Sesuai
jadwal acara dimulai jam 08.00 pagi, dengan terlebih dahulu berkumpul di Taman
URIP yang terletak di jalan Urip Sumoharjo, Cimahi. Setelah saya memarkir motor
di parkiran Rumah Sakit Dustira, saya hanya perlu waktu sekitar 10 menit
berjalan kaki menuju Taman Urip. Dari kejauhan saya melihat sudah ada yang
berkumpul disana. Saya kemudian mencoba sedikit mengingat-ingat paras
wajah-wajah yang biasanya hanya saya lihat di foto grup. Karena interaksi
komunikasi saya di grup itu bisa dibilang cukup rutin, jadi hanya ada beberapa
wajah dengan mudah bisa saya kenali. Ada Iwan Hermawan, kang Machmud Mubarok, kang Dede
Syarif HD, kang Yarman
Mourly dan Mochamad Sopian Anshori dan beberapa wajah yang sebenarnya familiar
tapi rasanya sulit untuk mengingat sepotong namanya. Acara ini ternyata diikuti
juga oleh beberapa siswa kelas VI SD Lingga
Budi. Tanpa
ada rasa kikuk dan kaku, saya langsung menyalami dan bertukar sapa dengan
mereka.
Ketika
dipastikan semua peserta Tjimahi
Heritages Trail sudah berkumpul, rombongan mulai bergerak jalan kaki menuju
kawasan yang dulu bernama Grasland
atau Kebon Jukut. Saya sangat menikmati acara berjalan kaki ini. Jika biasanya
saya hanya melihat-lihat suasana Cimahi dengan memakai motor, sehingga
pengamatan saya kurang maksimal. Kali ini saya benar-benar bisa mengamati
lekuk-lekuk jalan dan rumah-rumah dinas perwira yang bergaya tempo doeloe itu dengan santai. Beberapa
spot menarik tentu saja saya potret dari dekat. Di sebuah lapangan kecil,
diantara lalulintas yang padat dari dan menuju arah komplek Brigif, rombongan
berhenti. Disana kang Machmud Mubarok memberi penjelasan dan pengarahan tentang
wilayah yang dinamakan Grasland.
Wilayah yang berada di Baros itu pada suatu kurun masa lalu adalah lokasi yang
dipenuhi rumput. Karena di wilayah tersebut terdapat kesatuan Kaveleri berkuda,
maka kebon rumput adalah lokasi tempat para pencari rumput untuk pakan
kuda-kuda Kaveleri.
Kamp
Interniran Jepang - Baros
Lokasi Kamp Baros - Jln. Willemstraat |
Ketika
masa Hindia Belanda beralih ke pemerintahan Jepang pada 1942-1945, lebih
tepatnya ketika Batavia jatuh ke tangan Jepang pada 5 Maret 1942, Gubernur
Jenderal Hindia Belanda, Tjarda van Starkenborgh beserta rombongan pasukannya
mengungsi ke wilayah Bandung dan sempat tinggal di rumah Residen Priangan
Tacoma atau Gedung Pakuan. Selang dua hari kemudian, Jepang menjatuhkan bom di
Gedung Pakuan yang memaksa Tjarda van Stakenborgh angkat kaki. Dari sebuah
gedung villa yang berada di Lammingweg
(kini Jl. Sangkuriang No.17 Bandung) Van Stakenborgh meminta gencatan senjata
dan bersedia berunding dengan Jepang. Perundingan ini dimaksudkan untuk
menghindari penghancuran total yang membabibuta terhadap kota Bandung oleh
pasukan Nippon. Dan dimulailah babak sejarah baru: Belanda menyerah tanpa
syarat. Sebagaimana lazimnya pihak yang kalah, suka atau tidak suka takdir
sejarah telah mengetuk palu kutukan kepada Belanda: diperbudak penguasa Nippon.
Sebagaimana
halnya pemerintahan militer fasis Eropa seperti Nazi yang membangun kamp
konsentrasi yang berisi para musuh-musuh negara Jerman yang dikonsentrasikan di
Polandia, maka sebagai negara sekutu Jerman dan Italia pada Perang Dunia II,
Jepang juga membuat kamp konsentrasi bagi tawanan-tawanan musuh Jepang. Di
Bandung, serdadu Jepang membangun kamp-kamp interniran atau kamp tawanan yang
berada di Cihapit dan Cimahi. Dan salah satu lokasi kamp tawanan Jepang di
Cimahi berlokasi di Baros 6 yang
berada di Willemstraat
atau kini bernama jalan Sam Ratulangi.
Dalam acara jelajah Kamp Interniran Jepang ini rombongan berjalan dan
melihat-lihat lokasi bekas kamp Baros 6 atau Jongenskamp Baros, Bunsho II Kamp
6 / Japanse Administratie. Kamp khusus wanita dipisahkan dengan kamp untuk
anak-anak. Setiap kamp ada pemimpin kamp masing-masing. Seperti kamp khusus
wanita dipimpin oleh MW. R. Minderman, sementara untuk kamp untuk anak-anak
dipimpin oleh GA Schotel. Kamp ini terdiri dari dari dua bagian yang berada di
kedua sisi jalan Baros, yaitu sebelah barat Willemstraat
dan sebelah timur Baroskant yang
melewati dua pintu gerbang yang dijaga dengan sangat ketat.
Salah satu rumah bekas Kamp Interniran Jepang |
Di Cimahi sendiri sebenaranya ada terdapat lima kamp
tawanan, antara lain: Kamp Treinkampement yang lokasinya berada di jalur utara
stasion kereta api yang sekarang ditempati oleh gedung Pusdikpal, Kamp 4 /
Bunsho II yang menempati bekas Markas Batalyon Infanteri 4e dan 9e KNIL yang
sekarang ditempati oleh kompleks Pusdikhub, Pusdikbekang dan Pusdikpengmilum.
Lalu ada Kamp Cimahi IV dan IX Batalion, Kamp Rumah Sakit Militer dipakai untuk
tahanan rumah sakit kamp perang dan buruh. Dan Kamp Baros 5 biasa juga disebut
sebagai Kamp Bambu yang sekarang ditempati kompleks Pusdikpom.
Di
dalam buku Asal-Usul Totalitarianisme
yang ditulis Hannah Arendt, ia menyebut adanya istilah golongan ‘Declasse’ yaitu golongan yang kehilangan
semua hak-hak istimewa. Dan hal ini dialami oleh para opsir-opsir dan para
meneer-meneer Belanda yang mana sebelum datang penjajah Jepang, para declasse itu mempunyai perlakuan istimewa baik
secara ekonomi, politik dan rasial sebagai tuan besar di tanah jajahan Hindia.
Dan zaman keemasan Belanda itu berakhir, berganti menjadi neraka. Semua hak-hak
istimewa itu hilang begitu saja. Para tawanan mengalami hidup yang serba
kekurangan dan senantiasa diliputi musuh alami yang menakutkan: mati
akibat kelaparan.
Keluarga mereka pun
tercerai berai. Jepang memberlakukan pemisahan tawanan pria dan wanita, juga
anak-anak. Untuk tawanan wanita dan anak-anak berada di kamp Cihapit, tawanan
pria di tempatkan di kamp Baros. Para tawanan ditampung di dalam kamp itu dikelilingi oleh pagar kawat berduri. Komandan kamp Bunsho
Baros saat itu adalah
Kimura yang berpangkat Letnan Kolonel,
bersama
wakilnya Letnan Kurashima Tomiji yang dibantu oleh para penjaga dari pasukan Nippon, Korea dan Heiho.
***
Rombongan
berjalan di komplek jalan Samratulangi. Pikiran saya diterbangkan ke masa zaman
Jepang sambil meraba-raba dalam angan bagaimana gerangan kehidupan di dalam
kamp interniran. Saya mengamati rumah-rumah yang pada waktu dulu pernah
dijadikan kamp tempat mengurung
para tawanan. Ada beberapa rumah yang masih mempertahankan bentuk asli bangunan sebagai lokasi
barak-barak kamp zaman Jepang, banyak juga bentuk-bentuk rumah yang mulai
mengalami penyesuaian zaman dengan direnovasi disana-sini.
Acara
napak tilas menelusuri kamp Jepang – Baros akhirnya usai jam 11.30 dengan
berkumpul di taman Juliana Park atau
sekarang bernama Taman Kartini, di seberang Pussen Armed di jalan Baros. Sambil
duduk-duduk melepas lelah rombongan bergurau santai yang diselingi dengan
bertukar cerita dan sejarah Cimahi yang diakhiri dengan sesi berfoto bersama. Sampai
jumpa di acara Tjimahi Heritages Trail
berikutnya. [Andrenaline Katarsis]
Tjimahi Heritages Trail di Taman Kartini - Cimahi |