfu di Cimahi

“Watanabe kasihan kepadaku, tetapi ia terpaksa minta aku melayaninya karena dia membutuhkan seks. Watanabe juga bercerita kalau dia mempunyai dua orang anak perempuan seumuran denganku di Tokyo. Watanabe pernah berkata dengan mata menyala, “Jika anak saya diperlakukan seperti Mardiyem, saya akan bunuh kaisar!”Mardiyem dalam buku Momoye: Mereka Memanggilku

*** 
Selain menyimpan sejarah kamp interniran, Cimahi masih memiliki satu kisah kelam peninggalan Jepang, Ianjo Jugun Ianfu. Pada hari Minggu, 14 Juni 2015, bersama komunitas Tjimahi Heritage saya mengikuti napak tilas jejak sejarah Ianjo Jugun Ianfu di Cimahi. Dari atas tangga Cimall sebagai titik kumpul peserta, kami duduk-duduk menunggu peserta yang lain. Satu persatu teman-teman yang hendak mengikuti napak tilas Jugun Ianfu kemudian datang diiringi senyum yang mengembang. Setelah semua peserta berkumpul, tanpa menunggu lama jelajah Ianjo dimulai. 

Dari pelataran Cimall peserta berjalan kaki menyusuri sebuah jalan kecil menuju jalan Simpang. Tepat di mulut jalan, di depan deretan rumah-rumah kopel kami berhenti. Mata kami tertuju pada rumah kopel yang tampak tua. Deretan rumah-rumah yang dibangun pada jaman Belanda itu adalah asrama para perwira-perwira militer Belanda. Ketika Jepang mulai berkuasa di Indonesia sejak 1942 - 1945, rumah-rumah bekas perwira Belanda itu kemudian dijadikan Ianjo, yang secara harfiah berarti rumah hiburan yang menyediakan perempuan atau rumah bordil militer Jepang. Di dalam Ianjo-ianjo itulah para perempuan-perempuan desa yang masih muda belia dikumpulkan dan dijadikan santapan birahi para serdadu-serdadu Nippon dengan cara diperkosa secara brutal. Bagaimana para perempuan-perempuan muda itu bisa sampai dijebloskan ke dalam Ianjo?

Ianjo di jalan Simpang
Sejak bulan Maret 1942 hingga Agustus 1945 adalah masa-masa para perempuan Indonesia hidup dalam pergulatan bujuk rayu, siksa, pelecehan seksual dan perkosaan. Di masa-masa penjajahan Jepang, hidup sedemikian susah. Untuk memperoleh syarat penghidupan yang berupa pakaian, makanan dan tempat tinggal menjadi sumber penderitaan yang tak ada habis-habisnya. Setiap hari sering dijumpai orang-orang bergelimpangan mati karena kelaparan. Di desa-desa para petani tidak lagi mempunyai hak atas panen. Bahkan beberapa dari pemuda desa harus terperosok ke dalam neraka-neraka kamp kerja paksa Romusha. Sementara di kota-kota, para pelajar harus memusatkan perhatian mereka pada Taisho (gerak badan), Kyoren (latihan baris berbaris) dan Kinrohooshi (kerjabakti) dalam kondisi tubuh yang kurus karena kelaparan dan kurang gizi. Situasi itulah yang membuat para perempuan-perempuan rentan terkena bujuk rayu tentara Jepang untuk ‘diselamatkan’ dengan cara diiming-imingi diberi pekerjaan, dijadikan pemain sandiwara atau pelajar di Tokyo. Pada kenyataannya, mimpi untuk menjadi pelajar atau mendapat pekerjaan yang dijanjikan Jepang itu kandas, sebab ternyata para perempuan-perempuan itu dijadikan Jugun Ianfu.

Ianjo di jalan Kalidam
Jugun Ianfu sendiri secara harfiah berarti perempuan penghibur. Hiburan yang diberikan para perempuan itu bukanlah seperti iming-iming Jepang yang akan menjadikan para perempuan sebagai pemain sandiwara atau seniman, melainkan di jadikan budak seks bagi serdadu-serdadu Jepang. Demi memperoleh pasokan perempuan-perempuan yang bakal dijadikan Jugun Ianfu, para petinggi militer Jepang memerintahkan para tentara Jepang, camat, lurah, bupati dan tokoh-tokoh penting setempat untuk mendata dan mengumpulkan perempuan-perempuan muda untuk kemudian dikirim ke Ianjo-Ianjo yang sudah tersebar di beberapa wilayah tanah jajahan. Di Cimahi, Ianjo-ianjo itu berada di jalan Simpang dan jalan Kalidam. Ada beberapa perempuan yang diserahkan begitu saja oleh para orangtua mereka akibat bujuk rayu Jepang. Sebagian lagi perempuan penghuni Ianjo diperoleh dengan cara penculikan. Dimana saja tentara Jepang menjumpai perempuan, langsung diangkut paksa dan dijebloskan ke dalam Ianjo. Siksaan, tamparan dan pemukulan-pemukulan keji menjadi pengalaman sehari-hari para perempuan Jugun Ianfu. Perempuan-perempuan itu disiksa secara kejam jika menolak melayani hasrat birahi para serdadu. Bahkan ada yang disiksa sampai mati di dalam Ianjo. 

Alasan-alasan militer Jepang mendirikan Ianjo

Kekalahan demi kekalahan selama Perang Pasifik membuat serdadu-serdadu Jepang menjadi gelap mata dan buas. Kondisi mental yang lelah akibat peperangan menjadi pemicu utama stres yang berkepanjangan. Rasa frustrasi itu kemudian dilampiaskan dengan cara melakukan praktek-praktek kekerasan seksual dan perkosaan yang dilakukan serdadu Jepang terhadap perempuan-perempuan di tanah jajahannya. Terjangkitnya wabah penyakit-penyakit kelamin yang diderita para serdadu Jepang akibat perilaku-perilaku seks yang brutal menjadi salah satu faktor penyebab kekalahan Jepang dalam Perang Pasifik. Kondisi itu membuat mental dan fisik angkatan perang Jepang menjadi rapuh dan lemah. Secara perlahan-lahan, jumlah serdadu menjadi berkurang akibat terjangkitnya penyakit kelamin. Situasi ini membuat para petinggi militer Jepang berpikir keras, hingga akhirnya jatuhlah sebuah keputusan untuk mengantisipasi kekalahan perang dan merosotnya kualitas angkatan perang Jepang dengan cara membangun tempat-tempat prostitusi legal yang dibangun di setiap negara jajahan Jepang. Rumah bordil buatan Jepang itulah yang dinamakan Ianjo yang menyediakan Jugun Ianfu bagi tentara kekaisaran Jepang. 

Ianjo pertama di dunia dibangun di Shanghai, Cina pada tahun 1932. Pembangunan Ianjo di Cina itu kemudian dijadikan model untuk pembangunan Ianjo-Ianjo di seluruh kawasan Asia Pasifik.  Sementara Ianjo pertama kali dibangun di Indonesia sejak dimulainya pendudukan Jepang pada tahun 1942 - 1945 yang tersebar diberbagai wilayah seperti Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Jawa, Nusa Tenggara, Sumatera dan Papua. Dengan didirikannya Ianjo, para petinggi militer Jepang memiliki keyakinan kalau pusat-pusat rekreasi seks itu bisa memulihkan angkatan perang Jepang dan terhindar dari penyakit-penyakit kelamin yang diderita serdadu-serdadunya. Dalam hirarki kepangkatan militer, para petinggi Jepang melakukan semacam seleksi menurut kategori ras dan kebangsaan terhadap perempuan-perempuan yang akan dijadikan budak-budak seks. Perempuan-perempuan berkulit putih, keturunan Cina atau wanita-wanita Belanda, dipaksa melayani militer yang berpangkat tinggi. Sementara perempuan-perempuan lokal berkulit coklat yang berasal dari desa-desa diperuntukan bagi perwira-perwira berpangkat rendah.

Jalan Kalidam
Dalam keadaan lemah karena kekurangan gizi dan makanan, perempuan-perempuan itu diperkosa dan dipaksa melayani 5 - 20 serdadu Jepang dalam sehari. Selayaknya aktifitas bekerja, para Jugun Ianfu itu melayani kebutuhan seks Jepang mulai dari jam 8 pagi hingga jam 12 tengah hari. Setelah diberi waktu istirahat selama 1 jam, para Jugun Ianfu itu kembali melanjutkan pekerjaannya melayani birahi serdadu hingga jam 4 sore. Tidak jarang Ianjo itu buka sampai malam hari. Agar perempuan-perempuan Ianfu itu tetap bersih dan sehat ketika melayani tamu Ianjo, mereka diberi obat-obatan pembersih vagina yang didapat dari dokter-dokter khusus. Lebih tragis lagi, jika ada perempuan Ianfu yang kedapatan hamil, dokter-dokter itu akan melakukan aborsi paksa atau malah ada yang disiksa secara brutal hingga keguguran. Luka pedih para Jugun Ianfu itu semakin bertambah karena mereka tidak pernah menerima uang bayaran atau imbalan berupa makanan. Mereka juga tidak diperbolehkan bertemu dengan sanak keluarga. Para perempuan Ianfu itu tidak punya pilihan selain pasrah menerima penderitaan, bahkan ada yang nekad mati bunuh diri di dalam Ianjo karena tidak kuat menanggung cilaka hidup.  

Ema Kastimah, Jugun Ianfu dari Cimahi 

1942. Pada waktu Jepang menduduki Indonesia, Ema Kastimah berusia 17 tahun. Serdadu-serdadu Jepang masuk ke desa Ema dan menculiknya secara paksa. Orang tua Ema tidak berdaya karena ancaman serdadu Jepang. Ema kemudian dimasukkan ke dalam mobil. Dengan didampingi serdadu Jepang, Ema dimasukan ke dalam salah satu rumah yang dijadikan Ianjo yang berada di jalan Simpang. Disana Ema diperkosa dan dipaksa melayani 10 serdadu dalam sehari. Sering kali Emah jatuh pingsan dan tidak sadarkan diri. Tugas Ema hanya khusus melayani serdadu Jepang yang di mulai dari jam 1 siang hingga jam 5 sore. Setelah itu mandi dan istirahat, lalu mulai lagi dari jam 7 sampai jam 9 malam untuk melayani serdadu Jepang yang berpakaian sipil.

 Kebanyakan yang memakai Ema adalah serdadu berpangkat perwira yang bersikap baik. Namun ada serdadu Jepang yang bersikap kasar, biasanya serdadu berpangkat rendah. Setelah beberapa bulan 'bekerja' di jalan Simpang, Ema kemudian dipindahkan ke Ianjo di Jalan Kalidam. Jarak antara Ianjo di jalan Simpang dengan Ianjo di jalan Kalidam cukup dekat sehingga bisa ditempuh dengan hanya jalan kaki. Setiap serdadu yang datang ke Ianjo yang hendak memakai jasa Ema, terlebih dahulu mereka harus membeli semacam karcis.  Karcis-karcis itu bentuknya sebesar kartu domino berwarna coklat. Seusai melayani serdadu Jepang, Emah biasanya diberi semacam obat cair berwarna merah untuk membasuh kemaluannya. 

Makam Ema Kastimah (foto: Yarman Mourly)
Ema diberi hari libur satu hari dalam seminggu. Kesempatan itu digunakannya untuk menengok orangtuanya. Setelah itu Ema harus kembali lagi ke Ianjo di jalan Kalidam. Setelah dua tahun berselang, orangtua Ema baru mengetahui kalau anaknya ternyata bekerja sebagai pelayan birahi Jepang. Mendengar kenyataan itu orang tua Ema hanya bisa pasrah dan menangis. Seringkali orangtua Emah sakit-sakitan selama anaknya berada di Ianjo. Selama disana, Ema tidak bisa melarikan diri karena Ianjo itu dijaga sangat ketat oleh Kempetai atau Polisi Rahasia Jepang. 

Setelah Jepang kalah pada tahun 1945, asrama Ianjo Jugun Ianfu ditutup. Semua perempuan penghuni Ianjo dipulangkan ke rumah masing-masing. Ketika pulang ke rumah, Ema mendapati orangtuanya sedang terbaring sakit akibat memikirkan nasib anaknya ketika berada ditangan Jepang. Beberapa tahun kemudian Ema menikah, tak lama kemudian suaminya meninggal dunia. Sejak keluarga almarhum suaminya mengetahui masa lalu Ema yang bekas Jugun Ianfu, mereka menjauhi Ema dari lingkaran keluarga. 

***
Matahari sudah semakin tinggi. Sudah hampir setengah hari saya beserta teman-teman Tjimahi Heritage (Kang Machmud Mubarok, Teh Ririn NF, Malia Albinia, Kang Dede Syarif, Pak Suyanto, Ibu Yustina dkk) berkeliling menelusuri jalan Simpang, jalan Kalidam dan jalan Gedong Empat sambil bertukar kisah dan senarai sejarah perih tentang nasib para perempuan mantan Jugun Ianfu. Sesekali pikiran saya diterbangkan ke masa-masa ketika Cimahi diduduki serdadu Jepang. Membayangkan derita luka para perempuan-perempuan lugu yang dipaksa melayani hasrat buas para serdadu, menjadi Jugun Ianfu hingga mengalami sanksi sosial berupa pengucilan masyarakat dengan sebutan yang menghinakan, "bekas Jepang". Setelah berfoto bersama, peserta jelajah Cimahi berpamitan pulang dengan membawa hati dan pikiran yang diharu biru.


 

No comments:

Post a Comment