Kisah ini merupakan saduran dari sebuah buku karya Reggie Baay yang diantaranya menceritakan profil kisah kehidupan para nyai dan gundik, antara lain kisah dua orang Nyai yang berlatar belakang tempat di Cimahi. Dua orang nyai tersebut bernama Djoemiha dan Entjih. Buku Nyai dan Pergundikan di Hindia Belanda ini adalah semacam karya penelusuran asal-usul dan riwayat leluhur Reggie Baay yang mana ia sendiri adalah keturunan Indonesia yang didalam dirinya mengalir darah nyai asal Surakarta. Hal ini diketahuinya dari sebuah amplop yang berisi dokumen riwayat leluhurnya yang sangat dirahasiakan setelah ayahnya meninggal. Ayah Reggie Baay adalah buah dari hasil hubungan kakeknya, Louis Henry Adriaan Baay dengan Moeinah.
***
Djoemiha
yang dijadikan ‘Nyai’ oleh perwira KNIL
Djoemiha dan keluarga tahun 1917 |
Dikisahkan
seorang laki-laki bernama Alfred Wilhelm yang dilahirkan di Hamburg, pada 12
Oktober 1886 dari ayah Jerman dan ibu Portugis. Ia pernah mengikuti pendidikan
sebagai masinis kapal uap di pelayaran dan mulai bekerja sekitar tahun 1906 di
sebuah perusahaan pelayaran Jerman. Pada 1910 Alfred Wilhelm tiba di Tanjung
Priok, Batavia. Setiba di Batavia, Alfred memutuskan untuk berhenti bekerja sebagai
masinis kapal pelayaran dan mulai mencoba peruntungan dengan bergabung di
koloni Belanda. Awalnya ia bekerja sebagai pembantu pemeriksa Staatspoorwagen, semacam dinas jawatan
kereta api. Tak lama kemudian ia mengajukan permohonan untuk menjadi warga
negara Belanda dan memutuskan untuk bergabung dengan KNIL. Ia pun diterima.
Alfred Wilhelm kemudian ditempatkan dalam pasukan Zeni di Cimahi.
Di
waktu yang bersamaan, Djoemiha sedang bekerja sebagai pelayan sebuah warung
makan. Di tempat itu Djoemiha sering melihat Alfred yang berkunjung sebagai
pelanggan tetap di warung makan tersebut. Usut punya usut, kedatangan Alfred ke
warung makan itu selain ingin mencari makanan yang lebih baik dari ransum
tangsi, ia juga sedang mencari seorang nyai. Alfred pun kemudian merasa
tertarik pada Djoemiha dan memintanya untuk menjadi pendampingnya. Djoemiha pun
menerimanya. Akhirnya Djoemiha berhenti sebagai pelayan warung makan dan
mengikuti Alfred Wilhelm ke tangsi di Cimahi. Sebagai nyai penghuni tangsi
KNIL, Djoemiha ikut serta dalam setiap pemindahan dan penempatan pasukan di
seluruh Nusantara. Dalam hubungan antara Djoemiha dan Alfred Wilhelm itu
menghasilkan sepasang anak laki-laki dan perempuan yang lahir pada tahun 1915 dan
1916. Selama bertahun-tahun hidup di dalam tangsi KNIL, Djoemiha juga mengambil
peranan penting dalam menyokong pendapatan keluarga, yaitu bekerja sebagai
tukang masak lauk pauk yang dibuat berdasarkan pesanan untuk para serdadu di
dalam tangsi.
Ketika
perang meletus, Djoemiha terpisah dari Alfred. Ia tinggal di luar barak-barak
penampungan dan bekerja keras untuk bisa bertahan hidup. Setelah perang usai,
keluarga ini kembali berkumpul dan hidup bersama di Batavia hingga akhirnya
Djoemiha meninggal dunia pada 29 Maret 1954. Seolah tidak mampu hidup tanpa
Djoemiha, Alfred Wilhelm pun meninggal beberapa hari kemudian, tepatnya pada 4
April 1954.
Gundik
setia itu bernama Entjih
Wanita
itu bernama Entjih yang dilahirkan sekitar tahun 1887 di sebuah desa kecil
dekat Cimahi. Sang laki-laki Eropa itu bernama Popke yang lahir pada 1881 di
desa Wilpgom yang terletak di provinsi Groningen. Untuk pertama kalinya Popke
tiba di Hindia Belanda pada tahun 1901 dan langsung mendaftarkan diri sebagai
serdadu dalam tentara kolonial yang hanya dijalaninya selama enam tahun. Pada
tahun 1907, Popke mengambil cuti panjang yang digunakannya untuk pulang kampung
ke negeri Belanda. Pada 1908, ia menandatangani sebuah kontrak selama enam
tahun yang mengharuskannya kembali lagi ke Hindia Belanda. Selanjutnya ia
tinggal di Hindia Belanda hingga akhir hayatmya. Pada bulan Agustus 1908 ia
tinggal di koloni. Selain sebagai anggota militer, Popke juga membuka usaha
penjilidan buku yang dilakoninya bersama seorang temannya di Bandung.
Pada
suatu hari datanglah seorang wanita bernama Entjih ke tempat Popke untuk
mencari pekerjaan. Saat itu Entjih datang ditemani oleh seorang anak hasil dari
hubungan pergundikan sebelumnya. Popke akhirnya menerima Entjih bekerja
sekaligus menjadikannya seorang gundik. Popke dan Entjih tidak tinggal di dalam
tangsi, melainkan di sebuah rumah yang dijadikan tempat penjilidan buku di
pinggiran kampung. Dari hubungan pergundikan tersebut mereka pun memperoleh
beberapa anak. Setelah kelahiran anak ke empat, Popke kemudian menikahi Entjih.
Dari hasil pernikahannya yang sah tersebut Entjih sudah melahirkan 12 orang
anak, namun dua diantaranya meninggal ketika masih bayi.
Entjih
memiliki sifat penurut, mengalah dan setia kepada Popke suaminya. Begitu juga
terhadap anak-anaknya, Entjih selalu bersikap lemah lembut dan telaten. Entjih
hanya berbicara dalam bahasa Sunda saja, tidak bisa bicara bahasa Belanda.
Dalam menyampaikan ajaran hidup pada anak-anaknya, Entjih selalu menggunakan
bahasa Sunda, misalnya ‘ngéléhan wéh’ yang
artinya “Tidak buruk kalau kamu mengalah” (di buku ini Reggie Baay menulis ‘éléh waé’ yang jika diterjemahkan akan
menjadi rancu, yang artinya ‘kalah saja’ –
peny) dan ‘entong (daék) digéléng’ yang
berarti “Jangan mau diperlakukan sewenang-wenang (ditindas)”.
Popke
meninggal dunia ketika pendudukan Jepang pada tahun 1943 dan dimakamkan di
pemakaman khusus militer Belanda di Menteng Pulo. Entjih ditinggalkan bersama
tiga anak bungsunya. Sesudah kemerdekaan Indonesia, tiga anak bungsunya itu,
bersama anak-anaknya yang lain yang Indo-Belanda itu sudah menjadi dewasa,
pergi ke Belanda. Sementara Entjih tidak mau ikut anak-anaknya ke Belanda dan
memilih menetap tinggal di Indonesia seorang diri.
Pada
15 Desember 1958, Entjih meninggal dunia pada usia 71 tahun dalam kesendirian
di tanah kelahirannya di Cimahi. Tak ada seorang pun anaknya hadir ketika ia
dimakamkan di taman pemakaman umum di Cimahi. Berkat bantuan Oorlogsgravenstichting (Lembaga Belanda
yang mengurus makam para korban perang), Entjih kemudian dikuburkan kembali di dalam satu makam bersama suaminya di pemakaman Menteng Pulo,
Jakarta. Di kemudian hari, diketahui anak-anaknya menangis dalam penyesalan
mereka, “Kenapa kami tidak bisa mengulangnya kembali, banyak sekali yang ingin
kami perbaiki”. Salah seorang putranya kemudian mengatakan sesuatu dalam bahasa
ibunya: “Hampura, ukur sakitu waé”
yang artinya “Maafkan saya. Hanya itu saja yang bisa saya lakukan”. (terjemahan
bahasa Sunda dari penyadur. Reggie Baay menulis: ‘Ampuni saya untuk apa yang tidak
saya lakukan’).
No comments:
Post a Comment