Bagi peminat wisata sejarah
atau penikmat seni bangunan lawas peninggalan kolonialisme Belanda, kawasan
Cimahi dan sekitarnya kiranya menyimpan daya tarik tersebut. Sejak Kolonel
Fishcter dan Kapten Struss membangun Cimahi sebagai Garnizun terbesar se-Hindia
Belanda pada 1886, banyak bangunan-bangunan dengan berbagai gaya arsitektur Indis
didirikan di kota Cimahi, baik difungsikan sebagai bangunan tangsi-tangsi militer
maupun hunian-hunian bagi warga Eropa yang menarik perhatian. Salah satu
bangunan yang menarik tersebut adalah sebuah rumah tua yang berlokasi di pinggir
jalan raya Cibeureum, kota Cimahi.
Rumah tua yang kini menjadi
bagian dari sebuah pangkalan perusahaan taksi itu ternyata tak hanya menyimpan
kenangan bagi sebagian anak-anak generasi 90an yang pernah menjadikan rumah tua
tersebut sebagai tempat bermain, juga menyimpan banyak sisi cerita yang sangat
menarik. Terlebih lagi ketika rumah tua tersebut sempat terbengkalai dan tidak
terurus, dengan halaman yang ditumbuhi pepohonan yang rimbun dan rumput liar menyerupai
hutan, juga terdapat lahan pekuburan di belakang rumah tua tersebut tentu saja menimbulkan
kesan angker, sunyi dan mistis.
Rumah Tua Cibeureum, 2015 |
Berbagai kesan dan kenangan
manis juga sempat menyertai rumah tua Cibeureum. Di sebuah akun Facebook yang
mengunggah foto rumah tua tersebut, banyak komentar jika rumah tua itu sarat
akan kenangan, terutama saat mengingat momen-momen ketika memunguti buah sawo,
alpukat, kelapa, kopi, limus dan jambu yang tercecer jatuh dari pohon di
halaman rumah tua itu.
Rumah tua yang berada tidak jauh dari SMA 13 Cimindi itu
memiliki model bergaya Indisch stijl
dengan pilar-pilar kokoh yang menopang sebuah fasad beranda yang khas sebagaimana
hunian para pembesar-pembesar keluarga Belanda tempo doeloe. Namun tak ada catatan yang pasti jika rumah tua
tersebut pernah dihuni oleh keluarga Belanda, kecuali oleh keluarga pribumi
yang telah mewariskannya secara turun temurun mulai dari generasi Rd. Basik
Wangsadikrama yang kemudian mewariskan rumah tersebut kepada Rd. Hanafi
Wangsadikrama yang wafat pada 1935, lalu diwariskan lagi kepada putranya, Rd.
Redmana Wangsadikrama yang wafat pada 1980.
Film 'Max Havelaar' berlokasi di Rumah Tua Cibeureum |
“Rumah Max Havelaar”
Pesona rumah tua dikawasan Cibeureum itu ternyata
mengundang daya tarik sebuah rumah produksi untuk lokasi pengambilan gambar
berlatar kehidupan seorang Asisten Residen Lebak. Film yang berjudul “Max Havelaar of de Koffieveilingen Nederlandsche
Handelmaatschappij” produksi PT. Mondial Motion Pictures Jakarta tahun 1973
yang diangkat dari buku termashur yang terbit tahun 1860 karya Multatuli itu
diperankan oleh Peter Faber sebagai Max Havelaar dan Sacha Bulthuis sebagai
Tine, istri Max Havelaar.
Film yang diadaptasi dari roman yang diterjemahkan ke
dalam bahasa Indonesia oleh H.B Jassin itu menceritakan pembelaan seorang
Asisten Residen Lebak terhadap rasa keadilan yang ditujukan kepada pemerintah
Hindia Belanda atas tindakan kesewenang-wenangannya terhadap penduduk pribumi. Naskah
buku tersebut merupakan dokumen-dokumen yang dikumpulkan ‘Multatuli’ sebagai
nama pena dari Douwes Dekker sewaktu ia bertugas di Hindia Belanda sebagai Amtenaar sejak 1839, terutama sewaktu ia
menjabat sebagai Asisten Residen di Lebak pada permulaan tahun 1856.
Tjimahi Heritage jelajah Rumah Tua Cibeureum |
Lokasi rumah tua di Cibeureum dalam film itu muncul pada
menit ke 45 ketika adegan Max Havelaar digambarkan sedang berbahagia
menghampiri Tine, karena mendapat surat promosi yang akan mengangkatnya menjadi
Asisten Residen di Lebak. Max Havelaar (Douwes Dekker) tampak bahagia menyambut
pengangkatannya itu, sementara Everdine Huberte Baronesse van Wijnbergen alias
Tine, istrinya itu terlihat murung atas pengangkatan suaminya mengingat ia akan
ikut serta ke Lebak, sebuah wilayah terpencil yang terkenal akan kemiskinannya.
Meskipun berlangsung singkat, lokasi adegan itu
disamarkan seolah-olah suasananya sedang berlangsung di sebuah rumah indis di
Batavia abad 19. Sebuah rumah pembesar Belanda yang megah dikelilingi pepohonan
tropis dan aneka jenis bunga didalam jambangan. Selain beranda depan dengan
pilar-pilar tiangnya yang kokoh, ciri lain yang sangat jelas terlihat dari
rumah tua Cibeureum ini adalah hiasan ornamen berbentuk telapak tangan yang
menempel pada tembok sebagai hiasan daun jendela dan pintu samping.
***
Ibu Siswo yang merupakan cicit
dari Rd. Hanafi Wangsadikrama berkisah jika rumah tua yang pernah ditempatinya
itu bukan hanya dijadikan lokasi pengambilan gambar film “Max Havelaar” saja, melainkan masih ada film “Misteri Jaipong” dan “Pendekar
Tujuh Sumur” yang menjadikan rumah tua itu sebagai lokasi syuting. Ibu Siswo yang melihat langsung suasana
pembuatan film dirumahnya itu sempat dibuat kesal baik oleh pihak produser film
atas tidak sesuainya kontrak perjanjian sewa lokasi maupun dengan perilaku para
artis-artis “Misteri Jaipong” dan “Pendekar Tujuh Sumur” yang tidak
menunjukan sikap hormat kepada yang empunya rumah.
Tjimahi Heritage |
Pada zaman revolusi rumah tua
itu pernah dijadikan markas tentara Belanda dan sempat dijadikan tempat
pengumpulan tahanan romusha pada zaman Jepang. Ibu Siswo bercerita, pada tahun
1942 ketika pesawat Jepang sedang berputar-putar di langit Cibeureum, pesawat
itu menjatuhkan bom dan meledak tepat disamping rumah tua itu. Pemboman itu
dipicu karena ada sejumlah tentara Belanda berada disekitar halaman rumah yang
menyerupai hutan itu terlihat oleh pilot pesawat Jepang. Akibat ledakan bom itu
beberapa bagian dinding rumah mengalami retak-retak dan membuat halaman samping
rumah jadi penuh lubang-lubang menganga.
Meskipun sukar membuktikannya
secara ilmiah, rumah tua yang diperkirakan berusia lebih dari satu abad itu
juga menyimpan sepenggalan cerita-cerita urban
legend, diantaranya jika hutan kecil disamping rumah tua itu merupakan
‘kerajaan’ siluman ular. Ibu Siswo menceritakan, suatu hari rumahnya kedatangan
seorang tamu asal Pasteur yang berprofesi sebagai penangkap ular. Setelah
diizinkan untuk menangkap ular, si penangkap ular itu mulai beraksi. Ia hanya
menjentik-jentikan jarinya setelah sebelumnya merapalkan mantra, ular-ular yang
bersembunyi dari balik semak belukar itu dengan jinak keluar menampakan diri.
Namun masih ada satu ular besar yang enggan keluar, tetap bersembunyi di
‘kerajaannya’ di bawah pohon limus yang berada dibelakang rumah. Selain
‘kerajaan’ ular, entah benar atau tidak, menurut beberapa warga sekitar sering
terlihat seekor macan belang yang sering terlihat hilir mudik disekitar halaman
rumah. Wallahu ‘alam.
Rumah Tua Cibeureum, 1973 |
Apabila kita ingin mencari tahu
informasi tentang rumah tua Cibeureum ini di mesin pencari internet, informasi tentang
rumah tua ini selalu dikait-kaitkan dengan nama asing Henry John van
Blommenstein yang disebut-sebut sebagai tuan tanah Belanda yang menikah dengan
perempuan pribumi bernama Nji Mas Entjeh Al-Osah, atau dihubungkan dengan
pemberitaan kasus sengketa tanah. Padahal sejatinya tidak demikian, sebab
memang tidak pernah ada informasi atau bukti jika rumah tua Cibeureum ini
pernah didiami oleh keluarga Belanda. Menurut sebuah dokumen “Risalah Hukum Kasus Nji Mas Entjeh”,
kedua nama ‘asing’ tersebut memang bukan tokoh fiktif, namun lokasi kasus
sengketa tanah yang dimaksud bukanlah di lahan rumah tua Cibeureum.
***
Nji Mas Entjeh Al-Osah |
Diskusi di beranda Rumah Tua Cibeureum |
Rumah Tua Cibeureum |
Ornamen hiasan di dinding Rumah Tua Cibeureum |
Adegan dalam film 'Max Havelaar' |
Nisan Rd. Redmana Wangsadikrama |
Nisan Rd. Hanapi Wangsadikrama |
Link video:
https://www.youtube.com/watch?v=OWEPnHr6J_I
https://www.youtube.com/watch?v=WFG3Przhtvc
https://www.youtube.com/watch?v=OWEPnHr6J_I
https://www.youtube.com/watch?v=WFG3Przhtvc
No comments:
Post a Comment