Wednesday, November 16, 2016

Film “Max Havelaar” Berlatar Rumah Tua Cibeureum



Bagi peminat wisata sejarah atau penikmat seni bangunan lawas peninggalan kolonialisme Belanda, kawasan Cimahi dan sekitarnya kiranya menyimpan daya tarik tersebut. Sejak Kolonel Fishcter dan Kapten Struss membangun Cimahi sebagai Garnizun terbesar se-Hindia Belanda pada 1886, banyak bangunan-bangunan dengan berbagai gaya arsitektur Indis didirikan di kota Cimahi, baik difungsikan sebagai bangunan tangsi-tangsi militer maupun hunian-hunian bagi warga Eropa yang menarik perhatian. Salah satu bangunan yang menarik tersebut adalah sebuah rumah tua yang berlokasi di pinggir jalan raya Cibeureum, kota Cimahi. 

Rumah tua yang kini menjadi bagian dari sebuah pangkalan perusahaan taksi itu ternyata tak hanya menyimpan kenangan bagi sebagian anak-anak generasi 90an yang pernah menjadikan rumah tua tersebut sebagai tempat bermain, juga menyimpan banyak sisi cerita yang sangat menarik. Terlebih lagi ketika rumah tua tersebut sempat terbengkalai dan tidak terurus, dengan halaman yang ditumbuhi pepohonan yang rimbun dan rumput liar menyerupai hutan, juga terdapat lahan pekuburan di belakang rumah tua tersebut tentu saja menimbulkan kesan angker, sunyi dan mistis.

Rumah Tua Cibeureum, 2015
 
Berbagai kesan dan kenangan manis juga sempat menyertai rumah tua Cibeureum. Di sebuah akun Facebook yang mengunggah foto rumah tua tersebut, banyak komentar jika rumah tua itu sarat akan kenangan, terutama saat mengingat momen-momen ketika memunguti buah sawo, alpukat, kelapa, kopi, limus dan jambu yang tercecer jatuh dari pohon di halaman rumah tua itu.  

            Rumah tua yang berada tidak jauh dari SMA 13 Cimindi itu memiliki model bergaya Indisch stijl dengan pilar-pilar kokoh yang menopang sebuah fasad beranda yang khas sebagaimana hunian para pembesar-pembesar keluarga Belanda tempo doeloe. Namun tak ada catatan yang pasti jika rumah tua tersebut pernah dihuni oleh keluarga Belanda, kecuali oleh keluarga pribumi yang telah mewariskannya secara turun temurun mulai dari generasi Rd. Basik Wangsadikrama yang kemudian mewariskan rumah tersebut kepada Rd. Hanafi Wangsadikrama yang wafat pada 1935, lalu diwariskan lagi kepada putranya, Rd. Redmana Wangsadikrama yang wafat pada 1980.

Film 'Max Havelaar' berlokasi di Rumah Tua Cibeureum

“Rumah Max Havelaar”

            Pesona rumah tua dikawasan Cibeureum itu ternyata mengundang daya tarik sebuah rumah produksi untuk lokasi pengambilan gambar berlatar kehidupan seorang Asisten Residen Lebak. Film yang berjudul “Max Havelaar of de Koffieveilingen Nederlandsche Handelmaatschappij” produksi PT. Mondial Motion Pictures Jakarta tahun 1973 yang diangkat dari buku termashur yang terbit tahun 1860 karya Multatuli itu diperankan oleh Peter Faber sebagai Max Havelaar dan Sacha Bulthuis sebagai Tine, istri Max Havelaar.

            Film yang diadaptasi dari roman yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh H.B Jassin itu menceritakan pembelaan seorang Asisten Residen Lebak terhadap rasa keadilan yang ditujukan kepada pemerintah Hindia Belanda atas tindakan kesewenang-wenangannya terhadap penduduk pribumi. Naskah buku tersebut merupakan dokumen-dokumen yang dikumpulkan ‘Multatuli’ sebagai nama pena dari Douwes Dekker sewaktu ia bertugas di Hindia Belanda sebagai Amtenaar sejak 1839, terutama sewaktu ia menjabat sebagai Asisten Residen di Lebak pada permulaan tahun 1856.

Tjimahi Heritage jelajah Rumah Tua Cibeureum

            Lokasi rumah tua di Cibeureum dalam film itu muncul pada menit ke 45 ketika adegan Max Havelaar digambarkan sedang berbahagia menghampiri Tine, karena mendapat surat promosi yang akan mengangkatnya menjadi Asisten Residen di Lebak. Max Havelaar (Douwes Dekker) tampak bahagia menyambut pengangkatannya itu, sementara Everdine Huberte Baronesse van Wijnbergen alias Tine, istrinya itu terlihat murung atas pengangkatan suaminya mengingat ia akan ikut serta ke Lebak, sebuah wilayah terpencil yang terkenal akan kemiskinannya.

            Meskipun berlangsung singkat, lokasi adegan itu disamarkan seolah-olah suasananya sedang berlangsung di sebuah rumah indis di Batavia abad 19. Sebuah rumah pembesar Belanda yang megah dikelilingi pepohonan tropis dan aneka jenis bunga didalam jambangan. Selain beranda depan dengan pilar-pilar tiangnya yang kokoh, ciri lain yang sangat jelas terlihat dari rumah tua Cibeureum ini adalah hiasan ornamen berbentuk telapak tangan yang menempel pada tembok sebagai hiasan daun jendela dan pintu samping.
***
             
Ibu Siswo yang merupakan cicit dari Rd. Hanafi Wangsadikrama berkisah jika rumah tua yang pernah ditempatinya itu bukan hanya dijadikan lokasi pengambilan gambar film “Max Havelaar” saja, melainkan masih ada film “Misteri Jaipong” dan “Pendekar Tujuh Sumur” yang menjadikan rumah tua itu sebagai lokasi syuting. Ibu Siswo yang melihat langsung suasana pembuatan film dirumahnya itu sempat dibuat kesal baik oleh pihak produser film atas tidak sesuainya kontrak perjanjian sewa lokasi maupun dengan perilaku para artis-artis “Misteri Jaipong” dan “Pendekar Tujuh Sumur” yang tidak menunjukan sikap hormat kepada yang empunya rumah.

Tjimahi Heritage
 
Pada zaman revolusi rumah tua itu pernah dijadikan markas tentara Belanda dan sempat dijadikan tempat pengumpulan tahanan romusha pada zaman Jepang. Ibu Siswo bercerita, pada tahun 1942 ketika pesawat Jepang sedang berputar-putar di langit Cibeureum, pesawat itu menjatuhkan bom dan meledak tepat disamping rumah tua itu. Pemboman itu dipicu karena ada sejumlah tentara Belanda berada disekitar halaman rumah yang menyerupai hutan itu terlihat oleh pilot pesawat Jepang. Akibat ledakan bom itu beberapa bagian dinding rumah mengalami retak-retak dan membuat halaman samping rumah jadi penuh lubang-lubang menganga.

Meskipun sukar membuktikannya secara ilmiah, rumah tua yang diperkirakan berusia lebih dari satu abad itu juga menyimpan sepenggalan cerita-cerita urban legend, diantaranya jika hutan kecil disamping rumah tua itu merupakan ‘kerajaan’ siluman ular. Ibu Siswo menceritakan, suatu hari rumahnya kedatangan seorang tamu asal Pasteur yang berprofesi sebagai penangkap ular. Setelah diizinkan untuk menangkap ular, si penangkap ular itu mulai beraksi. Ia hanya menjentik-jentikan jarinya setelah sebelumnya merapalkan mantra, ular-ular yang bersembunyi dari balik semak belukar itu dengan jinak keluar menampakan diri. Namun masih ada satu ular besar yang enggan keluar, tetap bersembunyi di ‘kerajaannya’ di bawah pohon limus yang berada dibelakang rumah. Selain ‘kerajaan’ ular, entah benar atau tidak, menurut beberapa warga sekitar sering terlihat seekor macan belang yang sering terlihat hilir mudik disekitar halaman rumah. Wallahu ‘alam.

Rumah Tua Cibeureum, 1973
 
Apabila kita ingin mencari tahu informasi tentang rumah tua Cibeureum ini di mesin pencari internet, informasi tentang rumah tua ini selalu dikait-kaitkan dengan nama asing Henry John van Blommenstein yang disebut-sebut sebagai tuan tanah Belanda yang menikah dengan perempuan pribumi bernama Nji Mas Entjeh Al-Osah, atau dihubungkan dengan pemberitaan kasus sengketa tanah. Padahal sejatinya tidak demikian, sebab memang tidak pernah ada informasi atau bukti jika rumah tua Cibeureum ini pernah didiami oleh keluarga Belanda. Menurut sebuah dokumen “Risalah Hukum Kasus Nji Mas Entjeh”, kedua nama ‘asing’ tersebut memang bukan tokoh fiktif, namun lokasi kasus sengketa tanah yang dimaksud bukanlah di lahan rumah tua Cibeureum.

***


Nji Mas Entjeh Al-Osah
Diskusi di beranda Rumah Tua Cibeureum
Rumah Tua Cibeureum
Ornamen hiasan di dinding Rumah Tua Cibeureum
Adegan dalam film 'Max Havelaar'

Nisan Rd. Redmana Wangsadikrama

Nisan Rd. Hanapi Wangsadikrama

Link video:

https://www.youtube.com/watch?v=OWEPnHr6J_I

https://www.youtube.com/watch?v=WFG3Przhtvc

No comments:

Post a Comment