Oleh: Wouter Hobe
Saat itu tahun 1943. Itu terjadi di Tjimahi, sebuah kota di pulau Jawa, sebelumnya bernama Hindia Belanda. Selama Perang Dunia II tentara Jepang menyerbu Jawa dan menahan semua orang kulit putih di dalam kamp-kamp penjara. Kamp adalah bagian dari kota yang dikelilingi kawat berduri dan berdinding bilik, dinding yang terbuat dari anyaman bambu yang membuat Anda tidak bisa melihat keluar. Dinding ini dibuat rangkap sehingga bisa membuat para penjaga bisa melakukan tugas keliling mereka dan mencegah para tawanan menghubungi dunia luar.
Para penjaga yang bertugas adalah tentara Jepang atau tentara Korea yang dipaksa untuk bergabung dengan Jepang. Kemudian mereka bergantian dengan penjaga yang berasal dari Indonesia yang sama-sama dipaksa bergabung bersama tentara Jepang. Mereka itu adalah Heiho. Pasukan Heiho ini direkrut dari romusha, pekerja paksa yang didapat dari penduduk setempat.
Tiga kali dalam sehari kami dihitung. Hal itu merupakan pengalaman yang sangat traumatis. Pertama, itu adalah penghinaan karena kami tidak berbicara bahasa Jepang. Kami belajar cepat untuk taat, karena kalau tidak akan mendapat pukulan. Hal ini disertai dengan berteriak dan melolong. Kami diperlakukan lebih buruk dari anjing.
Ketika seseorang meninggal, jenzahnya ditaruh di luar rumah untuk kemudian dijemput "gagak." Mayat itu kemudian dibungkus dengan anyaman bambu karena tidak ada peti mati, dan dikuburkan pada saat itu juga. Tempat pemakaman itu tidak terlalu jauh dari kamp, tepatnya berada di sebelah kiri kamp. Kami berada kamp terakhir di jalan. Ada berbagai kamp-kamp lain di sebelah kanan kami.
Jadi setiap hari kamp-kamp lain juga melakukan penguburan dengan melewati kamp kami di mana kami tergabung bersama tahanan lainnya. Kadang-kadang ada lebih dari seratus mayat dalam satu hari. Beberapa dari mayat-mayat itu, badannya sudah hancur karena panas dan kekurangan gizi. Kadang-kadang terlihat lengan dan kaki yang terkulai, atau terjatuh dari gerobak. Kami pun mengambilnya, kemudian menaruh kembali tubuh mayat tersebut.
Sarapan kami terdiri dari secangkir kopi yang diseduh di dapur pusat. Sarapan itu dibawa ke dalam kamp yang ditaruh di dalam drum besar yang dipikul oleh dua orang dengan menggunakan sebatang tiang bambu. Dengan cara yang sama, kami diberi semacam bubur yang terbuat dari tepung yang hanya direbus dalam air. Tidak ada tambahan gula atau garam. Jika Anda tidak segera memakannya saripati bubur tepung itu akan terpisah dan tenggelam ke dasar mangkuk. Hanya air yang menggenang diatasnya.
Makan siang kami terdiri dari satu bun roti sehari. Roti ini dipanggang di kamp lain. Tidak ada ragi. Kamp ini terdiri dari sebagian besar orang tua yang jumlahnya mencapai 10.000 orang. Penghuni kamp terdiri dari orang-orang dari berbagai latar belakang; ada ilmuwan, dokter, insinyur, orang biasa, apoteker dan lain-lain. Salah satu dari mereka akhirnya menemukan bahwa air kencing ternyata mengandung vitamin B, dan ragi juga mengandung vitamin B. Sejak itu, sebuah drum besar ditempatkan di dalam kamp dan ditaruh di tempat-tempat tertentu untuk digunakan sebagai tempat buang air kecil. Setelah air kencing ditampung, lalu dibawa ke dapur untuk direbus. Kotoran-kotorannya dibuang, dan sisanya digunakan sebagai ragi untuk memanggang roti.
Makan malam kami terdiri dari nasi dan minum secangkir teh. Saya juga mengeringkan sesendok nasi setiap hari untuk disimpan. Nasi kering tersebut kemudian saya tambahkan air, biarkan mengembang dan memakannya. Kami makan nasi itu ditambah beberapa potong "sayuran." Biasanya sayuran itu terdiri dari daun ubi jalar atau wortel. Tentara Jepang makan ubi manis dan wortel. Kadang-kadang kami juga mendapat ubi tapi kebanyakan ubi busuk. Sampai hari ini saya masih ingat betapa sulitnya makan saat itu. Ada beberapa orang tertangkap ketika menyelundupkan makanan dan Jap dihukum dua hari tidak mendapat jatah makanan. Saya ingat pada hari kedua, ketika saya juga tidak punya apa-apa untuk makan. Hal itu sangat menyakitkan. Kami berguling-guling di lantai karena kram perut.
Saya bingung melihat perilaku Jepang. Apa pun yang terjadi mereka tidak suka, dan kami selalu dihukum. Hal ini berarti bahwa kami tidak akan mendapat makanan hari itu. Jadi untuk mengatasi masalah tersebut, saya menyelamatkan satu iris roti per hari sampai saya kumpulkan menjadi satu kepal roti. Potongan yang saya disimpan kemudian dijemur. Hari berikutnya saya makan itu dan menyelamatkan dua potong. Begitu seterusnya. Semua ini dilakukan secara diam-diam karena jika ada yang tahu bahwa Anda menyembunyikan makanan, mereka akan mencurinya. Semua orang kelaparan, dan Anda tidak mungkin menghukum pencuri roti itu. Jadi saya menyimpan sebuah kotak kecil yang ditaruh di atas bantal yang berisi roti, dan disembunyikan di dalam tumpukan pakaian yang masih saya punya.
Pakaian yang saya miliki itu masih bisa digunakan untuk jual beli. Saya menjual pakaian untuk satu sisir pisang yang berukuran kecil. Untuk mendapatkan itu, saya harus merangkak melalui selokan di malam hari untuk mengelabui penjaga demi bertemu dengan penduduk setempat. Saya makan satu sisir pisang itu sekaligus, dan dengan sendirinya sembuh dari ancaman diare kronis.
Saya kini sangat bersyukur bisa hidup di negeri Kanada, di mana tidak ada perang dan cukup untuk makanan. Disini saya saling menerima satu sama lain. belajar dari satu sama lain untuk kepentingan semua.
Wouter Hobe |
)* Terjemahan bebas ini didapat dari http://www.kumpulana.ca/stories/A_Day_in_the_Life.html
No comments:
Post a Comment