Thursday, June 11, 2015

Cimahi Tempo Doeloe Menyimpan Kisah Nyai


Kisah ini merupakan saduran dari sebuah buku karya Reggie Baay yang diantaranya menceritakan profil kisah kehidupan para nyai dan gundik, antara lain kisah dua orang Nyai yang berlatar belakang tempat di Cimahi. Dua orang nyai tersebut bernama Djoemiha dan Entjih. Buku Nyai dan Pergundikan di Hindia Belanda ini adalah semacam karya penelusuran asal-usul dan riwayat leluhur Reggie Baay yang mana ia sendiri adalah keturunan Indonesia yang didalam dirinya mengalir darah nyai asal Surakarta. Hal ini diketahuinya dari sebuah amplop yang berisi dokumen riwayat leluhurnya yang sangat dirahasiakan setelah ayahnya meninggal. Ayah Reggie Baay adalah buah dari hasil hubungan kakeknya, Louis Henry Adriaan Baay dengan Moeinah.
***

Djoemiha yang dijadikan ‘Nyai’ oleh perwira KNIL 

Djoemiha dan keluarga tahun 1917
 Perempuan itu bernama lengkap Djoemiha Noerawidjojo. Ia berasal dari Gombong. Tidak ada catatan keterangan yang pasti tentang kelahirannya namun Djoemiha diperkirakan lahir pada tahun 1891. Djoemiha adalah salah satu dari ketiga anak keluarga Noerawidjojo yang sederhana. Ayahnya bekerja sebagai petani, sementara ibunya sebagai pengrajin anyaman bakul bambu untuk dijual di pasar. Didorong oleh kondisi ekonomi keluarga yang serba kekurangan, pada tahun 1908 Djoemiha meninggalkan kampung halamannya untuk mencari kerja di Bandung. Setiba di kota Bandung, Djoemiha pun akhirnya memperoleh pekerjaan sebagai pelayan di sebuah warung makan kecil di tepi jalan antara Cimahi dan Bandung. Di warung makan itulah Djoemiha bekerja sebagai pembantu dan melayani para pembeli.

Dikisahkan seorang laki-laki bernama Alfred Wilhelm yang dilahirkan di Hamburg, pada 12 Oktober 1886 dari ayah Jerman dan ibu Portugis. Ia pernah mengikuti pendidikan sebagai masinis kapal uap di pelayaran dan mulai bekerja sekitar tahun 1906 di sebuah perusahaan pelayaran Jerman. Pada 1910 Alfred Wilhelm tiba di Tanjung Priok, Batavia. Setiba di Batavia, Alfred memutuskan untuk berhenti bekerja sebagai masinis kapal pelayaran dan mulai mencoba peruntungan dengan bergabung di koloni Belanda. Awalnya ia bekerja sebagai pembantu pemeriksa Staatspoorwagen, semacam dinas jawatan kereta api. Tak lama kemudian ia mengajukan permohonan untuk menjadi warga negara Belanda dan memutuskan untuk bergabung dengan KNIL. Ia pun diterima. Alfred Wilhelm kemudian ditempatkan dalam pasukan Zeni di Cimahi.

Di waktu yang bersamaan, Djoemiha sedang bekerja sebagai pelayan sebuah warung makan. Di tempat itu Djoemiha sering melihat Alfred yang berkunjung sebagai pelanggan tetap di warung makan tersebut. Usut punya usut, kedatangan Alfred ke warung makan itu selain ingin mencari makanan yang lebih baik dari ransum tangsi, ia juga sedang mencari seorang nyai. Alfred pun kemudian merasa tertarik pada Djoemiha dan memintanya untuk menjadi pendampingnya. Djoemiha pun menerimanya. Akhirnya Djoemiha berhenti sebagai pelayan warung makan dan mengikuti Alfred Wilhelm ke tangsi di Cimahi. Sebagai nyai penghuni tangsi KNIL, Djoemiha ikut serta dalam setiap pemindahan dan penempatan pasukan di seluruh Nusantara. Dalam hubungan antara Djoemiha dan Alfred Wilhelm itu menghasilkan sepasang anak laki-laki dan perempuan yang lahir pada tahun 1915 dan 1916. Selama bertahun-tahun hidup di dalam tangsi KNIL, Djoemiha juga mengambil peranan penting dalam menyokong pendapatan keluarga, yaitu bekerja sebagai tukang masak lauk pauk yang dibuat berdasarkan pesanan untuk para serdadu di dalam tangsi.

Ketika perang meletus, Djoemiha terpisah dari Alfred. Ia tinggal di luar barak-barak penampungan dan bekerja keras untuk bisa bertahan hidup. Setelah perang usai, keluarga ini kembali berkumpul dan hidup bersama di Batavia hingga akhirnya Djoemiha meninggal dunia pada 29 Maret 1954. Seolah tidak mampu hidup tanpa Djoemiha, Alfred Wilhelm pun meninggal beberapa hari kemudian, tepatnya pada 4 April 1954.

Gundik setia itu bernama Entjih

Entjih. Foto diambil sekitar tahun 1940
Wanita itu bernama Entjih yang dilahirkan sekitar tahun 1887 di sebuah desa kecil dekat Cimahi. Sang laki-laki Eropa itu bernama Popke yang lahir pada 1881 di desa Wilpgom yang terletak di provinsi Groningen. Untuk pertama kalinya Popke tiba di Hindia Belanda pada tahun 1901 dan langsung mendaftarkan diri sebagai serdadu dalam tentara kolonial yang hanya dijalaninya selama enam tahun. Pada tahun 1907, Popke mengambil cuti panjang yang digunakannya untuk pulang kampung ke negeri Belanda. Pada 1908, ia menandatangani sebuah kontrak selama enam tahun yang mengharuskannya kembali lagi ke Hindia Belanda. Selanjutnya ia tinggal di Hindia Belanda hingga akhir hayatmya. Pada bulan Agustus 1908 ia tinggal di koloni. Selain sebagai anggota militer, Popke juga membuka usaha penjilidan buku yang dilakoninya bersama seorang temannya di Bandung.

Pada suatu hari datanglah seorang wanita bernama Entjih ke tempat Popke untuk mencari pekerjaan. Saat itu Entjih datang ditemani oleh seorang anak hasil dari hubungan pergundikan sebelumnya. Popke akhirnya menerima Entjih bekerja sekaligus menjadikannya seorang gundik. Popke dan Entjih tidak tinggal di dalam tangsi, melainkan di sebuah rumah yang dijadikan tempat penjilidan buku di pinggiran kampung. Dari hubungan pergundikan tersebut mereka pun memperoleh beberapa anak. Setelah kelahiran anak ke empat, Popke kemudian menikahi Entjih. Dari hasil pernikahannya yang sah tersebut Entjih sudah melahirkan 12 orang anak, namun dua diantaranya meninggal ketika masih bayi.

Entjih memiliki sifat penurut, mengalah dan setia kepada Popke suaminya. Begitu juga terhadap anak-anaknya, Entjih selalu bersikap lemah lembut dan telaten. Entjih hanya berbicara dalam bahasa Sunda saja, tidak bisa bicara bahasa Belanda. Dalam menyampaikan ajaran hidup pada anak-anaknya, Entjih selalu menggunakan bahasa Sunda, misalnya ‘ngéléhan wéh’ yang artinya “Tidak buruk kalau kamu mengalah” (di buku ini Reggie Baay menulis ‘éléh waé’ yang jika diterjemahkan akan menjadi rancu, yang artinya ‘kalah saja’ – peny) dan ‘entong (daék) digéléng’ yang berarti “Jangan mau diperlakukan sewenang-wenang (ditindas)”.

Popke meninggal dunia ketika pendudukan Jepang pada tahun 1943 dan dimakamkan di pemakaman khusus militer Belanda di Menteng Pulo. Entjih ditinggalkan bersama tiga anak bungsunya. Sesudah kemerdekaan Indonesia, tiga anak bungsunya itu, bersama anak-anaknya yang lain yang Indo-Belanda itu sudah menjadi dewasa, pergi ke Belanda. Sementara Entjih tidak mau ikut anak-anaknya ke Belanda dan memilih menetap tinggal di Indonesia seorang diri.

Pada 15 Desember 1958, Entjih meninggal dunia pada usia 71 tahun dalam kesendirian di tanah kelahirannya di Cimahi. Tak ada seorang pun anaknya hadir ketika ia dimakamkan di taman pemakaman umum di Cimahi. Berkat bantuan Oorlogsgravenstichting (Lembaga Belanda yang mengurus makam para korban perang), Entjih kemudian  dikuburkan kembali di dalam satu makam  bersama suaminya di pemakaman Menteng Pulo, Jakarta. Di kemudian hari, diketahui anak-anaknya menangis dalam penyesalan mereka, “Kenapa kami tidak bisa mengulangnya kembali, banyak sekali yang ingin kami perbaiki”. Salah seorang putranya kemudian mengatakan sesuatu dalam bahasa ibunya: “Hampura, ukur sakitu waé” yang artinya “Maafkan saya. Hanya itu saja yang bisa saya lakukan”. (terjemahan bahasa Sunda dari penyadur. Reggie Baay menulis: ‘Ampuni saya untuk apa yang tidak saya lakukan’).

No comments:

Post a Comment