Sebuah kota adalah hasil kebudayaan dan kerja manusia. Jauh
sebelum kota Cimahi mewujud seperti yang kita lihat hari ini, kota ini memiliki
rentang kisah dan senarai sejarah panjang. Secara harfiah arti kata Cimahi
adalah 'Air yang cukup'. Barangkali tak ada yang tahu atau belum pernah
menemukan dokumen bahwa sebelum bersalin nama menjadi Cimahi awalnya bernama
Cilokotot, yang berarti 'Air Rawa'. Tak ada catatan yang pasti kapan dan kenapa
nama Cilokotot diganti menjadi Cimahi.
Dalam catatan sejarah Priangan, khususnya kota Bandung Tempo
Doeloe tidak terlepas dari peran sejarah Gubernur Jenderal Herman Willem
Daendels pada tahun 1810 ketika mendapat perintah dari Napoleon Bonaparte yang
memerintahkan untuk membangun jalan yang membentang 1000 km dari Anyer hingga
Panarukan. Secara politik, pembangunan
Jalan Raya Pos ini dimaksudkan agar pusat pemerintahan Tatar Ukur yang saat itu
ditampuk oleh Bupati Wiranatakusumah II yang semula berlokasi di Krapyak
(sekarang benama Dayeuh Kolot), dipindahkan ke arah utara persis di lintasan
Jalan Raya Pos. Sementara demi kepentingan ekonomi VOC, pembangunan Jalan Raya
Pos ini bisa mempermudah akses transportasi yang mengangkut hasil perkebunan
Priangan untuk dibawa ke Batavia dengan melewati jalan raya Cimahi, Padalarang,
Rajamandala dan Cianjur.
Jalan Raya Cimahi atau yang sekarang bernama Jalan Amir
Machmud adalah ruas jalan yang dilalui proyek pembangunan Jalan Raya Pos Anyer
- Panarukan. Kita bisa membayangkan bagaimana manusia-manusia Priangan pada
masa itu bekerja menyisir gunung, membabat hutan dan membangun jalur wilayah
pegunungan di tatar Priangan untuk memenuhi keinginan Gubernur Jendral Daendels
yang hendak menyambungkan jalur pegunungan antara Cianjur dan Sumedang. Kita
juga tidak bisa menaksir berapa jumlah korban yang jatuh akibat kerja paksa
itu.
Berdasarkan bentang alam dan permukaan bumi cekungan Bandung
purba sebagai hasil dari perubahan evolusi alam yang terjadi selama jutaan
tahun, secara geomorfologis besar kemungkinan proyek Jalan Raya Pos ini yang dirintis
Daendels ini sebenarnya hanya memperlebar jalan yang semula memang sudah ada,
karena jauh sejak kerajaan-kerajaan awal di Tatar Sunda berkembang jalur itu
diperkirakan sudah ada. Gubernur Jendral Daendels hanya melanjutkan dengan
memperkeras jalan saja.
Rombongan
kerajaan yang menyusuri Jalan Raya Pos
Di dalam Carita
Parahyangan Sakeng Bhumi Jawa Kulwan Pratama Sargah terjemahan Atja dan
Ekadjati, sekitar abad ke-5 terjadi sebuah peristiwa penyerahan wilayah Kendan
yang terdapat di Nagreg, sebuah wilayah di sebelah tenggara kota Bandung. Saat
itu, Raja Tarumanegara yang bernama Sri Maharaja Suryawarman memberikan wilayah
Kendan kepada Resi Guru Manikmaya untuk diangkat menjadi Ratu di Kendan sebagai
bagian dari kerajaan Tarumanegara. Lengkap bersama para hamba sahaya dan
pasukan bersenjata lengkap, juga ratusan masyarakat.
Pada saat perpindahan besar itu, dapat dibayangkan suatu
rombongan iring-iringan kerajaan Resi Guru Manikmaya beserta keluarga,
masyarakat dan pasukan bersenjata lengkap itu berjalan kaki dan menaiki
kendaraan yang ditarik kuda, berjalan beriringan menembus hutan-hutan belantara
dan melewati punggungan-punggungan pegunungan alam antara ibukota Kerajaan
Tarumanegara yang bertempat di pantai utara Jawa Barat menuju daerah yang kini
bernama Bandung. Dalam asumsi sejarawan, iring-iringan itu pastilah melewati
dataran-dataran rendah dan tanah-tanah yang landai.
Pemilihan jalan terbaik yang dipilih iring-iringan menuju
dataran Bandung yang berada di tengah-tengah pegunungan Priangan itu adalah
menuju lembah yang berada di antara dua
gunung berapi. Iring-iringan itu diperkirakan berjalan ke arah selatan melewati
Bogor, kemudian ke Sukabumi di lembah kaki Gunung Salak dan Gunung Gede
Pangrango, kemudian menyusuri jalan yang saat ini sudah ada dan pada zaman itu
sudah ramai.
Kemudian iring-iringan itu membelok ke arah timur menuju
Cianjur di kaki selatan gunung Gede Pangrango. Dari Cianjur menuju arah
Bandung, satu-satunya rintangan yang cukup berat adalah ketika rombongan harus
menembus perbukitan kapur Citatah, selain jalur yang melewati dua arus sungai
Cisokan dan Citarum (Boleh jadi nama sungai Citarum diambil dari nama
Tarumanegara). Ada kemungkinan, setelah melewati Padalarang, rombongan
mengambil jalan lurus langsung menuju arah timur menyusuri perbukitan Bandung
utara melewati jalur landai menuju Cileunyi melalui Cimahi dan kota Bandung
sekarang. Dari Cileunyi rombongan Manikmaya kemudian berbelok ke selatan menuju
Nagreg, menyusuri Gunung Geulis dan Gunung Canggak.
Pada 13 abad kemudian jalur yang sama itu kemudian dipakai
dan dirintis kembali oleh Gubernur Jendral Herman Willem Daendels beserta
pasukan kolonialnya untuk mengerahkan tenaga rakyat Priangan membangun Jalan
Raya Pos demi kemudahan penyaluran distribusi hasil komoditas perkebunan
Priangan dan hasil bumi Jawa demi kepentingan ekonomi Belanda. Daendels
mengambil jalur bebas hambatan antara Padalarang, Cimahi, Bandung, Cileunyi dan
langsung menuju poros Sumedang hingga terus ke arah timur Jawa Barat.
*****
Sumber:
- Budi Brahmatyo & T. Bachtiar: Wisata Bumi Cekungan Bandung. Truedee Book, 2009.
- Haryoto Kunto: Wajah
Bandoeng Tempo Doeloe. Granesia, 1984.
No comments:
Post a Comment