Saturday, March 14, 2015

Dalem Tawanan Djepang - Nio Joe Lan

 
Ketika riwayat Hindia Belanda baru saja tamat, Indonesia kembali di jajah oleh sesama bangsa Asia yang menebar teror kekerasan dan kesengsaraan singkat tapi mematikan. Tidak banyak dokumentasi yang mengisahkan suasana kehidupan secara personal ketika Indonesia berada dalam penjajahan Jepang, kecuali catatan-catatan sejarah yang penuh diplomasi-diplomasi penyerahan kedaulatan dan kecamuk pertempuran-pertempuran Perang Pasifik menjelang akhir Perang Dunia II atau heroisme-heroisme yang tercetak di dalam teks roman. Sedikit sekali dokumen yang mengisahkan kehidupan manusia yang menderita lahir batin ketika berada di dalam kamp konsentrasi Jepang yang ditulis oleh seorang saksi sejarah yang pernah menjadi tawanan militer Jepang, bahkan dengan gaya memoar atau catatan harian.

Dalem Tawanan Djepang merupakan sebuah dokumen langka yang mengabarkan kengerian ketika titik nadir hidup manusia berada dibawah tindasan-tindasan sepatu lars dan bayonet serdadu Jepang. Buku ini ditulis oleh Nio Joe Lan (1904 – 1973), seorang jurnalis Tionghoa yang bekerja untuk surat kabar Keng Po, Sin Po dan majalah Penghiboer. Untuk buku memoarnya ini secara eksplisit Nio Joe Lan memberi anak judul Penoetoeran Pengidoepan Interneeran Pada Djaman Pendoedoekan Djepang yang lebih mirip sebagai sebuah gugatan. Dan Nio sendiri memang menjalani kehidupan sebagai interniran di tiga kamp tawanan Jepang: Bukit Duri (26 April 1942 – 9 September 1943), Serang (9 September 1943 – 15 Februari 1944) dan Cimahi (16 Februari 1944 – 27 Agustus 1945).

Buku ini pertama kali di cetak dan diterbitkan oleh Lotus Co pada 1946, dan 62 tahun kemudian buku ini di cetak ulang dan diterbitkan oleh penerbit Komunitas Bambu pada tahun 2008. Sebuah rentang waktu yang panjang nasib sebuah dokumen sejarah agar bisa dibaca ulang setelah melewati puluhan generasi. Seperti yang dikatakan Nio, “Ini boekoe ada menoetoerken pengidoepan itoe, satoe pengidoepan loear biasa jang ada djadi boentoet dari Perang Tiongkok – Djepang + Perang Pacific”. Buku ini kian menjadi unik dan berharga karena ditulis dengan masih memakai bahasa yang dikenal sebagai bahasa Melayu Lingua Franca. Dengan begitu, kita akan merasakan langsung suasana pada suatu zaman dimana bahasa, kosakata dan istilah serapan yang pada tahun-tahun kemerdekaan lazim disebut sebagai bahasa dan dialek Melayu Tionghoa.

***

Sebelum menjadi penulis Nio Joe Lan pada awalnya hendak bercita-cita menjadi teknisi pesawat terbang, karena pada tahun 20-an profesi itu dinilai masih sangat langka. Namun ketika ayahnya meninggal dan perusahaan batik milik ibunya bangkrut akibat kena tipu, nasibnya mempertemukan dengan sebuah jalan sunyi sebagai penulis. Awalnya Nio melamar pekerjaan sebagai wartawan majalah Penghiboer. Kemudian pada tahun 1928 hingga 1934 Nio bekerja pada surat kabar Keng Po sebagai pemimpin redaksi, dan kemudian pindah ke surat kabar Sin Po hingga 1942. Harian Sin Po adalah koran yang kuat dalam wacana gerakan kebangsaan dan opini politik Pro-Tiongkok, akan tetapi tulisan-tulisan Nio justru tidak menunjukan keterlibatannya dalam politik, melainkan Nio sering menulis soal-soal kebudayaan. Ketika Jepang berkuasa, khusus bagi warga Tionghoa, Jepang hanya akan melakukan tindakan keras terhadap mereka yang dianggap pro-Chungking dan anti-Jepang. Yang masuk ke dalam daftar tawanan itu termasuk para opsir Cina, pemuka warga Pecinan dan jurnalis. Namun begitu Nio tetap saja ditangkap dan dijebloskan ke dalam kamp tawanan Jepang, meskipun pada akhirnya Nio tidak pernah terbukti melakukan perlawanan anti-Jepang. “Memang soedah diramalken terlebih doeloe, ini akan mempoenjai boentoet-boentoet bagi pamoeka-pamoeka dan journalist-journalist Tionghoa jang telah toeroet ambil bagian atawa toendjang pergerakan kebangsahan”, tulis Nio.

Berbekal naluri jurnalistiknya, Nio mengamati dan meneliti sekaligus mengalami sendiri suasana kehidupan sebagai tawanan yang kemudian ia tulis dengan sangat teliti di dalam buku hariannya. Hari-hari pertama menjadi tawanan di penjara Bukit Duri, Nio jalani dengan sangat berat mengingat ia harus meninggalkan istrinya yang baru saja lima hari melahirkan. “Jang saja koeatirken di itoe waktoe ada kesehatan saja poenja istri, jang baroe bersalin 5 hari dan di itoe waktoe masi belon boleh bangoen dari pembaringan”, tulisnya. Nio Joe Lan tentu tidak sendirian. Selain orang-orang Tionghoa sipil asal Batavia, Semarang, Pekalongan, Cikampek, Karawang, Bandung, Surabaya, Bogor dan Cianjur ada juga beberapa pembesar-pembesar Tionghoa dari anggota Kuo Min Tang yang masuk ke dalam buku daftar Jepang untuk ditangkap. Termasuk Ling Ying Chen redaktur Sin Po tempat Nio bekerja, Dr. Kwa Tjoan Sioe yang kelak menjadi pendiri Rumah Sakit Husada, juga mayor Tionghoa terakhir, Khouw Kim An.

Para pembesar-pembesar Tionghoa yang biasa hidup mewah itu seketika mengalami fase-fase kehidupan yang serba tidak enak dan sengsara di penjara Bukit Duri. Di penjara ini bukan saja terdiri dari warga Tionghoa, tetapi orang-orang Belanda juga ikut dijebloskan ke dalam penjara Bukit Duri. Para tawanan itu dimasukan ke dalam sel-sel sempit berukuran 2 x 1 meter yang seharusnya diisi satu orang, saat itu diisi oleh tiga orang tawanan. Nio melukiskan, jika pada waktu malam menjelang tidur para tawanan tidur berhimpitan. “Tidoer bertiga dalem satoe cel jang sebenernja tjoema ada boeat 1 orang sadja tida oesah dikata lagi ada amat tida enak. Tidoer begini sering orang poenja toelang kering dapet loeka, sebab di waktoe malem orang hantem pinggiran tadjem dari itoe tempat tidoer cement”.

Sejak awal, alasan Jepang menangkap dan memenjarakan warga Tionghoa tentu berbeda dengan orang Belanda. Jika warga Tionghoa memang sudah dianggap musuh Jepang, maka penangkapan atas orang Belanda selain sebagai bangsa yang harus diperangi karena melakukan praktek kolonialisme juga didasarkan pada alasan rasial, yaitu hanya karena orang Belanda berkulit putih. Di dalam penjara Bukit Duri terjadi diskriminasi antar sesama tawanan, terutama tawanan orang Belanda dalam hal soal makanan. Jika tawanan Tionghoa hanya diberi jatah makan nasi dan air kangkung dalam satu hari, tawanan Belanda sudah diberi sarapan roti di pagi hari, semangkuk sup siang hari dan nasi beserta sup di malam hari. Mendapat perlakuan yang berbeda tersebut, para tawanan Tionghoa yang diperantarai Tan Tjong Lim menuntut komandan Jepang supaya diperlakukan sama seperti tawanan Belanda dalam soal makanan. Bukannya tuntutan itu dikabulkan, para tawanan Tionghoa malah diberi hardikan: “Kaoe orang poenja keadahan tida bisa dipersamaken dengen keadahan orang koelit-poeti. Kaoe orang ada orang jang dimasoeken di dalem lisjt sebagai moesoeh-moesoeh, tapi marika-marika ditangkep meloeloe kerna marika ada orang koelit-poeti”.

Selain makanan, yang selalu menjadi masalah bagi para sesama tawanan penjara Bukit Duri adalah soal mandi. Jika sebelum menjadi tawanan, Nio beserta tawanan lain tentunya punya hak pribadi dalam soal mandi. Tapi setelah berada dalam penjara, hak-hak pribadi sebagai manusia beradab dihilangkan oleh aturan-aturan bikinan Jepang. Jika dulu mandi dilakukan dikamar mandi tertutup dirumah masing-masing, di penjara Bukit Duri semua tawanan harus telanjang dan mandi bersama-sama di dalam sebuah kamar. Sesuatu yang dinilai tabu pada zamannya. “Boeat mandi bermoela banjak orang moendoer-madjoe. Di roemah kita biasa mandi dikamar-kamar tertoetoep, kita biasa pake handdoek, tapi di Boekit-Doeri kita boekan mandi kamar mandi, tapi di zaal mandi. Kita mandi berbareng dengen sama banjak orang dan dengen telandjang!”

***

Pada hari Kamis tanggal 9 September 1943 tawanan dari penjara Bukit Duri berakhir. Setelah 1 tahun 4 bulan 14 hari para tawanan menjadi interniran di penjara Batavia, kemudian dipindahkan ke Serang. Nio Joe Lan kembali menjadi tawanan di Serang sejak 9 September 1943 sampai 15 Februari 1944. Segala duka dan kesengsaraan yang pernah dialami selama di penjara Bukit Duri tentu meninggalkan kesan yang membekas di dalam ingatan dan perasaan Nio. “Slamat tinggal, Boekit Doeri! Biarpoen Boekit Doeri tjoema satoe pemboeian sadja, perpisahan dengen itoe tida loepoet mengharoekan hati…” Atas perintah yang diucapkan komandan Ouimura, para tawanan Serang akan dipindahkan ke kamp internran Cimahi, pada 16 Februari 1944. Perjalanan dari Serang menuju Cimahi dilakukan dengan menumpang kereta, pada malam hari yang disertai hujan gerimis. Selama perjalanan itu tetap saja meninggalkan kesan. “Itoe perdjalanan kreta api di waktoe malem antara pegoenoengan tanah Priangan jang tjantik, jang saja selaloe kagumken dan dengen di oedara ada bermahkota boelan bersisir jang lemboet ajoe, tida nanti saja bisa loepaken”, kenang Nio.

Dan tibalah rombongan para tawanan itu di stasion Cimahi: “Lampoe-lampoe terang di satoe stasioen. Kreta api brenti. Kita dapet prentah boewat toeroen sasoeda doedoek berdesak-desakan 1 hari 1 malem sampe kaki kakoe. Papan bord berboenji: TJIMAHI. Lontjeng statsion oendjoek djam 6 (Nippon) pagi”. Didalam kamp Cimahi para tawanan Tionghoa dicampur dengan para tawanan Belanda. Keadaan di kamp Cimahi berbeda dengan keadaan sewaktu ditawan di Bukit Duri atau penjara Serang. Di Cimahi para tawanan tidak menghuni sel-sel penjara, melainkan tinggal di sebuah rumah. Dengan bercampur baurnya para tawanan Tionghoa dan Belanda yang berjumlah hampir 10.000 orang, para tawanan Cimahi bagaikan hidup di dalam satu kota kecil dengan lalu lintas perdagangan yang ramai. Selain mengerjakan kebun-kebun kecil, untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari para tawanan diperbolehkan untuk berdagang di dalam kamp. Adapun barang dagangan yang diperjualbelikan di dalam kamp itu selain makanan, ada juga yang menjual bakiak, sandal kayu dengan karet atau kulit.

Tidak seperti di dalam penjara lain, di kamp Cimahi masih terpelihara tradisi intelektual yaitu dengan diperbolehkannya para tawanan untuk membaca buku yang diperoleh dari perpustakaan kamp. Bagi yang bisa dan suka bermain musik, kamp Cimahi juga menyediakan fasilitas orkes untuk dimainkan dan dinikmati para tawanan. Di dalam kamp Cimahi juga diadakan pembagian-pembagian kerja menurut kecakapan dan keahlian masing-masing, misalnya ada yang menjadi Medische Dienst (Layanan Dokter), Technisch Dienst (Teknik Layanan), Voedsel Dienst (Layanan Makanan), Financiën Dienst (Jasa Keuangan), Bevolking Dienst (layanan masyarakat) atau menjadi Statistieken Dienst (layanan statistik untuk mengumpulkan harta dari orang mati).

***

 Dalam lembar-lembar penutup buku ini, Nio tidak bisa menyembunyikan rasa simpatinya kepada para tawanan Belanda yang kehidupannya jauh lebih terkoyak pasca berakhirnya Perang Dunia dan babak akhir riwayat kolonialisme di Indonesia. Terlebih lagi adalah ketika hari pembebasan tawanan itu tiba pada 27 Agustus 1945, Nio berjumpa dengan salah seorang kenalannya yang mengabarkan bahwa mertuanya telah meninggal beberapa bulan yang lalu. Sebagai sebuah buku sejarah, buku memoar Nio Joe Lan ini sangatlah berharga dan berguna bagi siapa saja yang ingin mengetahui dan menyelami kehidupan interniran di zaman Jepang. Dan Nio Joe Lan sudah menuliskannya dengan sangat teliti, menarik dan menggetarkan.

No comments:

Post a Comment