Ketika riwayat Hindia Belanda baru saja tamat, Indonesia kembali di 
jajah oleh sesama bangsa Asia yang menebar teror kekerasan dan 
kesengsaraan singkat tapi mematikan. Tidak banyak dokumentasi yang 
mengisahkan suasana kehidupan secara personal ketika Indonesia berada 
dalam penjajahan Jepang, kecuali catatan-catatan sejarah yang penuh 
diplomasi-diplomasi penyerahan kedaulatan dan kecamuk 
pertempuran-pertempuran Perang Pasifik menjelang akhir Perang Dunia II 
atau heroisme-heroisme yang tercetak di dalam teks roman. Sedikit sekali
 dokumen yang mengisahkan kehidupan manusia yang menderita lahir batin 
ketika berada di dalam kamp konsentrasi Jepang yang ditulis oleh seorang
 saksi sejarah yang pernah menjadi tawanan militer Jepang, bahkan dengan
 gaya memoar atau catatan harian.
Dalem Tawanan Djepang merupakan sebuah dokumen langka yang 
mengabarkan kengerian ketika titik nadir hidup manusia berada dibawah 
tindasan-tindasan sepatu lars dan bayonet serdadu Jepang. Buku ini 
ditulis oleh Nio Joe Lan (1904 – 1973), seorang jurnalis Tionghoa yang 
bekerja untuk surat kabar 
Keng Po, Sin Po dan majalah Penghiboer. Untuk buku memoarnya ini secara eksplisit Nio Joe Lan memberi anak judul 
Penoetoeran Pengidoepan Interneeran Pada Djaman Pendoedoekan Djepang
 yang lebih mirip sebagai sebuah gugatan. Dan Nio sendiri memang 
menjalani kehidupan sebagai interniran di tiga kamp tawanan Jepang: 
Bukit Duri (26 April 1942 – 9 September 1943), Serang (9 September 1943 –
 15 Februari 1944) dan Cimahi (16 Februari 1944 – 27 Agustus 1945).
Buku ini pertama kali di cetak dan diterbitkan oleh Lotus Co pada 
1946, dan 62 tahun kemudian buku ini di cetak ulang dan diterbitkan oleh
 penerbit Komunitas Bambu pada tahun 2008. Sebuah rentang waktu yang 
panjang nasib sebuah dokumen sejarah agar bisa dibaca ulang setelah 
melewati puluhan generasi. Seperti yang dikatakan Nio, 
“Ini boekoe 
ada menoetoerken pengidoepan itoe, satoe pengidoepan loear biasa jang 
ada djadi boentoet dari Perang Tiongkok – Djepang + Perang Pacific”.
 Buku ini kian menjadi unik dan berharga karena ditulis dengan masih 
memakai bahasa yang dikenal sebagai bahasa Melayu Lingua Franca. Dengan 
begitu, kita akan merasakan langsung suasana pada suatu zaman dimana 
bahasa, kosakata dan istilah serapan yang pada tahun-tahun kemerdekaan 
lazim disebut sebagai bahasa dan dialek Melayu Tionghoa.
***
Sebelum menjadi penulis Nio Joe Lan pada 
awalnya hendak bercita-cita menjadi teknisi pesawat terbang, karena pada
 tahun 20-an profesi itu dinilai masih sangat langka. Namun ketika 
ayahnya meninggal dan perusahaan batik milik ibunya bangkrut akibat kena
 tipu, nasibnya mempertemukan dengan sebuah jalan sunyi sebagai penulis.
 Awalnya Nio melamar pekerjaan sebagai wartawan majalah Penghiboer.
 Kemudian pada tahun 1928 hingga 1934 Nio bekerja pada surat kabar Keng 
Po sebagai pemimpin redaksi, dan kemudian pindah ke surat kabar Sin Po
 hingga 1942. Harian Sin Po adalah koran yang kuat dalam wacana gerakan 
kebangsaan dan opini politik Pro-Tiongkok, akan tetapi tulisan-tulisan 
Nio justru tidak menunjukan keterlibatannya dalam politik, melainkan Nio
 sering menulis soal-soal kebudayaan. Ketika Jepang berkuasa, khusus 
bagi warga Tionghoa, Jepang hanya akan melakukan tindakan keras terhadap
 mereka yang dianggap pro-Chungking dan anti-Jepang. Yang masuk ke dalam
 daftar tawanan itu termasuk para opsir Cina, pemuka warga Pecinan dan 
jurnalis. Namun begitu Nio tetap saja ditangkap dan dijebloskan ke dalam
 kamp tawanan Jepang, meskipun pada akhirnya Nio tidak pernah terbukti 
melakukan perlawanan anti-Jepang. “Memang soedah diramalken terlebih
 doeloe, ini akan mempoenjai boentoet-boentoet bagi pamoeka-pamoeka dan 
journalist-journalist Tionghoa jang telah toeroet ambil bagian atawa 
toendjang pergerakan kebangsahan”, tulis Nio.
Berbekal naluri jurnalistiknya, Nio 
mengamati dan meneliti sekaligus mengalami sendiri suasana kehidupan 
sebagai tawanan yang kemudian ia tulis dengan sangat teliti di dalam 
buku hariannya. Hari-hari pertama menjadi tawanan di penjara Bukit Duri,
 Nio jalani dengan sangat berat mengingat ia harus meninggalkan istrinya
 yang baru saja lima hari melahirkan. “Jang saja koeatirken di itoe 
waktoe ada kesehatan saja poenja istri, jang baroe bersalin 5 hari dan 
di itoe waktoe masi belon boleh bangoen dari pembaringan”, 
tulisnya. Nio Joe Lan tentu tidak sendirian. Selain orang-orang Tionghoa
 sipil asal Batavia, Semarang, Pekalongan, Cikampek, Karawang, Bandung, 
Surabaya, Bogor dan Cianjur ada juga beberapa pembesar-pembesar Tionghoa
 dari anggota Kuo Min Tang yang masuk ke dalam buku daftar Jepang untuk 
ditangkap. Termasuk Ling Ying Chen redaktur Sin Po tempat Nio 
bekerja, Dr. Kwa Tjoan Sioe yang kelak menjadi pendiri Rumah Sakit 
Husada, juga mayor Tionghoa terakhir, Khouw Kim An.
Para pembesar-pembesar Tionghoa yang biasa 
hidup mewah itu seketika mengalami fase-fase kehidupan yang serba tidak 
enak dan sengsara di penjara Bukit Duri. Di penjara ini bukan saja 
terdiri dari warga Tionghoa, tetapi orang-orang Belanda juga ikut 
dijebloskan ke dalam penjara Bukit Duri. Para tawanan itu dimasukan ke 
dalam sel-sel sempit berukuran 2 x 1 meter yang seharusnya diisi satu 
orang, saat itu diisi oleh tiga orang tawanan. Nio melukiskan, jika pada
 waktu malam menjelang tidur para tawanan tidur berhimpitan. “Tidoer
 bertiga dalem satoe cel jang sebenernja tjoema ada boeat 1 orang sadja 
tida oesah dikata lagi ada amat tida enak. Tidoer begini sering orang 
poenja toelang kering dapet loeka, sebab di waktoe malem orang hantem 
pinggiran tadjem dari itoe tempat tidoer cement”.
Sejak awal, alasan Jepang menangkap dan 
memenjarakan warga Tionghoa tentu berbeda dengan orang Belanda. Jika 
warga Tionghoa memang sudah dianggap musuh Jepang, maka penangkapan atas
 orang Belanda selain sebagai bangsa yang harus diperangi karena 
melakukan praktek kolonialisme juga didasarkan pada alasan rasial, yaitu
 hanya karena orang Belanda berkulit putih. Di dalam penjara Bukit Duri 
terjadi diskriminasi antar sesama tawanan, terutama tawanan orang 
Belanda dalam hal soal makanan. Jika tawanan Tionghoa hanya diberi jatah
 makan nasi dan air kangkung dalam satu hari, tawanan Belanda sudah 
diberi sarapan roti di pagi hari, semangkuk sup siang hari dan nasi 
beserta sup di malam hari. Mendapat perlakuan yang berbeda tersebut, 
para tawanan Tionghoa yang diperantarai Tan Tjong Lim menuntut komandan 
Jepang supaya diperlakukan sama seperti tawanan Belanda dalam soal 
makanan. Bukannya tuntutan itu dikabulkan, para tawanan Tionghoa malah 
diberi hardikan: “Kaoe orang poenja keadahan tida bisa dipersamaken 
dengen keadahan orang koelit-poeti. Kaoe orang ada orang jang dimasoeken
 di dalem lisjt sebagai moesoeh-moesoeh, tapi marika-marika ditangkep 
meloeloe kerna marika ada orang koelit-poeti”.
Selain makanan, yang selalu menjadi masalah 
bagi para sesama tawanan penjara Bukit Duri adalah soal mandi. Jika 
sebelum menjadi tawanan, Nio beserta tawanan lain tentunya punya hak 
pribadi dalam soal mandi. Tapi setelah berada dalam penjara, hak-hak 
pribadi sebagai manusia beradab dihilangkan oleh aturan-aturan bikinan 
Jepang. Jika dulu mandi dilakukan dikamar mandi tertutup dirumah 
masing-masing, di penjara Bukit Duri semua tawanan harus telanjang dan 
mandi bersama-sama di dalam sebuah kamar. Sesuatu yang dinilai tabu pada
 zamannya. “Boeat mandi bermoela banjak orang moendoer-madjoe. Di 
roemah kita biasa mandi dikamar-kamar tertoetoep, kita biasa pake 
handdoek, tapi di Boekit-Doeri kita boekan mandi kamar mandi, tapi di 
zaal mandi. Kita mandi berbareng dengen sama banjak orang dan dengen 
telandjang!”
***
Pada hari Kamis tanggal 9 September 1943 
tawanan dari penjara Bukit Duri berakhir. Setelah 1 tahun 4 bulan 14 
hari para tawanan menjadi interniran di penjara Batavia, kemudian 
dipindahkan ke Serang. Nio Joe Lan kembali menjadi tawanan di Serang 
sejak 9 September 1943 sampai 15 Februari 1944. Segala duka dan 
kesengsaraan yang pernah dialami selama di penjara Bukit Duri tentu 
meninggalkan kesan yang membekas di dalam ingatan dan perasaan Nio. “Slamat
 tinggal, Boekit Doeri! Biarpoen Boekit Doeri tjoema satoe pemboeian 
sadja, perpisahan dengen itoe tida loepoet mengharoekan hati…” Atas
 perintah yang diucapkan komandan Ouimura, para tawanan Serang akan 
dipindahkan ke kamp internran Cimahi, pada 16 Februari 1944. Perjalanan 
dari Serang menuju Cimahi dilakukan dengan menumpang kereta, pada malam 
hari yang disertai hujan gerimis. Selama perjalanan itu tetap saja 
meninggalkan kesan. “Itoe perdjalanan kreta api di waktoe malem 
antara pegoenoengan tanah Priangan jang tjantik, jang saja selaloe 
kagumken dan dengen di oedara ada bermahkota boelan bersisir jang 
lemboet ajoe, tida nanti saja bisa loepaken”, kenang Nio.
Dan tibalah rombongan para tawanan itu di stasion Cimahi:
 “Lampoe-lampoe terang di satoe stasioen. Kreta api brenti. Kita dapet 
prentah boewat toeroen sasoeda doedoek berdesak-desakan 1 hari 1 malem 
sampe kaki kakoe. Papan bord berboenji: TJIMAHI. Lontjeng statsion 
oendjoek djam 6 (Nippon) pagi”. Didalam kamp Cimahi para tawanan 
Tionghoa dicampur dengan para tawanan Belanda. Keadaan di kamp Cimahi 
berbeda dengan keadaan sewaktu ditawan di Bukit Duri atau penjara 
Serang. Di Cimahi para tawanan tidak menghuni sel-sel penjara, melainkan
 tinggal di sebuah rumah. Dengan bercampur baurnya para tawanan Tionghoa
 dan Belanda yang berjumlah hampir 10.000 orang, para tawanan Cimahi 
bagaikan hidup di dalam satu kota kecil dengan lalu lintas perdagangan 
yang ramai. Selain mengerjakan kebun-kebun kecil, untuk mencukupi 
kebutuhan hidup sehari-hari para tawanan diperbolehkan untuk berdagang 
di dalam kamp. Adapun barang dagangan yang diperjualbelikan di dalam 
kamp itu selain makanan, ada juga yang menjual bakiak, sandal kayu 
dengan karet atau kulit.
Tidak seperti di dalam penjara lain, di kamp
 Cimahi masih terpelihara tradisi intelektual yaitu dengan 
diperbolehkannya para tawanan untuk membaca buku yang diperoleh dari 
perpustakaan kamp. Bagi yang bisa dan suka bermain musik, kamp Cimahi 
juga menyediakan fasilitas orkes untuk dimainkan dan dinikmati para 
tawanan. Di dalam kamp Cimahi juga diadakan pembagian-pembagian kerja 
menurut kecakapan dan keahlian masing-masing, misalnya ada yang menjadi Medische Dienst (Layanan Dokter), Technisch Dienst (Teknik Layanan), Voedsel Dienst (Layanan Makanan), Financiƫn Dienst (Jasa Keuangan), Bevolking Dienst (layanan masyarakat) atau menjadi Statistieken Dienst (layanan statistik untuk mengumpulkan harta dari orang mati).
***
 Dalam lembar-lembar penutup buku ini, Nio 
tidak bisa menyembunyikan rasa simpatinya kepada para tawanan Belanda 
yang kehidupannya jauh lebih terkoyak pasca berakhirnya Perang Dunia dan
 babak akhir riwayat kolonialisme di Indonesia. Terlebih lagi adalah 
ketika hari pembebasan tawanan itu tiba pada 27 Agustus 1945, Nio 
berjumpa dengan salah seorang kenalannya yang mengabarkan bahwa 
mertuanya telah meninggal beberapa bulan yang lalu. Sebagai sebuah buku 
sejarah, buku memoar Nio Joe Lan ini sangatlah berharga dan berguna bagi
 siapa saja yang ingin mengetahui dan menyelami kehidupan interniran di 
zaman Jepang. Dan Nio Joe Lan sudah menuliskannya dengan sangat teliti, 
menarik dan menggetarkan.