Sunday, April 23, 2017

Nostalgia Bioskop dan Panggung Hiburan di Cimahi Tempo Doeloe



Pelan tapi pasti, kesenangan menonton film layar lebar di dalam gedung bioskop kian memudar dan menemukan ajalnya. Gedung bioskop rakyat dengan fasilitas hiburan berupa tontonan murah meriah itu kini semakin tergerus kuasa zaman. Tergantikan oleh gedung bioskop dengan fasilitas yang mewah, berpendingin ruangan dan sederet aturan yang tak boleh dilanggar. Atau jika ingin sedikit leluasa, bisa saja menonton di rumah dengan memutar keping cakram padat berisi film-film digital terbaru dengan harga yang terjangkau, maklum DVD bajakan. Tapi kenikmatan dan sensasi suasana menonton dipastikan tidak akan menemukan orgasmenya.
                                            
Pada dua atau tiga dekade silam,  menonton film di bioskop merupakan sebuah prestise, semacam kemewahan sederhana yang tak tergantikan. Meski dengan fasilitas alakadarnya (bangku-bangku tua yang berderit, udara pengap akibat miskin ventilasi, sampah dan debu yang bertebaran dan toilet dengan sanitasinya yang busuk sedemikian rupa), film yang diputar pun kadang-kadang film yang sudah kadaluarsa, murahan dan ketinggalan zaman. Tapi kenikmatan menonton film di dalam gedung bioskop tetap saja menjadi kenangan manis tersendiri.




Jelajah Bioskop dan Panggung Sandiwara

Sekitar dua puluhan orang yang tergabung dalam komunitas Tjimahi Heritage kembali mencoba memunguti lembar-lembar kenangan akan indah dan nikmatnya menonton film di bioskop. Berbekal ingatan dan referensi secukupnya, rombongan komunitas ini menyusuri satu persatu bioskop yang pernah berjaya dan berwibawa pada zamannya. Dengan diiringi udara yang agak basah karena usai diguyur hujan, rombongan berjalan dari Alun-alun menuju sebuah gedung bekas bioskop beken di kota Cimahi yang kini telah bersalin rupa menjadi pusat jual beli telepon seluler.

Jika menelisik sejarah perfilman dan gedung bioskop, kota Bandung merupakan kota ketiga yang memiliki gedung bioskop paling banyak setelah Batavia dan Surabaya, yang didirikan sejak tahun 1907. Tahun 1936, kota Bandung sudah memiliki sekitar 9 gedung bioskop tersohor: Concordia, Elita, Liberty, Luxor Park,  Luxor Theater,  Oranje, Oriental, Roxy, dan Varia, yang kesemuanya itu dimiliki oleh seorang pengusaha gedung bioskop, F.F. Busse. Untuk meluaskan ekpansinya, F.F Busse membangun gedung bioskop di pinggir kota Bandung, salah satunya di kota Cimahi yang bernama Bioskop Rio. Berdasarkan plakat yang pernah saya temukan, disana terbaca: 1ste Steenleging op 27 October 1937 door Yvonne Francoise Buse.

Bioskop Rio zaman dulu
Bangunan bioskop berarsitektur art nouveau yang terletak tidak jauh dari Alun-alun Cimahi itu kini sudah berubah bentuk dan fungsi. Hanya beberapa bagian saja yang masih menyisakan bentuk ketika bioskop Rio dibangun. Fasad atapnya masih utuh, lengkap dengan tulisan “Rio” di atasnya. Bioskop Rio yang didirikan pada zaman Hindia Belanda itu menjadi tempat hiburan favorit bagi orang Eropa, sipil maupun tentara Belanda. Setidaknya, sejak dekade tahun 30an, bioskop Rio mampu bertahan hingga tahun 1990an.

Sebagai generasi 90an, saya juga pernah mengalami masa-masa ketika bioskop Rio itu masih berjaya sebelum akhirnya tiarap untuk selamanya. Pengalaman nonton film di bioskop Rio merupakan sebuah kemewahan untuk ukuran usia saya saat itu. Dengan ongkos karcis sebesar 250 rupiah, saya sempat menikmati film Si Buta Dari Goa Hantu, Saur Sepuh, Tutur Tinular dan beberapa film silat Mandarin yang sudah kadaluarsa. Serunya menonton film di bioskop jaman dulu bersama teman sebaya itu bisa saling mengomentari film bahkan berteriak-teriak girang. Tidak seperti sekarang, menonton di bioskop bagaikan sepasukan zombie yang tidak boleh banyak cakap ketika film sedang diputar. Harus diam. Jangan banyak ulah. Kalau tidak, bisa-bisa dipelototin orang di samping.

Plakat bangunan bioskop Rio
Tidak jauh dari bioskop Rio, masih ada satu bioskop yang terbilang sangat keren bernama bioskop Harapan atau Cimahi Mekar. Banyak orang yang biasa menyebutnya dengan Cimek. Film-film yang diputar di sini lumayan lebih bergengsi dibanding film-film yang diputar di bioskop Rio. Kini bioskop Cimek itu tinggal kenangan, karena sudah berganti rupa menjadi pusat perbelanjaan Ramayana Departement Store.  Selain Cimek dan Rio, di Cimahi masih terdapat beberapa bioskop, diantaranya sebuah bioskop favorit orang-orang Belanda yang bangunannya kini ditempati oleh sebuah toko ‘Setia’ yang berada di Jalan Gandawijaya. Menurut cerita Abah Moel Umboh yang ikut jelajah Tjimahi Heritage sore itu, film yang diputar disana masih menggunakan alat pemutar manual alias diputar dengan menggunakan tangan. Film yang diputar disana masih berupa film bisu, Charlie Chaplin. Bioskop peninggalan zaman Belanda di kota Cimahi lainnya ada di kawasan Leuwigajah. Bioskop itupun kini sudah tak menyisakan jejak sama sekali karena lahan bangunannya tergusur pembangunan ruas tol Purbaleunyi.

Rombongan berjalan menuju Jalan Babakan. Di jalan ini masih ada dua tempat hiburan rakyat lainnya, yaitu Bioskop Misbar Nusantara atau biasa disebut “Cidun” alias ‘Cimahi Mudun’  karena bangunannya berlokasi di pinggir jalan yang lokasinya mudun, menurun tajam. Bioskop ini juga terkenal sebagai Misbar atau ‘gerimis bubar’ karena bangunannya terbuka tanpa atap. Jika hujan turun dipastikan penontonnya langsung bubar memburu tempat teduh jika tidak ingin basah kuyup tersiram air hujan. Bangunan bioskop ‘Cidun’ itu kini sudah berupa puing-puing. Lahannya terbengkalai.

Melihat dan mengingat itu semua, saya hanya bisa menghela nafas panjang. Kenangan atas indahnya masa-masa ketika nonton film di bioskop kini hanya tertinggal menjadi kenangan. Langit mulai gelap menuju senja. Dan demi melihat bangunan-bangunan bioskop tua yang kian tergerus zaman itu, mereka seolah merintih lirih pelan namun pasti: “...aku mau hidup seribu tahun lagi...”

Bangunan bekas bioskop Cidun
 
Peserta jelajah
 
Peserta menuju jalan Babakan

Teralis di bioskop Cidun

di rumah tua Gow Tong Kheng

Senja di batas kota


No comments:

Post a Comment