Tuesday, April 7, 2015

Jelajah Kamp Interniran Jepang – Baros 6

Hari Minggu, 5 April 2015, untuk pertama kalinya saya mengikuti acara wisata sejarah bersama komunitas penggiat sejarah Kota Cimahi, Tjimahi Heritages Trail, menapaktilasi lokasi kamp interniran Jepang yang berada di Baros, Kota Cimahi. Setelah sekian kalinya saya bergabung dan berkomunikasi secara virtual, dengan melempar isu sejarah sekaligus menjadi pancingan saya untuk mengetahui sejarah Cimahi melalui grup Facebook Tjimahi Heritages, baru kesempatan inilah akhirnya saya bisa bertemu langsung alias kopi-darat dengan anggota grup. Momen ini menjadi awal yang penting, karena biasanya saya melakukan blusukan ke kota Cimahi sendirian, dengan segala aspek kekurangannya, maka pada kesempatan ini saya aprak-aprakan secara rombongan, tentu saja dengan segala kelebihannya.

Sesuai jadwal acara dimulai jam 08.00 pagi, dengan terlebih dahulu berkumpul di Taman URIP yang terletak di jalan Urip Sumoharjo, Cimahi. Setelah saya memarkir motor di parkiran Rumah Sakit Dustira, saya hanya perlu waktu sekitar 10 menit berjalan kaki menuju Taman Urip. Dari kejauhan saya melihat sudah ada yang berkumpul disana. Saya kemudian mencoba sedikit mengingat-ingat paras wajah-wajah yang biasanya hanya saya lihat di foto grup. Karena interaksi komunikasi saya di grup itu bisa dibilang cukup rutin, jadi hanya ada beberapa wajah dengan mudah bisa saya kenali. Ada Iwan Hermawan, kang Machmud Mubarok, kang Dede Syarif HD, kang Yarman Mourly dan Mochamad Sopian Anshori dan beberapa wajah yang sebenarnya familiar tapi rasanya sulit untuk mengingat sepotong namanya. Acara ini ternyata diikuti juga oleh beberapa siswa kelas VI SD Lingga Budi. Tanpa ada rasa kikuk dan kaku, saya langsung menyalami dan bertukar sapa dengan mereka. 

Ketika dipastikan semua peserta Tjimahi Heritages Trail sudah berkumpul, rombongan mulai bergerak jalan kaki menuju kawasan yang dulu bernama Grasland atau Kebon Jukut. Saya sangat menikmati acara berjalan kaki ini. Jika biasanya saya hanya melihat-lihat suasana Cimahi dengan memakai motor, sehingga pengamatan saya kurang maksimal. Kali ini saya benar-benar bisa mengamati lekuk-lekuk jalan dan rumah-rumah dinas perwira yang bergaya tempo doeloe itu dengan santai. Beberapa spot menarik tentu saja saya potret dari dekat. Di sebuah lapangan kecil, diantara lalulintas yang padat dari dan menuju arah komplek Brigif, rombongan berhenti. Disana kang Machmud Mubarok memberi penjelasan dan pengarahan tentang wilayah yang dinamakan Grasland. Wilayah yang berada di Baros itu pada suatu kurun masa lalu adalah lokasi yang dipenuhi rumput. Karena di wilayah tersebut terdapat kesatuan Kaveleri berkuda, maka kebon rumput adalah lokasi tempat para pencari rumput untuk pakan kuda-kuda Kaveleri.

Kamp Interniran Jepang - Baros 

Lokasi Kamp Baros - Jln. Willemstraat
Ketika masa Hindia Belanda beralih ke pemerintahan Jepang pada 1942-1945, lebih tepatnya ketika Batavia jatuh ke tangan Jepang pada 5 Maret 1942, Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Tjarda van Starkenborgh beserta rombongan pasukannya mengungsi ke wilayah Bandung dan sempat tinggal di rumah Residen Priangan Tacoma atau Gedung Pakuan. Selang dua hari kemudian, Jepang menjatuhkan bom di Gedung Pakuan yang memaksa Tjarda van Stakenborgh angkat kaki. Dari sebuah gedung villa yang berada di  Lammingweg (kini Jl. Sangkuriang No.17 Bandung) Van Stakenborgh meminta gencatan senjata dan bersedia berunding dengan Jepang. Perundingan ini dimaksudkan untuk menghindari penghancuran total yang membabibuta terhadap kota Bandung oleh pasukan Nippon. Dan dimulailah babak sejarah baru: Belanda menyerah tanpa syarat. Sebagaimana lazimnya pihak yang kalah, suka atau tidak suka takdir sejarah telah mengetuk palu kutukan kepada Belanda: diperbudak penguasa Nippon.

Sebagaimana halnya pemerintahan militer fasis Eropa seperti Nazi yang membangun kamp konsentrasi yang berisi para musuh-musuh negara Jerman yang dikonsentrasikan di Polandia, maka sebagai negara sekutu Jerman dan Italia pada Perang Dunia II, Jepang juga membuat kamp konsentrasi bagi tawanan-tawanan musuh Jepang. Di Bandung, serdadu Jepang membangun kamp-kamp interniran atau kamp tawanan yang berada di Cihapit dan Cimahi. Dan salah satu lokasi kamp tawanan Jepang di Cimahi berlokasi di Baros 6 yang berada di Willemstraat atau kini bernama jalan Sam Ratulangi. Dalam acara jelajah Kamp Interniran Jepang ini rombongan berjalan dan melihat-lihat lokasi bekas kamp Baros 6 atau Jongenskamp Baros, Bunsho II Kamp 6 / Japanse Administratie. Kamp khusus wanita dipisahkan dengan kamp untuk anak-anak. Setiap kamp ada pemimpin kamp masing-masing. Seperti kamp khusus wanita dipimpin oleh MW. R. Minderman, sementara untuk kamp untuk anak-anak dipimpin oleh GA Schotel. Kamp ini terdiri dari dari dua bagian yang berada di kedua sisi jalan Baros, yaitu sebelah barat Willemstraat dan sebelah timur Baroskant yang melewati dua pintu gerbang yang dijaga dengan sangat ketat.

Salah satu rumah bekas Kamp Interniran Jepang
 Di Cimahi sendiri sebenaranya ada terdapat lima kamp tawanan, antara lain: Kamp Treinkampement yang lokasinya berada di jalur utara stasion kereta api yang sekarang ditempati oleh gedung Pusdikpal, Kamp 4 / Bunsho II yang menempati bekas Markas Batalyon Infanteri 4e dan 9e KNIL yang sekarang ditempati oleh kompleks Pusdikhub, Pusdikbekang dan Pusdikpengmilum. Lalu ada Kamp Cimahi IV dan IX Batalion, Kamp Rumah Sakit Militer dipakai untuk tahanan rumah sakit kamp perang dan buruh. Dan Kamp Baros 5 biasa juga disebut sebagai Kamp Bambu yang sekarang ditempati kompleks Pusdikpom.

Di dalam buku Asal-Usul Totalitarianisme yang ditulis Hannah Arendt, ia menyebut adanya istilah golongan ‘Declasse’ yaitu golongan yang kehilangan semua hak-hak istimewa. Dan hal ini dialami oleh para opsir-opsir dan para meneer-meneer Belanda yang mana sebelum datang penjajah Jepang, para declasse itu mempunyai perlakuan istimewa baik secara ekonomi, politik dan rasial sebagai tuan besar di tanah jajahan Hindia. Dan zaman keemasan Belanda itu berakhir, berganti menjadi neraka. Semua hak-hak istimewa itu hilang begitu saja. Para tawanan mengalami hidup yang serba kekurangan dan senantiasa diliputi musuh alami yang menakutkan: mati akibat kelaparan. Keluarga mereka pun tercerai berai. Jepang memberlakukan pemisahan tawanan pria dan wanita, juga anak-anak. Untuk tawanan wanita dan anak-anak berada di kamp Cihapit, tawanan pria di tempatkan di kamp Baros. Para tawanan ditampung di dalam kamp itu dikelilingi oleh pagar kawat berduri. Komandan kamp Bunsho Baros saat itu adalah Kimura yang berpangkat Letnan Kolonel, bersama wakilnya Letnan Kurashima Tomiji yang dibantu oleh para penjaga dari pasukan Nippon, Korea dan Heiho.



Gambaran-gambaran umum atas kondisi hidup para tawanan selama berada di kamp interniran Cimahi ini salah satunya bisa dilihat secara karikatur visual di dalam buku Myn Kamp Niet Door Hitler yang merupakan ‘potret’ kehidupan yang menyedihkan meskipun disampaikan dengan gaya yang jenaka: badan kurus kering, diserang berbagai penyakit, kelaparan, kerja paksa, kebebasan yang ditindas, bahkan sampai ada yang mati di dalam kamp. Pendek kata, kehidupan manusia abad modern yang hendak diputar ke zaman-zaman perbudakan. 

***

Rombongan berjalan di komplek jalan Samratulangi. Pikiran saya diterbangkan ke masa zaman Jepang sambil meraba-raba dalam angan bagaimana gerangan kehidupan di dalam kamp interniran. Saya mengamati rumah-rumah yang pada waktu dulu pernah dijadikan kamp tempat mengurung para tawanan. Ada beberapa rumah yang masih mempertahankan bentuk asli bangunan sebagai lokasi barak-barak kamp zaman Jepang, banyak juga bentuk-bentuk rumah yang mulai mengalami penyesuaian zaman dengan direnovasi disana-sini.
Acara napak tilas menelusuri kamp Jepang – Baros akhirnya usai jam 11.30 dengan berkumpul di taman Juliana Park atau sekarang bernama Taman Kartini, di seberang Pussen Armed di jalan Baros. Sambil duduk-duduk melepas lelah rombongan bergurau santai yang diselingi dengan bertukar cerita dan sejarah Cimahi yang diakhiri dengan sesi berfoto bersama. Sampai jumpa di acara Tjimahi Heritages Trail berikutnya. [Andrenaline Katarsis] 


Tjimahi Heritages Trail di Taman Kartini - Cimahi


6 comments:

  1. Nuhun bro. Iraha atuh kita ngadu bako sambil ngadongeng Cimahi tempo doeloe..

    ReplyDelete
  2. Mantap kang, salam kenal dari saya suhartono. Saya tinggal di daerah dekat lapangan sriwijaya

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hatur nuhun, sami-sami kang. Salam oge ti abdi. Wah, lapangan Sriwijaya kapungkur tempat abdi mabal sakola. hihihi....

      -salam

      Delete