Pelan
tapi pasti, kesenangan menonton film layar lebar di dalam gedung bioskop kian memudar
dan menemukan ajalnya. Gedung bioskop rakyat dengan fasilitas hiburan berupa
tontonan murah meriah itu kini semakin tergerus kuasa zaman. Tergantikan oleh gedung
bioskop dengan fasilitas yang mewah, berpendingin ruangan dan sederet aturan
yang tak boleh dilanggar. Atau jika ingin sedikit leluasa, bisa saja menonton
di rumah dengan memutar keping cakram padat berisi film-film digital terbaru
dengan harga yang terjangkau, maklum DVD bajakan. Tapi kenikmatan dan sensasi
suasana menonton dipastikan tidak akan menemukan orgasmenya.
Pada
dua atau tiga dekade silam, menonton
film di bioskop merupakan sebuah prestise, semacam kemewahan sederhana yang tak
tergantikan. Meski dengan fasilitas alakadarnya (bangku-bangku tua yang
berderit, udara pengap akibat miskin ventilasi, sampah dan debu yang bertebaran
dan toilet dengan sanitasinya yang busuk sedemikian rupa), film yang diputar
pun kadang-kadang film yang sudah kadaluarsa, murahan dan ketinggalan zaman. Tapi
kenikmatan menonton film di dalam gedung bioskop tetap saja menjadi kenangan
manis tersendiri.
Jelajah Bioskop
dan Panggung Sandiwara
Sekitar
dua puluhan orang yang tergabung dalam komunitas Tjimahi Heritage kembali
mencoba memunguti lembar-lembar kenangan akan indah dan nikmatnya menonton film
di bioskop. Berbekal ingatan dan referensi secukupnya, rombongan komunitas ini
menyusuri satu persatu bioskop yang pernah berjaya dan berwibawa pada zamannya.
Dengan diiringi udara yang agak basah karena usai diguyur hujan, rombongan
berjalan dari Alun-alun menuju sebuah gedung bekas bioskop beken di kota Cimahi
yang kini telah bersalin rupa menjadi pusat jual beli telepon seluler.
Jika
menelisik sejarah perfilman dan gedung bioskop, kota Bandung merupakan kota ketiga
yang memiliki gedung bioskop paling banyak setelah Batavia dan Surabaya, yang
didirikan sejak tahun 1907. Tahun 1936, kota Bandung sudah memiliki sekitar 9
gedung bioskop tersohor: Concordia, Elita, Liberty, Luxor Park, Luxor Theater, Oranje, Oriental, Roxy, dan Varia, yang
kesemuanya itu dimiliki oleh seorang pengusaha gedung bioskop, F.F. Busse. Untuk
meluaskan ekpansinya, F.F Busse membangun gedung bioskop di pinggir kota
Bandung, salah satunya di kota Cimahi yang bernama Bioskop Rio. Berdasarkan plakat
yang pernah saya temukan, disana terbaca: 1ste
Steenleging op 27 October 1937 door Yvonne Francoise Buse.
Bangunan
bioskop berarsitektur art nouveau yang terletak tidak jauh dari Alun-alun
Cimahi itu kini sudah berubah bentuk dan fungsi. Hanya beberapa bagian saja
yang masih menyisakan bentuk ketika bioskop Rio dibangun. Fasad atapnya masih utuh,
lengkap dengan tulisan “Rio” di atasnya. Bioskop Rio yang didirikan pada zaman
Hindia Belanda itu menjadi tempat hiburan favorit bagi orang Eropa, sipil
maupun tentara Belanda. Setidaknya, sejak dekade tahun 30an, bioskop Rio mampu
bertahan hingga tahun 1990an.
Sebagai
generasi 90an, saya juga pernah mengalami masa-masa ketika bioskop Rio itu
masih berjaya sebelum akhirnya tiarap untuk selamanya. Pengalaman nonton film
di bioskop Rio merupakan sebuah kemewahan untuk ukuran usia saya saat itu.
Dengan ongkos karcis sebesar 250 rupiah, saya sempat menikmati film Si Buta Dari Goa Hantu, Saur Sepuh, Tutur
Tinular dan beberapa film silat Mandarin yang sudah kadaluarsa. Serunya
menonton film di bioskop jaman dulu bersama teman sebaya itu bisa saling mengomentari
film bahkan berteriak-teriak girang. Tidak seperti sekarang, menonton di
bioskop bagaikan sepasukan zombie yang tidak boleh banyak cakap ketika film sedang
diputar. Harus diam. Jangan banyak ulah. Kalau tidak, bisa-bisa dipelototin orang di samping.
Plakat bangunan bioskop Rio |
Tidak
jauh dari bioskop Rio, masih ada satu bioskop yang terbilang sangat keren
bernama bioskop Harapan atau Cimahi Mekar. Banyak orang yang biasa menyebutnya
dengan Cimek. Film-film yang diputar di sini lumayan lebih bergengsi dibanding
film-film yang diputar di bioskop Rio. Kini bioskop Cimek itu tinggal kenangan,
karena sudah berganti rupa menjadi pusat perbelanjaan Ramayana Departement
Store. Selain Cimek dan Rio, di Cimahi
masih terdapat beberapa bioskop, diantaranya sebuah bioskop favorit orang-orang
Belanda yang bangunannya kini ditempati oleh sebuah toko ‘Setia’ yang berada di
Jalan Gandawijaya. Menurut cerita Abah Moel Umboh yang ikut jelajah Tjimahi
Heritage sore itu, film yang diputar disana masih menggunakan alat pemutar
manual alias diputar dengan menggunakan tangan. Film yang diputar disana masih
berupa film bisu, Charlie Chaplin. Bioskop peninggalan zaman Belanda di kota
Cimahi lainnya ada di kawasan Leuwigajah. Bioskop itupun kini sudah tak
menyisakan jejak sama sekali karena lahan bangunannya tergusur pembangunan ruas
tol Purbaleunyi.
Rombongan
berjalan menuju Jalan Babakan. Di jalan ini masih ada dua tempat hiburan rakyat
lainnya, yaitu Bioskop Misbar Nusantara atau biasa disebut “Cidun” alias ‘Cimahi
Mudun’ karena bangunannya berlokasi di
pinggir jalan yang lokasinya mudun,
menurun tajam. Bioskop ini juga terkenal sebagai Misbar atau ‘gerimis bubar’
karena bangunannya terbuka tanpa atap. Jika hujan turun dipastikan penontonnya
langsung bubar memburu tempat teduh jika tidak ingin basah kuyup tersiram air
hujan. Bangunan bioskop ‘Cidun’ itu kini sudah berupa puing-puing. Lahannya
terbengkalai.
Melihat
dan mengingat itu semua, saya hanya bisa menghela nafas panjang. Kenangan atas
indahnya masa-masa ketika nonton film di bioskop kini hanya tertinggal menjadi
kenangan. Langit mulai gelap menuju senja. Dan demi melihat bangunan-bangunan bioskop tua yang kian tergerus
zaman itu, mereka seolah merintih lirih pelan namun pasti: “...aku mau hidup seribu tahun lagi...”
Bangunan bekas bioskop Cidun |
Peserta menuju jalan Babakan |
Teralis di bioskop Cidun |
di rumah tua Gow Tong Kheng |
Senja di batas kota |
No comments:
Post a Comment