Sunday, December 20, 2015

Cimahi Dalam Bingkai 3: Sebuah Catatan

Oleh: Mas Wid

Di sela-sela kesibukan mengurus usaha, kali ini saya menyempatkan diri mengikuti kegiatan yang tidak biasa. Cimahi Dalam Bingkai 3. Pesertanya adalah sekelompok warga yang peduli dengan sejarah Kota Cimahi. Saya dan teman-teman sepakat untuk sejenak mengunjungi masa lalu. Voyage dari makam ke makam, dari kuburan ke kuburan, berusaha menggali kenangan dan menyusun puzzle satu demi satu dari cerita dan fakta yang terserak dimana- mana.

Susunan mozaik sejarah yang kami temukan sudah tentu masih jauh dari sempurna, tapi setidaknya satu langkah kecil sudah dimulai untuk lebih memahami masa lalu kita.
Yang pertama kami kunjungi adalah Kabuyutan Cipageran, sebuah kompleks seluas 4 hektar, yang terdiri dari pesawahan dan rimbunnya pohon-pohon yang masih kental menggambarkan suasana pedesaan. Tempat ini direncanakan sebagai miniature dari budaya asli kasundaan yang dulu pernah eksis di Cimahi. Yang sudah terealisasi adalah “batu satangtung” berupa replica dari Lingga dan Yoni lambang keserasian antara pria dan wanita, antara langit dan bumi, antara yang di atas dan yang di bawah antara yang nampak dan tidak Nampak, antara Yin dan Yang. Selanjutnya disini akan dibangun pula miniature suasana pedesaan Sunda beserta segala aksesorisnya seperti leuit, padaringan, halu, jubleg, hawu, pawon dll.

Menurut Aa Fajar sebagai salah satu pengelola Kabuyutan, disini juga akan dibangun beberapa contoh arsitektur bangunan Sunda asli sehingga generasi muda jaman sekarang bisa mengetahui apa yang dimaksud dengan jogog anjing, julang ngapak, limasan, bale nyungcung dan lain-lain. Semoga upaya ini bukan semata-mata untuk memelihara romantisme masa lalu, melainkan menjadi ajang belajar bagi kita semua, karena hanya dengan memahami masa lalu maka kita akan lebih bijak dalam memandang masa depan. Secara rutin pengelola Kabuyutan mengadakan diskusi untuk menggali dan memahami sejarah Kasundaan yang hingga kini belum terungkap seluruhnya. Tujuan selanjutnya adalah makam Cipageran yang terletak persis berseberangan dengan kuburan Cina Santiong. Disini kami tertegun, suasana mistis langsung terasa, terpesona dengan hawa yang sejuk dan keanggunan pohon-pohon beringin tua, hijau menghampar berikut akar-akar gantungnya yang menjuntai.

Di makam Cipageran ini ada makam Eyang Wira Sutawijaya dan istrinya Eyang Fatimah Sariwangi, konon mereka berdua adalah cikal bakal atau generasi pertama yang melakukan babad alas untuk membangun sebuah desa yang kelak berkembang menjadi kota Cimahi. Ada yang mengatakan bahwa Eyang Wira Sutawijaya sekalipun wujudnya hanya satu orang tapi kuburannya ada dua. Memang cerita, fakta dan legenda saling membelit, bercampur baur jadi satu. Sayang sekali tidak ada literature yang membahas kedua tokoh ini secara mendalam, bahkan Mak Ikah, kuncen kuburan, juga tidak tahu banyak. Saya juga mendengar bahwa pemakaman ini sering dijadikan tempat untuk tirakat, berpuasa dan tidur dibangunan kuburan selama tiga atau tujuh hari. Salah satu sahabat saya pernah menjalani laku disini, pada malam ketujuh dia mimpi melihat cahaya gemerlapan aneka warna, tak lama kemudian begitu terbangun di tangannya ada sebuah karembong (selendang) yang disulam dengan sangat indahnya, entah datang dari mana.

Disamping itu ada tokoh-tokoh lain dari masa lalu yang juga dimakamkan disini. Ada mBah Sayid, mBah Geleng, Patih Sumedang, Keluarga besar penyanyi Bimbo dan lain-lain. Yang unik adalah makam mBah Geleng, hanya terdiri tumpukan batu-batu tetapi dikelilingi oleh akar menjuntai dari pohon beringin disebelahnya, seolah-olah akar pohon itu sengaja merangkul, membentengi dan melindungi makam tersebut. Misteri alam yang belum terpecahkan. Tujuan kami selanjutnya adalah kompleks makam mBah Nurkarim di Kel, Cigugur. Beruntung kami bertemu dengan Kang Dadang Ramdhan, salah satu keturunan mBah Nurkarim , beliau bercerita banyak dan sangat membantu memahami sosok mBah Nurkarim dengan lebih baik.

Ratusan tahun yang lalu terjadi eksodus priyayi dari kerajaan Mataram , salah satunya adalah mBah Nurkarim. Tidak begitu jelas alasannya kenapa beliau memutuskan tinggal di kawasan Cigugur Cimahi, tetapi selanjutnya mBah Nurkarim dikenal sebagai salah satu tokoh dakwah terkemuka yang menyebarkan ajaran Islam di Cimahi. Ada yang menduga bahwa mBah Nurkarim adalah bagian dari prajurit Sultan Agung yang ikut serta dalam penyerbuan ke Batavia di abad ke 17, ada juga yang menduga bahwa mBah Nurkarim adalah utusan resmi Kerajaan Mataram di tanah Priangan mengingat bahwa pada saat itu tanah Priangan adalah daerah jajahan Mataram.

Salah satu keturunan dari mBah Nurkarim yang juga menjadi tokoh lokal yang disegani adalah Bapak Haji Abdul Halim yang menjadi tuan tanah di daerah Cigugur, Cibabat. Nama beliau diabadikan menjadi nama jalan di sebelah Kantor Dinas Sosial Prov. Jawa Barat. Sahabat kita Dadang Ramdhan adalah keturunan kelima dari Bapak Abdul Halim. Yang belum tergali adalah apa sesungguhnya peran sejarah dari tokoh-tokoh tersebut sehingga namanya terukir indah dalam kenangan masyarakat disitu. Tujuan kami selanjutnya adalah Kampung Cireundeu di Cimahi Selatan. Ciri khas dari peri kehidupan masyarakat Cireundeu adalah secara turun temurun menjadikan singkong sebagai bahan makanan pokok. Masyarakat disini tidak makan nasi beras, melainkan nasi singkong yang diolah sedemikian rupa sehingga rasanya tidak jauh berbeda dengan nasi beras.

Kami diterima dengan keramahan khas masyarakat Sunda pedesaan oleh tokoh-tokoh masyarakat Cireundeu, Abah Widi, Abah Opa dan Kang Yana. Abah Widi menguraikan panjang lebar mengenai sejarah terbentuknya komunitas masyarakat Cireundeu dan filosofi yang mendasari sikap masyarakat yang memilih untuk makan singkong seumur hidup mereka dan tidak makan nasi beras yang terangkum dalam kalimat berikut :

Teu Nyawah Asal Boga Pare,
Teu Boga Pare Asal Boga Beas,
Teu Boga Beas Asal Bisa Nyangu,
Teu Nyangu Asal Dahar,
Teu Dahar Asal Kuat


Apa yang dilakukan oleh masyarakat Cireundeu adalah bentuk kearifan local dalam hal keanekaragaman bahan pangan. Saya bermimpi bahwa santapan nasi singkong ini akan bisa lebih memasyarakat hingga ketahanan pangan menjadi lebih baik. Siapa tahu di kemudian hari akan ada restoran khusus singkong. Sedikit Kang Yana juga menguraikan kepercayaan yang dianut oleh masyarakat Cireundeu yaitu ajaran Madrais yang sering juga disebut sebagai Sunda Wiwitan. Kepercayaan ini diajarkan oleh seorang tokoh dari Kuningan yaitu Madrais kepada Haji Ali yang selanjutnya dilestarikan oleh masyarakat Cireundeu hingga sekarang. Setelah sesi dialog dan ramah tamah yang berlangsung akrab, kami dijamu dengan macam-macam makanan terbuat dari singkong seperti nasi singkong, buntil, rangining, cookies, kerupuk, dendeng kulit singkong dan lain-lain.
Tidak lupa kami pun berkunjung ke makam para leluhur kampong Cireundeu, sayang namanya tidak bisa diketahui karena batu nisannya tertulis dalam huruf sunda kuno.

Tanpa terasa jam sudah menunjukkan pukul empat sore. Sesuai dengan jadwal, perjalanan harus diakhiri. Sebagai warga Cimahi ternyata masih banyak hal-hal yang belum kita ketahui tentang segala seluk beluk Kota tercinta ini. Perjalanan sehari ini baru mengungkapkan sedikit hal saja. Masih banyak tokoh-tokoh lain di masa lalu yang patut dikenang karena jasanya, seperti mBah Tumpang, KH Usman Dhomiri, Haji Tadjoedin, Bapak Lurah Aman, mBah Wongso dan lain-lain. Semoga CIMAHI DALAM BINGKAI di kemudian hari bisa terus berlanjut dan diikuti oleh lebih banyak warga menaruh perhatian dan kecintaan pada Kota Cimahi. Sampai jumpa nanti di CIMAHI DALAM BINGKAI 4 yang akan mengupas lebih jauh mengenai daerah pecinan dan peran masyarakat Tionghoa di Cimahi.

Foto: Machmud Mubarok di makam Wira Suta, Cipageran

No comments:

Post a Comment