Monday, September 7, 2015

Menelusuri Sejarah Pertempuran Alun-alun Cimahi

Tjimahi Heritages Trail (Foto: Moch. Sopian Ansori)
Dahsyatnya dunia yang dilanda perang selain meninggalkan aroma mesiu, kematian yang sebenarnya tak sia-sia dan airmata, ia juga tetap menyimpan senarai kisah yang mengharu biru, kesedihan yang tak selesai, atau bahkan bisa menjadi semacam romantisme sejarah yang tak kalah asyik. Demi upaya mengentalkan segala aneka rasa itulah kawan-kawan dari Tjimahi Heritages Trail kembali mengadakan acara jelajah kota tua Cimahi yang diadakan pada tanggal 30 Agustus 2015 dengan menapaktilasi peristiwa pertempuran yang pernah berlangsung di Cimahi. Peristiwa ini adalah sebagai rentetan dari peristiwa bersejarah Bandung Lautan Api pada tahun 1946. Acara jelajah Tjimahi Heritages Trail ke 3 ini mengambil tema “Telusur Sejarah Pertempuran Alun-alun” ini dimulai dari titik pertemuan di Taman Alun-alun. Selanjutnya peserta berjalan kaki menuju titik-titik dimana pertempuran-pertempuran sengit pernah berlangsung di Cimahi, yaitu Alun-alun – pertigaan Tagog – jalan Margaluyu (daerah kawasan Kandang Uncal) – jalan Babakan – jalan Pecinan Pasar Atas dan kembali berakhir di Alun-alun Taman Masjid Agung.

Kota Cimahi sebagi kota garnisun memiliki rentang sejarah panjang yang dimulai sejak jaman kolonialisme, jaman pendudukan Jepang, hingga jaman Perang Kemerdekaan. Beberapa penanda zaman itu masih dapat dijumpai berupa bangunan-bangunan tua sebagai bukti bahwa Cimahi adalah kota tua nan bersejarah. Selain itu, kota Cimahi juga menyimpan kisah-kisah heroik para pejuang-pejuang yang dengan gigih bertempur di medan peperangan. Namun kisah-kisah heroik itu seperti nyaris terlupakan karena tertimbun oleh narasi-narasi besar sejarah pertempuran yang berskala nasional, seperti peristiwa pembumihangusan kota Bandung atau yang lebih dikenal sebagai peristiwa Bandung Lautan Api pada bulan Maret 1946 atau insiden pengibaran bendera Merah Putih di atas atap Gedung Denis pada Oktober 1945. Hal tersebut sangat wajar sebab sudah banyak buku-buku yang mengulas peristiwa-peristiwa tersebut dari berbagai sumber dan sudut pandang. Meskipun di Cimahi tidak didirikan monumen stilasi-stilasi pertempuran seperti 10 buah stilasi yang tersebar di beberapa titik pertempuran di kota Bandung, beruntunglah Cimahi akan segera menyambut sebuah buku sejarah pertempuran yang merupakan hasil dari inisiasi beberapa kawan peminat sejarah berkeinginan untuk menerbitkan buku sejarah pertempuran Cimahi. Naskah yang berjudul PRAHARA CIMAHI PELAKU DAN PERISTIWA (30 Oktober 1945 – 28 Maret 1946) yang disusun SM. Arief tersebut akan dihadirkan menjadi sebuah buku. Dari buku itulah titik terang senarai sejarah pertempuran yang pernah berlangsung di Cimahi akan segera terkuak.

Ultimatum Sekutu dan Awal Mula Pertempuran


Pada bulan Maret 1946 pasukan sekutu memberi ultimatum kepada Tentara Rakyat Indonesia supaya meninggalkan kota Bandung yang kemudian memicu peristiwa Bandung Lautan Api. Tujuan dari pengosongan kota Bandung itu demi mencegah kota Bandung yang akan dijadikan pangkalan pusat militer pasukan Sekutu. Pada bulan Maret itulah pasukan Inggris menuntut agar diberi kebebasan untuk mengambil pasukan-pasukan Jepang yang menginternir diri di daerah Sukabumi. Tuntutan pasukan Inggris itu sebagian disetujui oleh Pemerintah Pusat Republik Indonesia, tapi tidak oleh para pemuda pejuang yang tergabung dalam laskar-laskar dan Tentara Republik Indonesia. Pasukan pejuang Indonesia lebih memilih jalan perang dan konfrontasi demi mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia. Ketegangan-ketegangan yang terjadi mengakibatkan meletusnya pertempuran-pertempuran di Sukabumi. Pemerintah Republik Indonesia dan Markas Besar Tentara Inggris berusaha mengadakan perundingan untuk menghentikan pertempuran, tapi tidak berhasil. Pertempuran di Sukabumi terus berlangsung hingga pasukan Inggris mengeluarkan ultimatum akan membombardir kota Sukabumi jika pertempuran tidak dihentikan. Dan ultimatum tersebut ternyata tetap dilakukan Inggris dengan menembaki kota dengan menggunakan pesawat di sepanjang jalan Cibadak, Sukabumi. Sementara pertempuran konvoi terus berlangsung di sepanjang jalan Puncak hingga Cimahi. Pertempuran antara pihak Tentara Republik Indonesia dengan konvoi Inggris yang berlangsung di Sukabumi – Cianjur – Bandung itulah yang menyebabkan pasukan Inggris memperketat penjagaan dan penghadangan, terutama di daerah Cimahi sampai Andir.

Pada pertengahan bulan Maret 1946 pihak Tentara Republik Indonesia, Batalyon II pimpinan Sumarsono mendapat kabar bahwa akan ada konvoi pasukan Inggris dengan kekuatan sebanyak 1000 pasukan serdadu Inggris menuju Bandung. Dengan dibantu para pemuda dan pejuang, pasukan Batalyon II tersebut melakukan penghadangan di sekitar Fokkersweg (jalan Garuda sekarang). Pasukan pejuang bersiap siaga dengan senjata masing-masing. Menunggu dan penuh perhatian menyambut kedatangan konvoi pasukan Inggris. Dan memang konvoi itu akhirnya tiba yang ditandai dengan bunyi sekitar 350 motor bersenjata lengkap yang mengeluarkan suara bergemuruh. Ketika iring-iringan konvoi tersebut sudah memasuki Fokkersweg, serangan dari Tentara Republik Indonesia dan pemuda pejuang pun dilancarkan secara mendadak. Tak ada kesempatan bagi pasukan Inggris untuk menghindar atau berlindung. Serangan gencar terus dilancarkan dengan bertubi-tubi. Pertempuran di Fokkersweg itu membawa hasil yang gilang gemilang setelah bertempur seharian. Sebagian logistik dan persenjataan pasukan Inggris berhasil direbut, termasuk sebuah pemancar radio. Pertempuran sengit di Fokkersweg itu menewaskan sebanyak 50 orang pejuang. Sementara itu pos-pos diperkuat di sepanjang jalan Cibeureum, Karangtengah, Ciranjang, Rajamandala, Cipatat, Padalarang dan Cimahi dengan menempatkan artileri. Kampung-kampung di sepanjang jalan itu sudah dikosongkan.

Pertempuran yang terjadi selama 3 hari 3 malam (20-23 Maret 1946) yang menelan korban paling banyak dari pihak Inggris itulah menyebabkan Inggris meminta pemerintah RI melalui Perdana Menteri Sutan Sjahrir agar Tentara Republik Indonesia meninggalkan Bandung. Perundingan antara pihak Sekutu dengan Komandan TRI Jawa Barat, Mayjen Didi Kartasasmita dan Komandan Divisi III Kolonel A.H Nasution tidak bisa mengubah keputusan Sekutu. Selaku pimpinan Sekutu di Bandung, Mayjen Hawtorn kemudian mengeluarkan ultimatum yang berbunyi: "Sebelum pukul 24.00 WIB tanggal 24 Maret 1946 semua pasukan bersenjata harus sudah keluar dari Kota Bandung bagian selatan sejauh radius 11 kilometer". Ultimatum itulah yang memicu perlawanan rakyat Bandung dalam bentuk pembumihangusan kota atau peristiwa Bandung Lautan Api agar kota Bandung tidak mudah digunakan oleh musuh.

Peristiwa Pertempuran 4 Hari 4 Malam di Cimahi

Rumah Uun CH Paggi di jalan Babakan
Eskalasi semangat dan rasa patriotisme dari para pejuang dan pemuda Cimahi pasca dibacakannya Proklamasi oleh Soekarno menjadi semakin tak terbendung. Hal ini ditandai dengan berdirinya pasukan dan laskar-laskar rakyat yang ikut angkat senjata demi mempertahankan kemerdekaan seperti  Kompi Daeng yang dipimpin oleh Daeng Muhamad Ardiwinata, Laskar Fisabililah pimpinan KH. Utsman Dhomiri, Detasemen Abdul Hamid, Laskar Hizbullah, Banteng Cimahi, Kesatuan Uyo dan lain-lain. Jangan bayangkan persenjataan para pasukan dan laskar-laskar itu modern dan lengkap. Meski diantaranya hanya bersenjatakan bambu runcing, arit, golok, kelewang, dan beberapa pucuk senapan tetap tidak mengurangi semangat untuk bertempur. Selain itu ada pula laskar Barisan Rakyat (BARA) yang bertugas dan bertanggungjawab mengamankan pos-pos yang didirikan di kampung-kampung, jalan-jalan dan gang-gang. Dibawah pimpinan Kartadipura, BARA bertugas mengawasi segala kegiatan NICA yang tersebar di jalan Terusan, gang Lurah, Leuwigoong, Pasar Antri, Pojok Selatan, Pojok Utara, pertigaan Tagog dan Cisangkan. Melalui pesan berantai, segala kegiatan-kegiatan NICA yang berlangsung disana segera dilaporkan ke TKR dan Badan-badan perjuangan yang lain.


APOTIK ABADI
Cimahi tahun 1946. Kota ini berada dalam titik panas pasca ultimatum sekutu yang hendak mengosongkan kota Bandung. Pasukan sekutu dan NICA yang berada di dalam Kampemen telah dikepung selama 4 hari 4 malam oleh Detasemen Abdul Hamid dan Kompi Daeng, bersama para laskar dan pejuang. Pada hari terakhir pengepungan selain diserang oleh serangan bersenjata,  semua akses transportasi, listrik dan air ledeng di dalam Kampemenweg juga berhasil diputus. Aksi serangan dan pemutusan akses-akses strategis itu dibalas oleh pasukan tank-tank infanteri sekutu dengan menembakan meriam dan mortir ke seantero kota Cimahi. Kota Cimahi pun hancur lebur. Beberapa bagian kota porak poranda. Beberapa wilayah di sekitar gang Balong, gang Sobari, gang Rangsom, Kebon Kembang, Kalidam, Baros, Contong, Kandang Uncal, Margaluyu dan beberapa toko-toko yang berada disepanjang Grote Postweg hangus terbakar. Karena persenjataan yang tidak seimbang, akhirnya laskar dan pejuang memutuskan untuk mundur. Detasemen Abdul Hamid mundur ke arah Cisarua, sementara Kompi Daeng bergerak ke arah selatan menuju Cipatik. Jembatan yang berada di Nanjung diputus oleh para pejuang. Pasukan sekutu tidak dapat mengejar karena jalur transportasi vital penghubung Cimahi dan Cipatik itu sudah terputus.

Makam Abdul Hamid
 Pada bulan Maret 1946, di sekitar Grote Postweg (Jalan Jend. Amir Machmud sekarang) sudah dikuasai para laskar dan pejuang. Mereka sudah tersebar dan menduduki beberapa pos-pos di sekitar Kebon Kopi (Mall Ramayana sekarang), kantor Kawedanaan (Gedung DPRD Kota Cimahi sekarang) dan Sekolah Rakyat (SD Mandiri 1 sekarang). Ketika pasukan pejuang dan laskar sudah dalam kondisi siap tempur, konvoi truk yang berisi pasukan berseragam Inggris melintas dari arah pertigaan Tagog. Ketika truk pasukan Inggris paling depan sudah berada di sekitar toko Johor, bentrokan pun tak dapat dihindari. Pertempuran pecah di Alun-alun Cimahi! Pasukan regu Kompi Daeng bersama laskar Banteng Cimahi, BARA dan Detasemen Abdul Hamid melakukan penyergapan dan penembakan ke arah truk konvoi pasukan Inggris. Truk terakhir berhenti di sekitar Apotik Abadi sekarang. Pertempuran kota jarak dekat pun pecah. Mereka bertempur di jalan-jalan kecil, di dalam gang, dari pintu ke pintu. Akibat mendapat serangan yang rapat dari pejuang dan laskar, pasukan Inggris pun terdesak dan memutuskan untuk memutar balik kembali menuju Kampemenweg (Jalan Gatot Subroto sekarang). Dari pertempuran itu tidak seluruhnya konvoi truk pasukan Inggris berhasil memutar balik menuju Kampemenweg. Ada dua truk yang tertinggal di depan Apotik Abadi. Truk-truk itu teronggok meninggalkan bercak darah. Setelah digeledah, ditemukan dua pucuk senjata Karraben dan beberapa pakaian seragam. Truk itu kemudian dihidupkan untuk kemudian dibawa menuju arah Citeureup.

Beberapa anggota BARA yang berjaga-jaga di pos Nusantara di jalan Babakan yang tidak sempat menyelamatkan diri akhirnya ditangkap oleh Batalyon Belanda yang tergabung dalam pasukan Andjing NICA. Anggota BARA yang tertangkap itu kemudian di perintahkan untuk berbaris dan di eksekusi mati dengan cara ditembak di tempat. Dengan tangan terkepal disertai pekik "Merdeka!", Bung Tarna gugur ditembak. Mayatnya kemudian dikuburkan oleh Wangsa dan Oni dengan dibantu oleh beberapa warga yang saat itu berhasil menyelamatkan diri karena bersembunyi dari sergapan Batalyon Belanda. Selain Tarna, pasukan pejuang Cimahi yang gugur ditembak mati antara lain Ewen Omo, Juhendi, Uju dan Iin. Imar ditembak di selokan tidak jauh dari pos Nusantara di jalan Babakan. Dasik, Sodik dan Endang ditembak di sekitar Pasar Atas, mayatnya tidak diketemukan.

Jembatan penyebrangan di Tagog


***

Sumber Bacaan:

Bandung Lautan Api (Djajusman). Penerbit Angkasa, Bandung. 1975
Cimahi pun Dibumihanguskan! (Ririn. NF). Pikiran Rakyat. Senin, 31 Agustus 2015
Merah Putih Di Gedung Denis: Catatan Tercecer di Awal Kemerdekaan (Enton Supriyatna Sind & Efrie Christianto). Tatali Publishing, 2015
Prahara Cimahi: Pelaku dan Peristiwa 30 Oktober 1945 - 28 Maret 1946 (SM. Arief). Naskah dummy, Tulus Pustaka 2015

No comments:

Post a Comment